PERLUASAN MAKNA BERKORBAN
Kita memang tidak tahu apa yang sesungguhnya menjadi hikmah dari semua kejadian yang menimpa bangsa ini. Akan tetapi sebagai umat beragama kita juga harus yakin bahwa semua yang terjadi pastilah mengandung hikmah yang adakalanya memang baru kita ketahui beberapa saat setelah semuanya terjadi.
Setelah saya khotbah di masjid Sabilillah Malang, kawan saya, Prof. Dr. Achmad Fatchan, mengirim sms kepada saya, dengan ungkapannya: “terima kasih telah menjelaskan tentang geo-lingkungan kepada jamaah shalat Id”. Saya menjadi berpikir, sedemikian pentingkah persoalan geo-lingkungan itu bagi semua jamaah masjid dan secara umum bagi masyarakat kita.
Memang akhir-akhir ini saya sering berbicara di berbagai forum, seperti wawancara radio, televisi dan bahkan surat kabar tentang berbagai persoalan yang menyangkut relasi antara gempa bumi, banjir bandang dan juga gunung meletus dalam kaitannya dengan adzab Tuhan, ujian Tuhan dan takdir Tuhan. Hal ini semata-mata saya lakukan untuk memberikan gambaran bahwa memang bisa saja apa yang terjadi di sekitar kita memang bagian dari takdir Allah yang memang mengandung ujian dan bahkan bisa saja adzab Tuhan.
Kehidupan manusia dengan alam, sesungguhnya adalah kehidupan yang simbiosis mutualisme. Seluruh alam ini oleh Allah diperuntukkan kepada manusia agar dikelola dengan baik. Hutan dan seluruh isinya mengandung kemanfaatan bagi manusia. Hutan dengan berbagai jenis tanaman di dalamnya dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi tentunya harus dikelola dengan baik. Jangan sampai kemudian dilakukan eksploitasi secara berlebihan.
Bencana banjir bandang di Wasior, Papua, di Jember Jawa Timur, di Sumatera dan sebagainya hakikatnya disebabkan oleh perusakan lingkungan alam yang dilakukan oleh manusia. Hutan yang ditebangi dengan tanpa melakukan penanaman ulang tentu akan menyebabkan kerusakan tanah dan akan menyebabkan banjir. Belum lagi kerusakan jangka panjang, yaitu berkurangnya debit air bawah tanah karena ketiadaan pepohonan di atasnya.
Kehidupan ini adalah sebuah sistem yang di dalam studi lingkungan disebut sebagai ekosistem. Jika satu sub sistem rusak, maka seluruh komponen di dalam sistem itu juga akan rusak. Makanya, kerusakan itu terjadi disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggungjawab. Yang sungguh kemudian menyedihkan adalah sebagaimana yang terjadi di Wasior atau daerah lain, sebab yang merusak hutan itu bukanlah mereka, yaitu para pengusaha hutan, akan tetapi merekalah yang kemudian terkena balaknya.
Jika yang terjadi seperti ini, maka bencana itu lalu bisa dinyatakan sebagai adzabTuhan atau ujian Tuhan atas manusia. Disebabkan karena ulah manusia, maka manusialah dan berbagai hal yang terkait dengannya yang merasakan akibatnya. Banjir, tanah longsor dan sebagainya yang disebabkan oleh penggundulan hutan adalah akibat dari ulah manusia yang mengekspolitasi alam secara berlebihan.
Dan tentu hal ini meninggalkan pengalaman traumatic yang luar biasa bagi masyarakat yang menjadi korban. Mereka kehilangan orang tua, anak, saudara, keponakan dan sebagainya. Belum lagi pengalaman traumatis yang tentu akan memakan waktu lama untuk penyembuhannya. Jadi, memang ada hal yang harus diperhatikan secara mendasar tentang relasi manusia dan alam di tengah kehidupan kita ini.
Menurut saya, bahwa ada dua sikap dan tindakan yang harus dilakukan terkait dengan banyaknya bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Bagi masyarakat yang terkena bencana, maka mereka harus dientas dari penderitaannya, melalui berbagai macam skema bagi pemberdayaannya. Tidak hanya memberi bantuan langsung tunai (BLT), akan tetapi juga memberikan kesempatan dan akses untuk memperoleh kerja dan kehidupan yang layak.
Kemudian bagi para pengusaha yang terkait dengan lingkungan, maka juga harus mengubah mindsetnya yang semula untuk kepentingan perusahaan yang kapitalistik kepada memperhatikan kepentingan masyarakat secara umum. Misalnya jika perusahaan tersebut terkait dengan hutan atau ekspoitasi hutan, maka harus diperhatikan bagaimana mengelolanya secara memadai agar adzab Tuhan kepada masyarakat umum tidak lagi terjadi. Bayangkan bahwa Indonesia sebagai negara hutan tropis sudah menjadi nomor tiga di dunia yang hutannya rusak.
Makanya, di tengah nuansa korban ini, maka banyak hal yang harus dipahami. Korban dengan binatang ternak adalah symbol ritual yang seharusnya memiliki perluasan makna. Artinya berkurban tidak hanya menyembelih hewan korban, akan tetapi menyembelih sifat-sifat kehewanan kita yang cenderung eksploitatif, individualistic dan merusak.
Berkorban dengan demikian harus dimaknai sebagai mengekang hawa nafsu kita untuk memperbesar kepentingan diri sendiri atau individu dengan melakukan eksploitasi secara total dan mengubahnya dengan melakukan manajemen tindakan yang mengarah kepada penjagaan harmoni antara diri, masyarakat dan lingkungan.
Jika ini bisa dilakukan, maka kita berkeyakinan bahwa bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia akan dapat diminimalisir. Tugan kita semua adalah bagaimana menjadi harmoni ala mini sebagai bagian dari ibadah kita kepada Allah. Setelah hablum minallah, maka harus terjadi hablum minan nas dan berikutnya adalah hablum minal alam. Dan ketiganya merupakan sesuatu yang sistemik di dalam implementasinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.