MEMPERKUAT COMMUNITY SERVICES
Di dalam tulisan saya kemarin, saya menulis tentang bagaimana mempertautkan visi, misi dan aksi bagi pengembangan pendidikan tinggi. Saya sesungguhnya bermaksud untuk menggambarkan agar dunia lembaga pendidikan tinggi tidak hanya berkutat dengan konsep-konsep yang melangit dan tidak bisa diturunkan ke bumi, akan tetapi justru menghasilkan konsep aplikatif yang bisa menjadi pola dan model di dalam pembangunan masyarakat.
Perguruan tinggi bukan menara gading yang a historis, akan tetapi adalah wadah yang justru menjadi medan bagi bertemunya gagasan implementatif untuk pemberdayaan masyarakat. Di dalam hal ini, maka yang diharapkan dari dunia pendidikan tinggi adalah munculnya gagasan inovatif untuk kemajuan.
Kita tentu beruntung karena memiliki tri dharma perguruan tinggi. Artinya bahwa lembaga pendidikan tinggi di Indonesia tidak hanya untuk menghasilkan konsep akademis melalui penelitian yang andal, akan tetapi juga diharapkan menghasilkan temuan-temuan implikatif yang memiliki sejumlah kontribusi bagi pengembangan masyarakat.
Konsep pengabdian masyarakat yang telah dicanangkan semenjak tahun 1966 tersebut tentu telah teruji dengan sangat memadai sebagai bagian dari proses penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hanya sayangnya bahwa konsep pengabdian masyarakat yang kemudian tereduksi ke dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) tersebut sekarang semakin kehilangan maknanya. Bahkan juga banyak PT yang tidak lagi menerapkan KKN sebagai salah satu implementasi tri dharma PT tersebut.
Memang terjadi perubahan sosial yang sangat tajam di era 70-an, ketika KKN diperlakukan pertama kali, dengan KKN tahun 2000-an. KKN di tahun 70-an memang bisa menjadi sarana bagi proses membantu masyarakat untuk memahami perubahan sosial. Akan tetapi, di era belakangan ini masyarakat sudah memiliki pengetahuan perubahan, sehingga banyak peserta KKN yang justru ketinggalan informasi dibanding masyarakat sasarannya.
Pertimbangan inilah yang kiranya dijadikan sebagai alasan kenapa ada PT yang tidak lagi memberlakukan KKN sebagai bagian penting untuk program pendidikannya. Seharusnya PT justru menemukan pola-pola baru di dalam pelaksanaan kuliah kerja ini. Yaitu dengan menciptakan berbagai pola baru, misalnya yang dikembangkan oleh tiga PT: IAIN Sunan Ampel, UPN dan UB, setahun yang lalu. Kuliah Kerja Nyata Berkelanjutan Desa Model (KKN-BDMB) tersebut pernah terlaksana, hanya sayangnya kendala pendanaan yang kemudian menghentikan pola baru KKN ini.
Walaupun demikian, sesungguhnya UU Tridharma PT ini juga diperkuat lagi dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang juga mensyaratkan perlunya dosen memiliki tiga tugas, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Melalui pemberian tugas dosen, yaitu 9 sks untuk pendidikan dan penelitian dan kemudian 3 sks untuk pengabdian masyarakat, maka sesungguhnya ada tekad yang besar dari negara, agar dosen menjadi agen pengembangan masyarakat.
Sebagai insan akademis yang sangat sadar tentang konsep perubahan sosial akseleratif, maka sudah pantas jika dosen menjadi agen pengembangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa dosen adalah makhluk yang paling sadar tentang lingkungannya, maka sudah menjadi kewajibannya jika kemudian dengan kemampuan akademiknya tersebut dosen terlibat di dalam agensi sosial.
Saya sangat gembira akhir-akhir ini, sebab semakin banyak dosen IAIN Sunan Ampel yang terlibat di dalam berbagai gerakan keagenan sosial. Sebut saja misalnya Abdul Halim, Drs, MAg., yang memimpin lembaga non struktural Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat (PK2PLPM) yang sekarang sedang bekerjasama dengan Bapemas untuk mendampingi program pemberdayaan masyarakat di 10 kabupaten daerah tertinggal di Jawa Timur. Program ini merupakan bagian dari proyek Gerakan Mahasiswa Kembali ke Desa (Germalisa), sebab yang menjadi pendamping adalah mahasiswa setempat yang memenuhi kualifikasi akademis dan pemberdayaan.
Kemudian juga Dr. Yuliati yang memimpin lembaga Non structural English Language Training for Islamic School (ELTIS) yang di masa lalu dibangun oleh kerjasama IAIN Sunan Ampel dengan Pemerintah Australia, maka sekarang juga berkembang menjadi lembaga pengabdian masyarakat yang berkontribusi di dalam pengembangan kemampuan guru-guru dalam proses pendidikan bahasa Inggris.
Demikian pula terobosan yang dilakukan oleh dosen yang tidak menggotong institusinya, seperti Zainul Hamdi yang memprakarsai Jaringan masyarakat Anti Kekerasan (JAMAK) yang memiliki visi dan aksi untuk menanggulangi berbagai kekerasan social. Gerakan ini menjadi penting di tengah berbagai kekerasan sosial yang menyeruak akhir-akhir ini.
Tentu tidak bisa dihitung dengan jari, berapa banyak dosen IAIN Sunan Ampel yang terlibat di dalam organisasi sosial keagamaan, konsultan non profit, penceramah agama, konsultan rumah tangga, konsultan spiritual dan sebagainya. Semua ini adalah bagian dari pengabdian masyarakat yang sudah sepantasnya diapresiasi.
Benar kiranya, yang dinyatakan oleh Dr. Masdar Hilmy di dalam acara penutupan Cowater and CIDA Mission untuk program Local Leadership for Development (LLD), 23/11/2010, bahwa PTAIN memang didirikan sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.