• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGGALANG PENGORBANAN DI TENGAH DERAAN PROBLEM KEMANUSIAAN

Khutbah Idul Adha di Masjid Sabilillah Malang

Prof. Dr. H. Nur Syam, Drs., MSi

Guru Besar Sosiologi dan Rector IAIN Sunan Ampel

 

Assalamu alaikum wr.wb.

Bismillahirrahmanir Rahim

Allahu akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu

Sidang jamaah id rahimakumullah

Pada pagi hari ini kita bersama-sama melaksanakan kegiatan ibadah kepada Allah swt, yaitu melakukan shalat idul adha, atau idul qurban. Ibadah pada hari raya kurban yang dikenal sebagai shalat Id adalah rangkain dari pelaksanaan ibadah haji, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s., dan kemudian diteruskan oleh Nabiyullah Muhammad saw., sebagai amalan yang memperoleh pengabsahan di dalam ajaran Islam.

Pada hari ini, sebagian umat Islam sedang melaksanakan ibadah haji sebagai perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah yang di dalamnya terdapat persyaratan spesifik, yaitu memiliki kemampuan ekonomi untuk melaksanakannya. Di dalam hal ini, Allah berfirman di dalam Surat Ali Imran: 97:

“walillahi alan nasi hijjul baiti man istato’a ilaihi sabila” yang artinya “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”.

Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban syar’i yang memiliki dasar hukum yang sangat jelas. Tidak ada sedikitpun keraguan mengenai kewajiban mengerjakan ibadah haji bagi umat Islam. Hanya saja memang mengerjakan haji adalah ibadah yang khusus, sebab mensyaratkan kemampuan ekonomi. Atau sanggup mengerjakan haji melalui pembiayaan perjalanan ke tanah suci.

Haji sebagai ibadah memang hanya diwajibkan sekali saja. Di dalam salah satu hadits Nabi Muhammad swt.,  yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Imam Ahmad dan Imam al Hakim, bahwa: Rasulullah bersabda:

“Al Hajju marratan, fa man zada fa huwa tathawwu’. Yang artinya: “kewajiban haji itu satu kali, dan orang yang melakukannya lebih dari satu kali maka itu adalah sunnah”.

 Jadi kewajiban haji hanyalah sekali saja, bukan berkali-kali. Jika kita melakukannya lebih dari satu kali, maka hal itu hanyalah sunnah saja hukumnya.

Sidang shalat Id rahimakumullah

Hari raya kita kali ini berada di dalam nuansa yang kurang  membahagiakan. Negeri ini sedang dilanda oleh berbagai bencana yang tidak terkirakan. Dalam waktu yang beruntun terdapat tiga bencana yang berskala besar. Bencana tanah longsor di Wasior Papua, Gempa yang menyebabkan tsunami di Mentawai dan meletusnya gunung Merapi di Jogyakarta. 

Akhir-akhir ini banyak bencana yang mendera bangsa Indonesia. Belum hilang dari ingatan kita tentang banjir bandang di Wasior Papua yang  meluluhlantakkan seluruh bangunan pemukiman di sana, maka kemudian disusul dengan Tsunami di Kepulauan Mentawai yang juga merenggut banyak nyawa manusia. Sepuluh desa musnah dan sebanyak 460 orang hilang.  Dan  yang barusan terjadi adalah meletusnya Gunung Merapi di wilayah Yogyakarta yang juga merenggut banyak nyawa manusia. Ada kengerian yang luar biasa  bagi warga desa di sekitar Gunung Merapi. Ada banyak korban yang terpanggang wedus gembel dengan tingkat panas sebesar 800 derajat celcius.

Bencana tentu bisa dikaitkan dengan konsepsi teologis, yaitu takdir Tuhan. Tidak ada di dunia ini yang tidak memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Bencana alam seperti gunung meletus adalah bagian dari takdir Tuhan yang tidak bisa dirasionalkan. Artinya, bahwa manusia dengan kemampuan ilmu pengetahuannya,  kemudian bisa menghentikan gunung meletus. Dia merupakan peristiwa alam yang tidak bisa ditolak oleh kemampuan manusia.

Jika Allah memang menghendaki, maka gunung meletus akan terjadi sesuai dengan sunnatullah. Artinya bahwa ada proses yang memang harus terjadi..  Manusia tidak memiliki kemampuan yang luar biasa di dalam menghadapi kekuatan alam yang dikendalikan oleh takdir Tuhan yang Maha Kuasa.

Negeri ini sedang dilanda duka di tengah semakin banyaknya orang beribadah pergi haji. Kita lalu bisa merenungkan dengan pertanyaan besar:  apakah  relevansi kepergian orang ke tanah Suci untuk pergi haji dengan bencana bertubi-tubi di negeri ini. Adakah ini merupakan peringatan Tuhan, Allah swt,  agar bangsa ini juga memperhatikan terhadap penderitaan sesama bangsanya.

Kita akan sulit menjawab pertanyaan teologis ini, akan tetapi memang perlu direnungkan bahwa di sekitar kita memang masih banyak orang yang perlu disantuni dan dibantu karena memang mereka adalah orang yang menderita. Mereka adalah orang yang belum beruntung di negeri sendiri, terutama yang terkena bencana seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

Di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa  ada orang yang tidak pergi haji, akan tetapi dinyatakan hajinya mabrur.  Ternyata, bahwa orang tersebut rela  menunda keinginan hajinya disebabkan dia harus mentasarufkan uangnya untuk kepentingan umat.

