IDUL ADHA BERNUANSA BENCANA
Hari raya Idul Adha layaknya dirayakan dengan suka cita. Bagi yang kaya bersuka cita karena bisa berkorban yang relevan dengan kemampuannya. Sedangkan yang miskin bersuka cita karena hari raya memberikan kesempatan baginya untuk bersetara dalam konsumsi dengan orang kaya. Makanya hari raya, di manapun dijadikan sebagai momentum untuk membangun kebersamaan dan kebahagiaan yang barangkali tidak dijumpai pada hari-hari lainnya.
Dinamakan hari raya kurban, karena peristiwa ini menandai terhadap upacara ritual yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s., yang dianggap sebagai kakek moyang agama Semitis, untuk melakukan upacara menandai rasa syukurnya karena pengorbanan putranya, Ismail a.s., yang diganti dengan domba dari surga karena kehendak Allah.
Seperti diketahui bahwa setelah Ismail a.s. menginjak dewasa, maka Nabi Ibrahim a.s. diperintahkan oleh Allah agar menjadikan Ismail sebagai korban dalam rangka menguji kepatuhan Ibrahim a.s. Di dalam ayat Al Qur’an, Surat Ash-Shaffat: 102, dinyatakan bahwa: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, maka Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”
Islam memang sangat menganjurkan agar hambanya melakukan kurban ini. Di dalam surat al-Kautsar: 2, dinyatakan bahwa “inna a’thainaka kal kautsar fashalli lirabbika wan har”, yang artinya “Allah telah memberikan sesuatu yang banyak kepadamu, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah”.
Dua ayat ini menggambarkan betapa berkurban adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat penting. Di dalam ibadah kurban tidak hanya terdapat dimensi ritual vertical kepada Allah semata, akan tetapi juga mengandung makna ritual horizontal. Sebagai ibadah ritual vertical, tentu saja harus didasari oleh keyakinan akan kebenaran ajaran Islam ini. Ibadah ini semula dilakukan oleh Ibrahim a.s., dan kemudian diabsahkan di dalam Islam melalui perilaku Nabi Muhammad s.a.w. yaitu dengan diberlakukannya ibadah kurban yang menyertai pelaksanaan ibadah shalat Id.
Ibadah di dalam shalat Idul Adha tidak hanya bernuansa ritual vertical tetapi juga ritual horizontal. Pelaksanaan kurban dengan hewan yang baik dan halal menjadi penting sebagai implementasi terhadap teks al Qur’an, bershalatlah lalu berkurbanlah. Inilah salah satu kelebihan dari konsepsi Islam tentang ritual, yang selalu memberikan tekanan yang baik antara ritual vertical dengan horizontal.
Di tengah nuansa hari raya kurban ini, ternyata ada suatu masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Yaitu bencana alam yang beruntun terjadi di Wasior, Papua, Tsunami di Mentawai dan kemudian meletusnya Gunung Merapi di Jogyakarta. Bencana alam ini seakan mendera negeri ini di tengah keinginan untuk melanjutkan pembangunan bangsa.
Bangsa ini memang pernah terpuruk di era krisis ekonomi tahun 1998. Akan tetapi bangsa ini akhirnya tetap tegar menghadapi masalah krusial bangsa tersebut. Secara perlahan tetapi pasti kemudian dapat mengatasi krisis dan berkemampuan untuk mengembalikan keadaan ekonomi seperti saat sebelum krisis.
Akan tetapi bencana alam yang bertubi-tubi tentu membuat masalah tersendiri. Bencana alam tentu dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kejadian yang memang mesti terjadi, seperti gunung meletus, atau gempa bumi yang memang secara sunnatullah harus terjadi. Ini merupakan bagian dari ketentuan Allah, bahwa Gunung Berapi memang memiliki peluang yang besar untuk meletus. Hanya waktunya saja yang Allah sendiri yang mengetahuinya. Sedangkan di sisi lain, ada bencana yang memang disebabkan oleh ulah manusia, seperti banjir bandang yang disebabkan oleh penggundulan hutan, sebagaimana banyak kasus yang terjadi di Indonesia.
Banyaknya bencana ini tentu harus menjadi peringatan bagi semuanya, bahwa ada kejadian alam yang memang harus terjadi dan ada kejadian alam yang disebabkan oleh ulah manusia. Makanya, ketika Allah memberikan cobaan ini, maka hendaknya semua menjadi yakin bahwa ada tangan lain yang sangat berkuasa untuk menentukan segala sesuatunya tentang dunia ini.
Akan tetapi dibalik kejadian bencana, lalu juga harus menyembulkan suatu sikap berderma atau memberikan sesuatu kepada yang lain. Kita semestinya menyadari bahwa dengan semakin banyaknya orang yang menderita karena bencana, maka akan semakin membuka mata kita agar yang kaya semakin banyak bersedekah.
Oleh karena itu, berkurban yang sangat baik di tengah deraan bencana adalah dengan memberikan uluran tangan kita untuk membantu mereka yang berkesedihan. Bahkan juga mungkin akan menjadi semakin baik, jika orang menunda hajinya yang kedua, ketiga dan seterusnya untuk kemudian uangnya diberikan kepada para kurban bencana. Jika ada yang seperti ini, maka inilah yang dinamakan muslim paripurna, yaitu orang yang mengedepankan kepentingan umat dibanding kepentingan ibadah privatnya kepada Allah.
Wallahu a’lam bi al shawab.