MAKNA KEMERDEKAAN BAGI ORANG MISKIN
Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Jumlah penduduknya yang sangat besar dengan disparitas berbagai aspek kehidupannya, maka negara Indonesia ini masih terseok-seok dalam mengentas berbagai ketertinggalannya, misalnya pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Meskipun sumber daya alamnya melimpah, namun secara substansial belum dapat dimaksimalkan untuk pengembangan kesejahteraan masyarakatnya.
Kita tentunya tidak bisa menyalahkan begitu saja terhadap model pembangunan yang pernah dijadikan sebagai arus utama dalam program pembangunan di Indonesia, yang dikenal sebagai model developmentalisme. Asumsi dasar pembangunan dengan model ini adalah bahwa pembangunan akan dapat dilaksanakan jika terdapat modal kuat untuk pembangunan tersebut. Melalui program pembangunan tersebut kemudian akan terjadi trickle down effect. Sama seperti air muncrat yang kemudian akan turun ke lapisan bawah. Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka akan terjadi proses ”penetesan, perembesan atau pemuncratan” ke masyarakat lapisan bawah. Secara konseptual, model ini memang benar dan bahkan secara empirik juga pernah berhasil. Ketika Inggris kalah perang melawan Jerman dalam perang Dunia I, maka Inggris bangkrut secara ekonomi. Melalui bantuan permodalan Amerika Serikat kepada Inggris untuk membangun berbagai infrastruktur yang diperlukan, maka akhirnya Inggris kembali bangkit dari keterpurukannya.
Pengalaman keberhasilan model paket bantuan luar negeri tersebut, kemudian menghasilkan bahwa model tersebut akan manjur untuk diterapkan ke berbagai negara. Maka, model itu kemudian diterapkan ke berbagai negara berkembang. Indonesia mengadopsi model developmentalisme yang di masa awal sepertinya akan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat di masa Orde Baru seakan memberi sinyal bahwa tidak ada kesalahan dalam pemilihan model pembangunan tersebut. Sampai kemudian terjadi krisis ekonomi yang meluluhlantakkan seluruh bangunan struktur fundamental ekonomi masyarakat, sehingga menyebabkan krisis dunia yang hingga sekarang belum berakhir.
Di tengah arus itulah negara Indonesia sekarang berada. Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan Orde Reformasi ternyata belum menghasilkan kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Rakyat kita masih miskin. Kita tidak perduli apakah angka kemiskinan itu sebagaimana yang diungkap oleh BPS, 17% atau oleh Bank Dunia 45%, tetapi yang jelas secara kualitatif masih banyak kemiskinan di Indonesia. Jurang yang kaya dan miskin masih menganga. Banyak rakyat yang hanya berpenghasilan Rp.20.000,00 per hari. Sebuah gambaran bahwa rakyat kita belum merasakan apa arti pembangunan bangsa ini.
Kemerdekaan hakikatnya adalah proses mengentas kemiskinan. Maka makna yang mendalam bagi masyarakat adalah bagaimana mereka menjadi sejahtera di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, bagi masyarakat kebanyakan, kemerdekaan itu tidak ada artinya. Yang ada hanyalah rutinitas kehidupan. Pagi mencari sesuap nasi dan sore kembali ke rumah. Begitulah rutinitas kehidupan itu. Banyak di antara mereka yang penghasilannya hanya untuk makan saja. Jadi tidak berpikir apa yang akan dimakan besuk tetapi besuk makan apa. Besuk makan apa, artinya hari besuk belum ada yang akan dimakan. Karena untuk besuk makanan baru akan dicari hari ini.
Jika kita melakukan penelusuran terhadap mereka yang belum beruntung, mereka yang mengais barang-barang bekas, kaum gelandangan, para tuna wisma, dan lainnya yang masih belum beruntung secara ekonomi, maka seandainya ditanyakan apa artinya kemerdekaan bangsa ini, maka jawabannya adalah kemerdekaan ini belum berarti baginya. Dalam keadaan seperti ini, maka berarti bahwa kemerdekaan belum bermakna. Makna secara simbolik mungkin sudah tetapi makna substansial rasanya belum.
Sudah 64 tahun kita merdeka. Maka bagi para pemimpin yang tercerahkan lalu harus berpikir untuk menjawab pertanyaan besar: apakah anggaran pembangunan sudah pro-poor? Apakah APBN dan APBD sudah untuk rakyat? Maka rasanya menjadi penting untuk mencermati anggaran pembangunan tersebut di dalam kerangka agar rakyat kecil, kaum miskin ke depan akan merasakan makna kemerdekaan. Untuk kepentingan ini, maka harus ada sekelompok orang, para ahli, kaum LSM, atau para cerdik cendekia yang tercerahkan untuk selalu terlibat di dalam proses merencanakan, implementasi dan evaluasi program pembangunan yang pro-poor tersebut.
Para intelektual dan akademisi memang hidup di awan dalam arti memiliki independensi dalam berpikir, namun di tengah nuansa pentingnya pengawasan dan pendampingan di dalam proses pembangunan bangsa, maka mereka yang tercerahkan itu harus juga terlibat di dalamnya. Awan harus menjadi hujan agar kahadirannya memberi manfaat.
Wallahu a’lam bi al-shawab.