Pesan ini mengandung makna bahwa kemabruran haji ditentukan oleh keikhlasan niat di dalam beribadah kepada Allah dalam konteks sosial yang melingkupinya. Jadi, memang kita tetap harus peduli terhadap dunia sekeliling kita di dalam beribadah kepada Allah swt.

 

Sidang Shalat Id Rahimakumullah

Sesungguhnya Islam memiliki konsep yang sangat bagus di dalam membangun relasi antar manusia, yaitu konsep ukhuwah basyariyah. Konsep ini mengacu kepada persaudaraan  berbasis kemanusiaan. Maka dalam pengertian generic, ukhuwah basyariyah berarti persaudaraan kemanusiaan.

Jika kita runut, sebagaimana ajaran agama-agama Semitic, bahwa manusia yang sekarang menghuni dunia ini adalah anak cucu Nabi Adam.  Baik agama Yahudi, Nasrani dan Islam mengakui tentang keberadaan Nabi Adam As, sebagai manusia yang melahirkan manusia-manusia zaman kini.

Sebagai manusia, maka secara fisikal sesungguhnya manusia berasal dari sari pati tanah. Tidak ada yang menyangkal mengenai hal ini. Melihat hakikat manusia yang sesungguhnya berasal dari sumber potensi yang sama, maka sudah seharusnya jika semuanya menjalin kehidupan berbasis kesamaan sumber potensi kemanusiaannya tersebut. Dengan demikian, maka tidak ada ras yang lebih unggul satu atas lainnya. Jika orang Israel menyatakan dirinya sebagai manusia terpilih, dan kemudian orang Jerman menganggap etnisnya sebagai etnis unggul, maka sebenarnya tidak ada keterpilihan satu bangsa atau etnis atas lainnya dan juga tidak ada satu bangsa atau etnis yang lebih unggul satu atas lainnya.

Islam justru mengajarkan bahwa  manusia memang diciptakan beretnis-etnis dan bersuku-suku dengan harapan akan terjadi proses saling memahami dan mengenal.  Di dalam kenyataannya untuk mengukur yang terbaik, ternyata tidak mudah.

Di dalam hal ini, maka untuk menilai mana yang lebih unggul, maka Islam mengajarkan yang paling taqwa di antara manusia tersebut adalah yang terunggul. Kualitas taqwa itulah yang menentukan terhadap penilaian akan kebaikan atau keburukan seseorang. Itulah sebabnya, Islam mengajarkan bahwa tingkatan kebaikan itu bukan pada realitas fisik seseorang akan tetapi dari kualitas keberagamaannya.

Islam  menginginkan agar para pemeluknya menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhannya. Dia tidak mengingkari terhadap semua nikmatnya dan mensyukuri terhadap semua pemberiannya dan penciptaannya. 

Makanya yang membedakan antara satu dengan lainnya adalah kualitas keimanannya. Keimanan yang membebaskan, yaitu keimanan yang tidak membelenggu kemerdekaan dirinya dan kemerdekaan manusia lainnya.  Di dalam shalat misalnya, ketika seseorang sudah mengucapkan  kata Allahu Akbar, Allah maha besar, maka kemudian diakhiri dengan membaca salam, atau menyebarkan keselamatan.

Dengan demikian untuk membangun ukhuwah basyariyah, maka yang diperlukan adalah adanya kesamaan pandangan bahwa manusia memiliki perbedaan dan perbedaan bukan menjadi penghalang untuk mengedepankan kerukunan dan keteraturan.

 Siding Shalat Id rahimakumullah

Berkorban di era seperti sekarang ini, di tengah penderitaan yang diderita oleh para pengungsi karena bencana alam ini, maka yang mendalam dan penting adalah bagaimana membantu mereka agar terlepas dari penderitaan ini.

Maka yang menjadi kewajiban bagi umat Islam adalah melakukan pengorbanan dengan mengeluarkan infaq, zakat dan shadaqah dan kemudian ditasarufkan kepada mereka yang terkena bencana.  Salah satu tanda bahwa kita beriman kepada Allah di tengah kejadian bencana alam ini adalah ketika kita menyisihkan sedikit rizki yang diberikan Allah kepada kita.

Bahkan orang yang terbaik adalah orang yang menunda hajinya yang sudah ke sekian kalinya dan kemudian biaya haji tersebut bisa diberikan kepada mereka yang sedang menderita. Jika ada orang yang seperti ini, maka mungkin dialah orang yang tidak melakukan haji akan tetapi menjadi haji yang mabrur.

Oleh karena itu semoga kita menjadi bagian dari Sabda Rasulullah Muhammad saw.,

Afdhalul a’mali:  imanun billahi wa rusulihi, tsumma jihadun fi sabilillah tsumma hajjun mabrurun.” Yang artinya: “perbuatan yang paling utama adalah beriman kepada Allah swt dan rasulnya, kemudian jihad di jalannya dan kemudian haji mabrur.”

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu,  Aqulu qauli hadza fastaghfirullah al adzim li walakum innahu huwal ghafurur rahim.

Categories: Opini