TENAGA KERJA INDONESIA; PERLU KERJASAMA G TO G
Sungguh kita tidak menyangka bahwa persoalan ketenagkerjaan, terutama TKI, yang akhir-akhir ini bermasalah mendapatkan perhatian yang begitu besar dari Presiden SBY. Di dalam siaran persnya, Presiden menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh oknum warga Arab Saudi tersebut sebagai tindakan yang di luar batas kemanusiaan.
Kekerasan terhadap TKI memang bukan sesuatu yang baru. Sebab selama ini telah banyak terjadi berbagai kekerasan fisik yang dialami oleh para TKI. Hampir seluruh negara yang di dalamnya terdapat TKI, maka dapat dipastikan akan terjadi kekerasan fisik. Di Malaysia, di Hongkong dan tempat lainnya juga terdapat kekerasan fisik ini. Akan tetapi yang di Arab Saudi ini memang menjadi sesuatu yang extra ordinary. Sebab penyiksaannya sampai menggunting bibir TKI.
Harus dipahami jika banyak warga yang memimpikan untuk bekerja sebagai TKI di luar negeri. Ada banyak cerita sukses tentang TKI. Bagi yang bernasib baik, maka dengan menjadi TKI, maka uang ringgit, reyal atau dolar pun bisa didapatkan. Dengan menjadi TKI, maka mereka akan bisa memperbaiki kualitas kehidupannya. Rumahnya menjadi lebih baik, pendidikan anaknya menjadi lebih baik, kualitas kesejahteraannya menjadi lebih baik. Hanya saja memang bisa sering terjadi kerusakan di dalam rumah tangga, yang disebabkan oleh banyaknya kasus perceraian dan sebagainya.
Disebabkan oleh peningkatan kualitas kehidupan para TKI tersebut, maka banyak orang yang kemdian berkeinginan untuk menjadi TKI di luar negeri. Jika tetangganya itu berhasi menjadi TKI di Malaysia, maka mereka berkeinginan pergi ke Malaysia. Jika mereka yang berhasil adalah mereka yang bekerja di Hongkong, maka mereka juga berkeinginan ke Hongkong. Begitulah seterusnya.
Sesungguhnya, pemerintah sudah melakukan pembinaan terhadap para TKI ini. Misalnya setiap tahun dilakukanlah pembinaan terhadap para TKI, seperti di Hongkong. Banyak ustdaz yang dikirim ke sini untuk melakukan pembinaan keagamaan. Bahkan selama bulan puasa, maka dilakukan acara keagamaan yang dipusatkan di kedutaan atau konsultan Indonesia di luar negeri. Hanya saja, karena jam istirahat bagi para TKI tersebut adalah jam 22.00 waktu setempat, maka pembinaan juga hanya bisa dilakukan pada jam 23.00 waktu setempat. Padatnya kegiatan bagi para TKI tentu menjadi masalah yang tidak mudah untuk melakukan pembinaan.
Sebagai pekerja yang memang tingkat pendidikannya rendah –kebanyakan lulusan sekolah dasar—maka tentunya banyak kendala bagi para TKI dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan dunia luar, khususnya para majikan di negara tempat bekerja. Sehingga bisa menyebabkan adanya gangguan komunikasi di antara mereka. Kendala bahasa tentu yang paling ruwet. Makanya jika terdapat problem bahasa di awal relasi majikan-buruh di dalam konteks TKI, tentu sangatlah wajar.
Hanya saja yang menjadi problem sangat mengedepan adalah kenapa sering terjadi kekerasan fisik terhadap para TKI. Adakah kesalahan yang luar biasa sehingga menyebabkan tidak ada yang dianggap layak sebagai hukuman kecuali harus melakukan kekerasan. Pertanyaan inilah yang kiranya perlu dijawab di dalam relasi buruh-majikan di negera-negara lain.
Kita tentu sudah tidak boleh lagi berbicara tentang tradisi yang menjadi dasar relasi antara majikan-buruh, seperti tradisi perbudakan di Timur Tengah atau relasi otoriter yang mendasari hubungan antara majikan-buruh. Dewasa ini, yang penting dikembangkan adalah konsep mitra di dalam relasi antara majikan –buruh. Di dalamnya ada relasi yang bercorak simbiosis-mutualisme. Mereka adalah dua kelompok yang saling membutuhkan. Tidak ada majikan tanpa buruh dan juga tidak ada buruh tanpa majikan. Keduanya diikat oleh hubungan kontraktual yang saling membutuhkan.
Konsep inilah yang seharusnya menjadi pola relasi antara majikan-buruh dalam hubungan kontraktual dimaksud. Semestinya, di dalam perjanjian kontrak antara majikan-buruh sudah terdapat ikatan saling membutuhkan tersebut. Di dalam hal ini, seharusnya Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) sudah menjelaskan tentang apa dan bagaimana hak dan kewajiban kedua belah pihak. Tidak hanya buruh yang berkewajiban memahami kontraknya, akan tetapi juga pengguna tenaga kerja juga harus memahami isi dan butir-butir kontrak kerja tersebut.
Saya sesungguhnya hanya khawatir bahwa banyaknya perlakukan buruk terhadap pada TKI itu disebabkan para majikan tersebut tidak memahami hukum-hukum yang terkait dengan tenaga kerja. Saya hanya khawatir bahwa karena mereka memiliki uang, lalu segalanya bisa diatur dan diselesaikan. Karena uang tersebut, maka para majikan tidak perlu memahami peraturan perundang-undangan yang seharusnya ditaatinya.
Di dala hal ini, maka urusan TKI bukan hanya urusan pribadi-pribadi, akan tetapi seharusnya memasuki ranah negara. Salah satu tugas negara adalah melindungi warganya dari berbagai ketidaknyamanan dan ketidakadilan. Maka, sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Presiden SBY, maka pemerintah tidak hanya mengurus apa yang sudah terjadi, akan tetapi juga harus mengurus yang belum terjadi.
Dan untuk ini, maka dua negara ini sebaiknya membuka dialog untuk menanggulangi perlakuan kekerasan yang banyak menimpa TKI. Tidak perlu menggertak, akan tetapi bagaimana masalah ini bisa diselesaikan dan yang akan datang tidak ada lagi kejadian serupa.
Wallahu a’lam bi al shawab.