TENAGA KERJA INDONESIA; ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Dalam minggu ini, harian Jawa Pos menurunkan laporan tentang penyiksaan yang diderita oleh Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKWI) di Luar negeri (baca Arab Saudi), yaitu perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh majikan para TKWI itu. Pada tanggal 18/11/2010 dilaporkan tentang TKWI yang digunting bibirnya dan kemudian tanggal 20/11/2010, dilaporkan tentang TKWI yang dibunuh oleh majikannya.
Sesungguhnya dua peristiwa ini juga tidak mewakili seluruh perlakuan buruk para majikan di dalam relasi buruh-majikan dalam rumah tangga di Arab Saudi. Namun demikian, yang sesungguhnya harus menjadi perenungan adalah bagaimana tindakan sekejam itu bisa dilakukan dalam relasi kemanusiaan. Katakanlah ada sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan oleh majikan, maka sesungguhnya mesti terdapat proses hukum yang seharusnya ditegakkan.
Kita juga tidak tahu secara mendalam tentang apakah relasi buruh-majikan dalam sebuah rumah tangga di Arab Saudi itu masih mewarisi tradisi dan sistem perbudakan yang sesungguhnya sudah dihapuskan oleh kodifikasi hukum Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw. Memang di zaman pra-Islam, tradisi di Arab memang memandang bahwa para pekerja wanita dianggap sebagai budak yang bisa diperjualbelikan.
Mereka ini layaknya barang yang bisa dipindahkan dari satu tangan ke lainnya melalui imbalan uang yang dianggap relevan. Jika kemudian ada orang yang membebaskannya, maka haruslah dibeli dengan harga yang pantas dan kemudian dibebaskan, sebagaimana Bilal, sahabat Nabi Muhammad saw yang dibebaskan dari perbudakan di era awal Islam.
Seharusnya, tradisi ini sudah punah di era modern ini. Melalui ajaran Islam yang begitu konsern terhadap kemanusiaan, maka perbudaan mestinya sudah tidak ada lagi. Kemudian juga dikuatkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Cairo Declaration (CD) tanggal 5 Agustus 1990, yang menyatakan bahwa bekerja adalah hak yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat untuk setiap orang yang siap bekerja. Setiap orang harus bebas memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi dirinya dan masyarakat (M. Bashori Muchsin, JP, 20/11/2010).
Melalui Cairo Declaration ini, maka sesungguhnya para pekerja, termasuk TKWI memperoleh jaminan keamanan, kenyamaan dan keadilan di dalam pekerjaannya. Sebab ditegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat harus menjamin hak tersebut terjadi. Apakah kemudian pemerintah dan masyarakat menjamin terlaksananya hak tersebut? Maka inilah yang kemudian menjadi kenyataan, bahwa ada masyarakat yang masih belum memberikan hak kepada para pekerja sesuai dengan yang seharusnya dilakukan.
Kasus yang menimpa Sumiati, tenaga kerja asal Dompu, yang bibirnya digunting oleh majikannya dan kemudian kasus Kikim Komalasari, asal Cianjur, yang dibunuh oleh majikannya tentu menjadi persoalan yang rumit di dalam relasi antara majikan dan buruh dan bahkan juga relasi antar negara, yang di dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia dan Arab Saudi.
Persoalan TKW memang sangat rumit. Bukan hanya sekedar sebagai sublimasi atas ketidakmenentuan tentang tenaga kerja yang harus diserap oleh sector tenaga kerja, akan tetapi juga menyangkut perlindungan hukum di kalangan mereka.
Memang harus disadari bahwa penyerapan sector TKI di luar negeri memang bisa mengurangi beban pemerintah di dalam menyerapan tenaga kerja. Banyak TKI yang bekerja di Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan juga Timur Tengah seperti Saudi Arabia. Mereka adalah pendulang rupiah di negara lain melalui sektor ketenagakerjaan.
Memang merupakan posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi mereka memang membutuhkan pekerjaan yang tidak didapatkannya di dalam negeri karena keterbatasan akses pekerjaan, tetapi di sisi lain mereka sering mengalami masalah dalam relasi antara majikan-buruh. Mereka yang bekerja di Malaysia saja kira-kira 2-3 juta orang. Belum yang di tempat lain. Artinya, bahwa sektor TKI di luar negeri memang sangat potensial untuk mengurangi beban ketenagakerjaan di Indonesia.
Kekerasan fisik dan psikhologis terhadap para TKI tentu bukan barang baru. Artinya, bahwa pekerjaan sebagai PRT bagi wanita Indonesia di tempat pekerjaannya memang rentan masalah. Mulai dari pelecehan seksual, trafficking, hingga kekerasan yang lebih buruk. Ini semua menandakan bahwa memang TKI yang bekerja di sektor rumah tangga memang perlu dievaluasi.
Hanya sayangnya, bahwa kebanyakan TKI yang kemudian memasuki bursa pekerjaan di luar negeri memang kebanyakan adalah pekerja kasaran, seperti tukang dan PRT. Hal ini tentu terkait dengan kemampuan mereka yang hanya untuk pekerjaan kasaran.
Dalam banyak hal memang berbeda dengan TKW dari Filipina atau Thailand yang memang bisa memasuki sektor yang lebih baik, seperti menjadi paramedis, guru atau lainnya yang disebabkan oleh jenjang pendidikan vokasional yang mereka peroleh jauh lebih baik. Jadi memang menjadi PRT adalah pilihan yang ditentukan oleh kualitas TKW yang bekerja di luar negeri.
Pemerintah Indonesia memang harus tegas di dalam menghadapi persoalan TKI ini. Jangan sampai bahwa kepentingan untuk memberi pekerjaan kepada warga Negara Indonesia melalui jalur TKI di luar negeri justru kontra produktif. Yaitu di satu sisi memang sangat membutuhkan, akan tetapi justru dengan kondisi itu mereka diinjak-injak harga dirinya.
Kita tentu berharap bahwa antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi dapat membangun sinergi yang berkeadilan. Artinya, bahwa pemerintah Indonesia harus bisa duduk sejajar dengan pemerintahan Arab Saudi dan juga para TKI dapat memperoleh keadilan sebagaimana hak yang seharusnya mereka peroleh.
Jika tidak seperti ini, saya khawatir bahwa kekerasan demi kekerasan yang akan dialami oleh para TKI akan terus eksis. Makanya, pemerintah harus dapat menyelesaikan problem ini secara tuntas. Dan para TKI kemudian akan merasa aman dan nyaman bekerja di manapun, karena jaminan negara terhadap mereka sangat mengedepan.
Wallahu a’lam bi al shawab.