• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEMBANGKAN SENI TRADISIONAL

Sebagai  kota metropolis, Jakarta dan Surabaya memiliki ciri khasnya masing-masing. Jika Jakarta adalah kota metropolis sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan, perdagangan dan politik nasional, maka Surabaya adalah kota metropolis kedua dengan ciri khasnya sebagai kota perdagangan, industri dan maritim. Sebenarnya Surabaya dan Jakrta memiliki kesamaan dalam kaitannya dengan kepadatan penduduk dan lalu lintas. Hanya saja, Jakarta sebagai ibukota tentu jauh lebih padat dalam banyak hal ketimbang Surabaya.

Namun perbedaan yang sangat kentara adalah tentang dunia seni dan kesenian. Jakarta sebagai kota metropolis tentu jauh lebih lengkap fasilitas keseniannya. Bahkan juga dari sisi tempat-tempat untuk seni pertunjukan. Sebagaimana yang saya tulis kemarin bahwa Jakarta memang memiliki semua hal yang terkait dengan dunia seni, baik seni peran, seni suara, dan sebagainya bahkan juga fasilitasnya yang lengkap. Seniman teater, musikus, perupa, dan pelukis banyak yang mengais profesionalitas di Jakarta. Sehingga memunculkan pandangan,  jika ingin sukses dalam berkesenian, maka datanglah ke Jakarta.

 Di dalam hal ini, maka semua yang memiliki talenta berkesenian, lalu berbondong-bondong ke Jakarta untuk mengadu nasib dan peruntungan. Nama-nama beken yang semula munculnya di kota-kota lain,  maka menjadi besar di Jakarta. Hanya sedikit nama yang menjadi besar di daerah, misalnya almarhum Gombloh yang tetap bertahan di Surabaya dan menjadi besar juga di kota ini.

Dewasa ini sudah tumbuh budaya pop yang memiliki jarak jangkau tidak terhingga. Melalui penetrasi media yang sangat kuat, misalnya televisi, maka kesenian pop menjadi kesenian yang populer di masyarakat. Sinetron adalah salah satu contoh tentang dunia kesenian yang memiliki pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat. Siapa warga masyarakat yang tidak mengenal beberapa tema sinetron, seperti Cinta Fitri, yang berulangkali memperoleh award dari dunia persinetronan.

Namun demikian,  sebaliknya dunia kesenian tradisional justru tidak memperoleh tempat yang memadai. Beberapa kesenian seperti Sandor di Tuban, wayang krucil di pedesaan Jawa juga nyaris punah. Demikian pula kesenian seperti Baksodor, jatilan, dan lainnya juga sudah tidak lagi dikenal.

Kuatnya penetrasi media televisi ternyata secara pasti juga memberikan kontribusi bagi semakin meredupnya kesenian tradisional. Memang hal ini masih merupakan statemen hipotetik, akan tetapi realitas empiris menjelaskan bahwa dunia kesenian tradisional sudah lagi tidak menarik minat generasi muda. Andaikan dilakukan survey tentang pengetahuan remaja tentang kesenian tradisional, maka dapat dipastikan bahwa pengetahuan mereka tentang kesenian tradisional tentu sangat minim.

Persoalannya adalah siapa peduli dengan seni tradisional. Kita tahu bahwa sesungguhnya peran negara dalam melestarikan kesenian tradisional tentu cukup besar. Hal ini tentu saja disebabkan negara memiliki seperangkat aparatus dan anggaran yang menjadi dasar untuk pengembangan kesenian termasuk kesenian tradisional. Makanya harus ada keberpihakan para pengambil kebijakan untuk melestarikan kesenian tradisional di dalam masyarakat.

Kemudian masyarakat juga memiliki peran di dalam mengapresiasi terhadap kesenian tradisional. Sebab tanpa kehadiran untuk melakukan semua ini, maka keberadaan seni tradisional juga tidak aka nada manfaatnya. Masyarakat harus memberikan apresiasi terhadap kesenian tradisional, sehingga akan muncul sikap saling membutuhkan antara dunia kesenian di mata pemerintah dan masyarakat.

Lalu yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian seniman tradisional sendiri. Tanpa keseriusan dari mereka, maka juga tidak ada artinya. Oleh karena itu, keterlibatan seniman tradisional seperti Kartolo, dan sebagainya akan menjadi pemupuk tumbuhnya minat terhadap kesenian tradisional dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab

Categories: Opini