ANTARA YANG URGEN DAN PENTING
Salah satu di antara hal mendasar yang perlu dijadikan sebagai pedoman bagi seseorang yang sedang menjadi pemimpin adalah kemampuan untuk membedakan antara yang urgen dan penting. Pemimpin di dalam berbagai levelnya, tentu. Secara general dapat dipahami bahwa yang urgen adalah yang penting dan mendesak, sedangkan yang penting adalah sesuatu yang memang perlu dan harus dilakukan, akan tetapi tidak mendesak.
Yang urgen, biasanya terkait dengan prioritas yang memang diperlukan dan diharuskan untuk segera ditangani. Yang urgen termasuk sesuatu yang harus dan mendesak untuk dilakukan oleh diri yang bersangkutan. Yang “urgen” itu sesuatu yang tidak bisa diwakilkan disebabkan oleh derajat kepastian melakukan. Sedangkan yang “penting”, tidak menuntut diri yang bersangkutan yang harus melakukan sebab masih bisa diwakilkan di dalam pelaksanaannya.
Di dalam hidup kita sehari-hari ada yang urgen dan yang penting. Meminjam ungkapan Gus Ipul, Wakil Gubernur Jawa Timur, beliau selalu menggunakan kata yang kelihatannya sangat sederhana, akan tetapi mengandung makna yang mendasar terkait dengan yang urgen dan penting tersebut. Jika beliau akan toilet, beliau menyatakan bahwa ini tidak bisa diwakilkan. Jika rapat atau yang lain bisa diwakilkan, akan tetapi urusan ke toilet ini harus dilakukan sendiri.
Ya, ke toilet memang tidak bisa diwakilkan. Ke toilet adalah persoalan yang urgen dan bukan hanya penting. Ke toilet memang urusan pribadi, akan tetapi jika tidak dilakukan secara tepat dan memang sangat dibutuhkan, tentu akan menyebabkan adanya berbagai persoalan. Ke toilet ternyata bukan hanya persoalan pribadi, akan tetapi persoalan pribadi yang memiliki relevansi dengan persoalan lainnya.
Kita ini, sebagai bagian dari tradisi paguyuban, yang seringkali tidak bisa membedakan mana yang urgen dan mana yang penting. Kita sering menganggap keduanya sama. Padahal derajad kualitas dan kepentingannya sangat berbeda. Banyak kebijakan yang dilakukan tanpa melihat mana yang urgen dan mana yang penting.
Maka akibatnya terjadi banyak kesalahan di dalam memberikan terapi kebijakan terkait dengan problem seseorang atau komunitas yang menjadi tanggungjawabnya. Satu contoh yang kelihatannya lumrah ketika kita menunda sebuah paraf atau tanda tangan pimpinan, maka secara langsung akan berdampak terhadap keseluruhan proses yang seharusnya running tepat pada waktunya.
Satu tindakan kecil tersebut ternyata memiliki dampak luar biasa bagi dunia penentuan kebijakan. Belum lagi jika ha itu terkait dengan bisnis. Hanya karena keterlambatan atau kekurangtepatan dalam memanaj persoalan, maka akan berakibat kerugian milyaran rupiah.
Dunia birokrasi pun harus belajar banyak tentang hal ini. Dunia birokrasi yang sering dianggap sebagai institusi yang “kurang tanggap” terhadap mana yang urgen dan mana yang penting, seringkali memang kedodoran di dalam menentukan kebijakan yang semestinya bisa diselesaikan. Kita juga tidak tahu, bagaimana perspektif alon-alon waton kelakon itu menjadi bagian dari tindakan-tindakan kita. Konsepsi ini bisa dipandang sebagai sesuatu yang negative dalam perspektif tindakan instrumental Weberian.
Di dalam tindakan instrumental, seseorang diminta untuk bertindak efisien dan efektif. Dua kata ini yang kemudian menyebabkan dunia barat dengan berbagai keyakinannya dianggap lebih maju dibanding dengan lainnya. Mereka menjadi leading karena tindakan efektif dan efisien tersebut.
Urgensi tidak hanya melibatkan tindakan cepat, tepat, efisien dan efektif, akan tetapi juga kemampuan mencandra apa yang akan terjadi esok. Jadi, harus selalu berpikir perubahan cepat yang bisa saja terjadi secara mendadak. Inilah saya rasa problem yang dihadapi oleh dunia birokrasi dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan yang akurat.
Saya ingin mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur dalam kaitannya membedakan mana yang urgen dan mana yang penting. Di dalam pembangunan daerah, maka semuanya dianggap penting. Tidak ada yang tidak penting. Akan tetapi di antara yang penting tersebut terdapat sesuatu yang sangat urgen, yaitu pengentasan kemiskinan.
Oleh karena itu, semua program pembangunan di Jawa Timur diarahkan dalam kerangka mengentas kemiskinan tersebut karena ia termasuk sesuatu yang sangat urgen. Misalnya tentang pemberian akses yang lebih luas dalam kaitannya dengan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Di dalam hal ini, maka seluruh program daerah diarahkan untuk mencapai hal ini.
Dan hasilnya, ternyata Jawa Timur menjadi penyumbang terbesar dalam pengentasan angka kemiskinan nasional, yaitu sebesar 30 persen. Jadi, sebagai pejabat memang akan lebih baik jika kita memahami mana di antara sekian banyak program itu yang dianggap urgen dan kemudian diusahakan secara maksimal agar bisa tercapai sasaran dan targetnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.