TKI DAN PERLUNYA KEBIJAKAN BERKEADILAN
Kekerasan fisik terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, khususnya Arab Saudi ternyata menjadi headline koran-koran di Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari tingkat kekerasan yang memang sudah melampaui batas. Bisa dibayangkan bagaimana kekerasan itu sampai berakibat cacat seumur hidup dan tentu saja meninggalkan trauma berkepanjangan.
Kita memang sungguh-sungguh harus merenungkan hal ini semua. Di dalam negeri kita dihajar oleh bencana yang bertubi-tubi dan di luar negeri wajah Indonesia juga tercoreng karena kekerasan terhadap pahlawan devisa di negeri Timur Tengah. Kita merasakan bahwa negeri ini memang sedang menderita dalam konteks kehidupan dewasa ini.
Akan tetapi sebagai bangsa yang besar, tentu kita tidak boleh meratapi terhadap berbagai kenyataan pahit di negeri ini. Kita mesti menghadapi berbagai cobaan atau ujian ini dengan kepala tegak dan terus berharap bahwa selalu ada pemecahan cerdas di antara berbagai masalah yang sedang mendera. For every problem there is a solution.
Kita juga tidak menduga bahwa tingkat kekerasan yang dialami oleh para TKI itu sedemikian parah dan banyak. Berdasarkan reportase JP, 21/11/2010, bahwa korban kekerasan di Saudi Arabia untuk tahun 2010 ternyata mencapai 5.636 orang TKI dan kebanyakan adalah kasus pemerkosaan. Ini tentu jumlah yang signifikan dalam kasus kekerasan. Selain itu juga ada kasus penganiayaan, dan bahkan pembunuhan.
Bahkan menurut catatan JP, 22/11/2010, juga terdapat sebanyak 14 WNI yang sedang menghadapi hukuman mati di Saudi Arabia. Kita lalu bisa merenungkan bahwa ada banyak kesulitan yang sedang dihadapi oleh warga Indonesia yang sedang mencari rizki di negeri dinar itu. Ini memang seperti buah simalakama, artinya di dalam negeri mereka juga termarginalisasikan karena tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak, sementara ketika ada pekerjaan yang bisa memberikan upah yang lebih baik, ternyata juga sangat rawan dengan permasalahan.
Menjadi TKI di Arab Saudi memang berbeda dengan di Hongkong atau negara lain. Di Hongkong, misalnya mereka bisa memiliki relasi dengan lainnya. Demikian pula di Malaysia juga masih dimungkinkan untuk melakukan berbagai relasi sosial dengan teman senasib dan keluarganya. Bahkan seorang TKI di Malaysia juga masih sangat aktif berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia.
Arab Saudi memiliki sistem sosial yang sangat tertutup, sehingga bisa saja para TKI itu memang tidak bisa untuk berkomunikasi dengan orang luar bahkan dengan keluarganya. Jika ada komunikasi, bisa saja akses itu sangat dibatasi. Hal ini tentu terkait dengan sistem sosial di Arab Saudi yang memang memberikan batasan akses bagi perempuan untuk berartikulasi kepentingan dalam ranah publik.
Dunia Timur Tengah yang kurang memberikan akses bagi perempuan untuk berartikulasi kepentingan tersebut, tentu membuat kesulitan khusus bagi TKI yang selama ini memiliki relasi dengan keluarga, teman dan masyarakat luas. Mereka seperti katak di dalam tempurung, bukan dalam pengertian pengetahuan, akan tetapi di dalam akses dengan dunia luar.
Akibat yang paling parah adalah ketika kemudian menjadi stress. Hal ini terutama akan dialami oleh TKI yang baru saja datang dari tanah air. Mereka seperti berada di dalam penjara kehidupan, karena larangan untuk berakses dengan dunia luar tersebut. Saya membayangkan bahwa dengan kemampuan bahasa yang sangat terbatas, kemampuan teknis yang pas-pasan, kemampuan untuk komunikasi yang sangat terbatas, maka pastilah akan menjadikannya stress berkepanjangan. Maka menurut saya, masa yang paling rawan adalah kira-kira satu sampai enam bulan pertama. Jika masa ini bisa dilalui dengan baik, karena adanya majikan yang memahaminya, maka kemungkinan juga akan diperoleh nuansa relasi majikan-buruh yang relatif baik.
Makanya, penanganan relasi majikan-buruh dalam masalah TKI di Arab Saudi juga sangat rumit. Di satu sisi memang ada budaya patriarkhi yang sangat kental dan di sisi lain terdapat relasi sosial yang tertutup. Oleh karena itu, penyelesaian masalah hanya dengan memberikan HP bagi TKI memang rasanya juga tidak memadai, meskipun bisa dianggap sebagai penyelesaian instan.
Menurut saya penyelesaian yang baik adalah melalui G to G, sebagaimana yang saya tulis kemarin. Di dalam hal ini, maka yang penting adalah adanya kesepahaman untuk berdialog dalam kesetaraan. Jangan sampai karena Indonesia yang mengirimkan TKI, maka posisinya menjadi inferior, sebaliknya Arab Saudi yang memberikan upah lalu menjadi superior.
Antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia memiliki relasi yang sangat baik semenjak lama. Tidak hanya karena relasi di dalam ibadah haji, akan tetapi juga sebagai sesama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka penyelesaian G to G menjadi sangat urgen bagi kedua pemerintahan.
Oleh karena itu kiranya dibutuhkan kebijakan yang bisa bermanfaat dalam relasi TKI ini. Harus ada kebijakan yang simbiosis mutualisme, artinya bahwa Negara Arab Saudi juga membutuhkan para TKI, sementara Indonesia juga membutuhkan peluang pekerjaan bagi warganya.
Mesti harus dirumuskan kebijakan yang berkeadaban dan berkeadilan di dalam membangun jaringan kerjasama dan relasi TKI ini sehingga citra sebagai masyarakat yang mengedepankan humanitas itu akan bisa diraih secara memadai.
Wallahu a’lam bi al shawab.