Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN

Di dalam perbincangan tentang integrasi ilmu, maka Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh,  menyatakan bahwa yang lebih dahulu harus disatukan adalah visi kelembagaannya. Artinya, bahwa semua lembaga yang memiliki misi pendidikan haruslah menyatukan visinya, sehingga kemudian turunannya, seperti integrasi ilmu pengetahuan juga akan dapat dicapai. Tanpa integrasi kelembagaan sangat sulit untuk melakukan integrasi keilmuan.

Seperti lazim diketahui bahwa hingga dewasa ini, ternyata bahwa pembagian tentang ilmu umum dan ilmu agama masih sangat kuat. Artinya, bahwa pembidangan ilmu pengetahuan masih menyisakan konsep yang tidak bisa disatukan atau diintegrasikan. Makanya, selalu ada fakultas umum dan fakultas agama dan kemudian ada ilmu agama dan ilmu umum.

Kita sungguh bergembira bahwa meskipun bukan by design, akan tetapi proses perjalanan menuju integrasi ilmu yang  telah terjadi.  Dahulu, keinginan untuk mengembangkan ilmu yang integratif telah dilakukan oleh  mereka yang tergabung di dalam program islamisasi Ilmu. Di beberapa tempat, lalu ada sekelompok orang yang mengembangkan kajian-kajian tentang islamisasi ilmu. Dia menyebut sebagai  ilmu social profetik, dan sebagainya.

Akhir-akhir ini, kita merasakan betapa proses islamisasi ilmu itu telah berjalan dengan sangat deras. Sekarang hampir tidak dijumpai secara tegas, tentang mana ilmu yang dikembangkan oleh sebuah institusi, apakah lembaga agama atau lembaga umum. Ambil contoh, ilmu yang dikembangkan di universitas  umum dan universitas keagamaan juga menggambarkan tidak ada perbedaan yang signifikan.

Misalnya,  ilmu yang dikembangkan di IAIN atau UIN terutama yang berbasis pendekatan sosiologis dan antropologis, maka akan didapati kesamaannya dengan ilmu-ilmu social yang dikembangkan di PTN.  Misalnya, di Universitas Airlangga dijumpai disertasi yang berjudul “Konstruksi Sosial Upacara pada masyarakat Islam pesisir, yang kemudian diterbitkan dengan judul “Islam Pesisir”.  Tulisan ini, senada dengan  disertasi “Konstruksi Sosial tentang pesugihan di Gunung Kawi”. Disebabkan oleh sasaran kajian yang berupa masyarakat Islam dengan pendekatan sosiologis, maka akhirnya juga terjadi integrasi ilmu. Artinya, bahwa melalui pendekatan sosiologis, maka akan menghasilkan kajian-kajian terhadap masyarakat Islam seperti itu.

Di sisi lain, di beberapa perguruan tinggi, salah satunya Universitas Brawijaya, maka warna normatifnya juga sangat mengedepan meskipun kemudian juga diintegrasikan dengan realitas empiris di sekelilingnya.  Misalnya disertasi dengan tema “Nilai-Nilai Islam dalam Pemberantasan Korupsi” atau kajian yang bertema “Peranan budaya berbasis Islam dalam pengembangan kinerja pada perajin Batu Mulia di Banjarmasin”. Kajian ini betapapun ditulis oleh ahli di bidang  Administrasi Pembangunan dan Manajemen. Kajian ini memberikan gambaran tentang bagaimana integrasi ilmu itu dilakukan.

Kita sungguh bergembira bahwa di tengah proses pengembangan ilmu pengetahuan yang terus berlangsung, maka ada arah baru mengenai  integrasi ilmu pengetahuan.  Sekarang pengembangan ilmu pengetahuan tertentu tidak menjadi otonomi sebuah lembaga pendidikan tertentu. Akan tetapi ada prose saling menyapa di antara keduanya.

Melalui bagan pengembangan ilmu pengetahuan yang integrated, maka ke depan akan didapati proses saling menyapa antara satu disiplin dengan disiplin lain. Jadi, rasanya tidak ada keraguan ke depan untuk mengembangkan Ilmu keislaman multidisipliner yang sesungguhnya menjadi cita-cita bersama.

Kita memiliki keyakinan bahwa pengembangan ilmu keislaman multidisipliner yang kita dengungkan dewasa ini bukan sesuatu yang tidak bersearah dengan kemauan kaum akademisi di sekitarnya.  Oleh karena itu, visi pengembangan keilmuan seperti itu mestilah memperoleh dukungan dari semua pihak.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini