AKSES PENDIDIKAN TINGGI
Ada suatu yang menarik di dalam perbincangan dengan Komisi X DPR RI dalam acara pertemuan di Hotel Bumi Persada, 02/12/2010. Di antara pembicaraan yang menarik tersebut adalah tentang angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi Indonesia yang masih rendah. Dibanding dengan Malaysia, maka negeri ini sudah memiliki APK pendidikan tinggi sebesar 30 persen. Sedangkan Indonesia ternyata baru memiliki APK sebesar 22 persen.
Di dalam Rencana Strategis Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sampai tahun 2014, maka pemerintah sudah mencanangkan APK sebesar 30 persen. Hal ini artinya, bahwa setiap tahun harus terjadi peningkatan sebesar 2 persen. Persoalannya, menurut Heri Ahmadi, apakah mungkin meningkatkan APK sebesar 2 persen pertahun untuk mengejar angka APK 30 persen tahun 2014. Menurutnya, bahwa rasanya sangat sulit.
Memang idealnya, APK pendidikan tinggi adalah 30 persen. Sebagaimana negara-negara maju, maka kemajuan pendidikan tingginya juga dikaitkan dengan seberapa besar APK pendidikan tinggi di negera tersebut. Singapura, Thailand, Malaysia termasuk Negara-negara di Asia Tenggara dengan APK yang lebih baik dibanding Indonesia. Itulah sebabnya melalui RPJM Nasional sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengejar APK tersebut.
Ada bebarapa kendala untuk meningkatkan APK pendidikan tinggi. Pertama, jumlah seat atau kapasitas lembaga pendidikan tinggi sangat terbatas. Daya tampung pendidikan tinggi di Indonesia, terutama pendidikan tinggi negeri tentu sangat terbatas. Hal ini tentu dipengaruhi oleh prasarana pendidikan yang terbatas.
Sebagai contoh, IAIN Sunan Ampel tahun 2010 dipilih oleh sebanyak 8000 calon mahasiswa dan ternyata hanya bisa menampung sejumlah 2500 mahasiswa. Artinya ada sejumlah calon mahasiswa yang tidak bisa ditampung karena keterbatasan prasarana pendidikannya. Terutama ruang kuliahnya.
Harus diakui bahwa sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia memang terbatas. Yang dalam hal ini disebabkan oleh anggaran pendidikan yang belum seluruhnya kondusif untuk pengembangan pendidikan. Sebagai contoh, mengapa fakultas dan prodi ilmu social dan humaniora jumlahnya lebih banyak, satu di antara penyebabnya adalah karena sarana laboratorium yang tidak memungkinkan untuk mendirikan program studi sain dan teknologi atau ilmu kesehatan. Mendirikan prodi saintek dituntut untuk menyediakan dan mengembangkan sarana laboratorium yang memadai.
Disebabkan oleh banyaknya prodi social dan humaniora, maka menyebabkan banyaknya pengangguran intelektual yang merebak di mana-mana. Sehingga kemudian melahirkan pengangguran intelektual. Menurut Nina Sardjunani, bahwa yang ideal sesungguhnya adalah jumlah prodi saintek yang lebih banyak, sehingga lulusannya bisa memasuki dunia industri atau lainnya.
Kedua, kesenjangan kualitas. Bisa dipahami bahwa ada gap yang luar biasa antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya di tingkat input mahasiswa. Sebagaimana penuturan Muchlas Samani, bahwa kesenjangan antara lulusan setingkat SMA di Wilayah Indonesia Timur dengan Jawa misalnya sangat tinggi. Unesa yang diharuskan menerima calon mahasiswa dari Indonesia Timur akhirnya terpaksa harus menyelenggarakan matrikulasi untuk kepentingan penyetaraan pengetahuan antar mahasiswa dimaksud.
Kesenjangan antar lulusan SLTA ini akibatnya berdampak terhadap ketidakmampuan bersaing dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk memasuki perguruan tinggi. Sehingga ada sejumlah calon mahasiswa yang tidak kredibel untuk memasuki pendidikan tinggi.
Dengan demikian, maka untuk mendongkrak APK perguruan tinggi ternyata memang tidak semudah membalik tangan, sebab ada sejumlah kendala yang memang menghambat terhadap percepatan peningkatan APK tersebut.
Maka, saya sependapat dengan Heri Ahmadi bahwa meningkatkan APK pendidikan tinggi sebesar 2 persen memang berat bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.