GUS IPUL, CAK KARTOLO DAN FSS
Saya sangat berbahagia karena memperoleh undangan dalam acara Pembukaan Festival Seni Surabaya yang dihelat di Balai Pemuda Surabaya, 6/11/2010. Acara Festival Seni Surabaya (FSS) sudah diselenggarakan tahun yang ke 14, semenjak tahun 1995. Namun acara FSS, Surabaya Experience ini baru diselenggarakan yang ke 12, sebab pada tahun 2004 dan tahun 2009 tidak dilangsungkan acara ini. Ada Pemilu Presiden, sehingga acara ini terpaksa off dulu. Kata Gus Ipul, pada waktu Pilpres tersebut memang sengaja tidak dilangsungkan acara FSS. Ada kekhawatiran acara ini ditunggangi oleh capres tertentu. Dengan gaya lucunya, Gus Ipul menyatakan: “seniman itu tidak mau ditunggangi, hanya mau menunggangi.”
Acara ini dibuka dengan tari Remo khas Surabaya yang dibawakan oleh Cak Kartolo. Dia adalah master Tari Remo dan Parikan Suroboyoan yang sangat terkenal. Dunia seni Surabaya menjadi hambar tanpa kehadirannya. Dia merupakan generasi emas tari Remo Suroboyoan yang sangat dikenal luas di kalangan masyarakat. Bersama Cak Kadar, Akhudiat dan beberapa yang lain, maka Surabaya dengan teater, baca puisi, Remo, Parikan dan Ludruk menjadi tarian rakyat yang dikenal luas.
Acara FSS akan diselenggarakan mulai tanggal 6-14 Nopember 2010. Di antara acara yang akan dihelat di dalam FSS adalah Pameran, Performance Seni Rupa dan Mural. Di antara acara tersebut adalah pembacaan puisi, parade film, launching dan diskusi buku cerpen, workshop seni, layar tancap, teater dan sebagainya.
Untuk menyemarakkan acara pertunjukan tersebut misalnya akan hadir, teater Koma Jakarta, Teater Teku Yogyakarta, pertunjukan Sastra Budi Palopo Surabaya, Tan Lie Oi Bali, Masyarakat Lumpur Bangkalan, Sastra Multi Media Sosiawan Leak Solo, dan yang tidak kalah menariknya adalah acara talk show “Kesusastraan Indonesia 25 tahun ke Depan”.
FSS diselenggarakan atas inisiatif Cak Kadar (Kadarusman alm.), Akhudiat (mantan Humas dan Dosen IAIN Sunan Ampel) dan seniman Surabaya lainnya. Hanya saja acara ini tidak bisa dihadiri oleh para pendirinya, sebab Cak Kadar baru saja meninggal dunia, sementara itu Cak Akhudiat juga kehilangan istrinya karena meninggal dunia. CakKadar dan Akhudiat adalah sosok penggerak Dunia Seni di Surabaya. Keduanya adalah orang yang mengabdikan dirinya di tengah kesulitan mengembangkan seni pertunjukan karena derasnya arus budaya pop yang melanda masyarakat Indonesia. Dunia seni seperti ludruk, baca puisi, pementasan drama dan sebagainya masih eksis di Surabaya karena keterlibatan keduanya.
Cak Akhudiat tidak hanya seniman tetapi juga pemikir. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya beberapa buku dari tangannya. Suatu ketika beliau datang ke kantor saya, tahun 2007, saat saya masih menjadi Pembantu Rektor II dan memberi saya sebuah buku yang bercerita tentang Kota Surabaya. Buku ini lahir dari observasinya terhadap situs-situs kota Surabaya yang masih langgeng seperti sekarang.
Di minggu-minggu terakhir ini saya merasa sangat berbangga, sebab ada dua acara pertunjukan yang saya hadiri bersama-sama dengan Gus Ipul. Acara Perjalanan Spiritual Iwan Fals dalam kolaborasinya dengan Ki Ageng Ganjur di IAIN Sunan Ampel, 2/11/2010, dan kemudian pembukaan acara FSS di Balai Pemuda Surabaya, 6/11/2010.
Dan seperti biasa, Gus Ipul didapuk untuk membuka acara. Di antara yang saya apresiasi dari Gus Ipul adalah kemampuannya untuk empati dengan acara apapun. Meskipun beliau seorang Gus dan Wakil Gubernur, akan tetapi gaya Suroboyoannya sangat menonjol. Beliau bukan mewakili dunia birokrasi yang angker dan kaku, akan tetapi tetap berada di dalam aura rakyat penggemar seni yang lucu dan menertawakan.
Ketika beliau harus membuka acara FSS, maka beliau panggil Cak Kartolo yang menjadi mascot dunia seni Surabaya. Beliau lakukan dialog khas Suroboyoan. Beliau bergurau dengan Cak Kartolo tanpa melihat bahwa beliau adalah Wakil Gubernur. Sebaliknya Cak Kartolo juga mengimbanginya dengan celetukan khas Suroboyoan yang menyegarkan. Misalnya, dialog tentang nasib para seniman. Tiba-tiba telapak tangannya Cak Kartolo dilihat Gus Ipul dan dengan berlagak seperti tukang ramal garis tangan, maka Beliau ungkapkan, bahwa garis tangannya ada yang terputus, sehingga nasib ekonominya juga terputus-putus. Maka secara spontan Cak Kartolo menjawab: “makanya enak jadi Wagub, uangnya banyak, kalau seniman hutangnya yang banyak.”
Bukan Gus Ipul kalau tidak bisa membuat nuansa menjadi gegap gempita. Pada acara yang mestinya serius, maka beliau juga selipkan humor-humor segar. Ketika membuka acara FSS, maka secara spontan beliau bertanya kepada Cak Kartolo, apakah Cak Kartolo mendengar tentang Lomba nyanyi kreatif yang diselenggarakan di Sampang dalam rangka peringatan Tujuh Belas Agustus. Maka Gus Ipul lalu menyatakan bahwa yang menang itu ternyata memang sangat kreatif. Di dalam lomba nyanyi kreatif itu, seorang peserta menyanyikan lagu 17 Agustus. Kata Gus Ipul, peserta itu menyanyi begini. “Enam belas Agustus tahun 45”. Maka spontan para juri protes, dan berkata: “Mas, yang benar itu, Tujuh Belas Agustus tahun 45”. Maka peserta itupun menjawab: “jangan protes dulu, dengarkan sampai saya selesai menyanyi. Tugas juri itu mendengarkan dan menilai. Kalau jelek jangan dimenangkan dan kalau bagus harus dimenangkan”. Dengarkan dulu, oke”.
Maka penyanyi kreatif itupun melanjutkan nyanyiannya. Dengan lantang dia menyanyi: “enam belas Agustus tahun 45, besuk hari kemerdekaan kita …”. Maka sontak penonton pun tertawa terpingkal-pingkal.
Ternyata Gus Ipul dan Cak Kartolo memang bisa menjadi pembuka acara yang sangat menarik. Gus Ipul bukan hanya santri dan wagub Jawa Timur, akan tetapi juga “pelawak” yang bisa mencairkan suasana yang beku. Gus Ipul bukan hanya representasi birokrasi akan tetapi juga representasi rakyat yang butuh siraman humor-humor penyejuk jiwa.
Wallahu a’lam bi al shawab.