• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RAKYAT BUTUH SUBSTANSI KEMERDEKAAN

Kemerdekaan sebagaimana tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 memiliki subsatansi meningkatkan kecerdasan bangsa, membangun ketertiban dunia abadi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian kemerdekaan sebuah bangsa bukan hanya terlepasnya rakyat dari penjajahan secara fisik, terusirnya kaum penjajah dalam pendudukan wilayah, akan tetapi merupakan pembebasan seluruh kehidupan masyarakat yang secara substansial digambarkan sebagai bangsa yang bebas dari penindasan, kemiskinan, keterbelakangan dan peminggiran dari pergaulan dengan bangsa lain.

Kemerdekaan memiliki makna strategis bagi setiap bangsa. Dan ukuran substansial kemerdekaan bagi masyarakat adalah pemenuhan hajad hidup orang banyak, yaitu terpenuhinya kebutuhan ekonomi masyarakat. Indonesia telah merdeka selama 64 tahun.  Namun demikian yang masih terasa menjadi beban berat Indonesia dalam menapaki kemerdekaan ini adalah pada aspek pembangunan ekonomi.

Terlepas dari kebijakan ekonomi yang dianggap pro-liberalisme, neo-liberalisme atau lainnya, akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah masih kuatnya “penjajahan ekonomi” yang dilakukan oleh kaum pemodal.  Betapa negara adi daya tetap menancapkan taringnya dalam mendominai kehidupan ekonomi Indonesia. Serbuan modal asing betapa sangat nampak dalam sistem perekonomian Indonesia. Akibat konsep “pasar bersaing bebas” maka pasarlah yang dominan dalam mengatur sistem ekonomi Indonesia.

Sistem ekonomi yang terdapat di dalam UUD 1945 tidak lagi dijumpai. Sistem ekonomi berbasis usaha bersama ditelan oleh kekuatan pemilik modal. Dengan menjamurnya perusahaan ritel yang masuk ke kampung-kampung maka lambat tetapi pasti akan menghancurkan kekuatan ekonomi orang kampung yang selama ini menjadi tuan di wilayahnya sendiri.

Dengan semakin semaraknya serbuan ritel dan waralaba , seperti Indomart, Alfamart, dan juga dalam skala besar seperti Carefour, Sogo, dan sebagainya dengan berbagai jaringaanya akan menyebabkan semakin sulitnya perkembangan ekonomi lokal yang semestinya menjadi andalan.

Ekonomi pedesaan yang selama ini dapat dijaring oleh toko-toko kelontong di wilayah tersebut lama kelamaan akan dikalahkan oleh para pemodal, karena tidak mampu bersaing dengannya.  Jadi akan terdapat aliran modal ke kota bahkan internasional. Jadi jika perkembangan ritel tidak diregulasikan maka ke depan akan menghancurkan usaha-usaha lokal.  Bayangkan dengan semaraknya berbagai jenis makanan yang bermerek luar negeri, seperti KFC, Mc Donald, Pizza Hut dan sebagainya maka akan menyebabkan larinya keuntungan ke luar negeri. Untuk KFC, misalnya ayamnya harus standart import, kentangnya juga standart internasional, minumannya juga import dan sebagainya. Jadi keuntungan tidak ada yang kembali ke anak negeri.

Menyimak terhadap kenyataan ini, maka rasanya kemerdekaan ini belum menyentuh terhadap aspek mendasar kehidupan rakyat, yaitu menjadi sarana untuk menyejahterakan rakyat. Banyak anak negeri yang kembali menjadi “buruh” di negerinya sendiri. Menjadi buruh yang rentan dengan upah minimum regional yang terkadang tidak cukup untuk pemenuhan kehidupannya.

Tetapi inilah akibat dari globalisasi yang memang tidak bisa ditehan oleh siapapun. Modal asing, tenaga asing, perusahaan asing, dan sebagainya akan terus berekspansi di negeri ini. Dan tanpa terasa, kita sesungguhnya sudah menjadi bagian dari dunia global yang tidak mampu kita tahan itu. 

Ketika kita mengikuti upacara dengan hikmat, mengheningkan cipta untuk mengenang perjuangan para founding fathers negeri ini, maka di tengah nuansa syahdu itu lalu kita menjadi teringat bahwa mungkin di benak para pendiri bangsa itu tidak terpikir bahwa akan menjadi seperti ini dunia sekarang, khususnya perekonomian Indonesia. Mungkin waktu itu diharapkan bahwa konsep ekonomi yang digagasnya akan dapat dilaksanakan oleh para penerusnya.

Sesungguhnya  pemikiran mereka jauh melampaui masanya. Ketika  mereka berpikir bahwa ekonomi yang diinginkan bagi penataan negeri ini pasca kemerdekaan adalah ekonomi sebagai usaha bersama untuk kesejahteraan bersama, maka sebenarnya yang diharapkan adalah perekonomian yang selaras dengan tujuan peningkatan kesejahteraan bersama.  Sayangnya bahwa sejarah mengarahkan kita ke tempat lain. Yaitu ekonomi kapitalistik yang berbasis pasar. Jadi jika sekarang masih banyak anak negeri yang belum menikmati hasil kemerdekaan, kiranya itu adalah konsekuensi dari pilihan para penentu kebijakan yang “melupakan” amanah utama para founding fathers negeri ini.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Categories: Opini