YANG HILANG DARI BANGSA INI
Ketika saya mendengar berita di televisi bahwa banyak terjadi penjarahan terhadap harta warga desa di sekitar Gunung Merapi pasca semburan Wedus gembel, maka saya sungguh termenung. Apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di dalam dada orang-orang yang melakukannya. Orang-orang di desanya Mbah Maridjan yang mengungsi, kemudian pulang kembali ke rumahnya masing-masing untuk melihat dan mengecek harta benda yang ditinggalkannya, ternyata didapati banyak harta mereka yang dijarah. Sungguh suatu keadaan yang tidak masuk akal, bahwa kaum menjarah itu melakukannya terhadap orang-orang yang sedang bernasib tidak baik.
Di sisi lain, kemudian juga terdapat berita di televisi tentang pertandingan sepakbola yang rusuh, sebab penontonnya mengamuk kepada petugas kepolisian yang menjaga pertandingan. Pemicu kerusuhan karena para penonton tersebut tidak bisa masuk ke dalam stadion. Pertandingan antara Perseja Jakarta dengan Persib Bandung tersebut memang tidak terganggu, sebab kerusuhan terjadi di luar stadion. Tetapi yang membuat merinding adalah penonton itu sudah menyiapkan berbagai macam alat untuk membuat kerusuhan, misalnya mereka membawa rantai sepeda motor, rantai sepeda pancal, geer motor, dan berbagai alat kekerasan lainnya.
Apa yang hilang dari bangsa ini? Pertanyaan ini bukan pertanyaan filosofis, akan tetapi pertanyaan yang mestinya menjadi bahan renungan bagi kita bersama tentang tindakan manusia Indonesia akhir-akhir ini. Pertanyaan ini juga merupakan sebuah keprihatinan tentang tindakan bangsa ini yang cenderung mangarah kepada tindakan kekerasan massif dan juga tindakan menyimpang tanpa perasaan.
Coba kalau dipikir, bagaimana mereka itu merencanakan akan melakukan kekerasan dalam pertandingan sepakbola dengan membawa seperangkat alat kekerasan. Sementara itu, di sisi lain, di tengah kepedihan mereka yang terkena musibah Wedus gembel, dan harta yang ditinggalkannya, ternyata harta tersebut dijarah oleh sekelompok orang.
Sungguh bahwa tindakan seperti ini merupakan bentuk penyimpangan perilaku yang sama sekali di luar nalar dan perasaan. Semestinya, di tengah penderitaan yang mendera para pengungsi, maka semua tindakan semestinya diarahkan untuk membantu mereka. Semua perilaku harus ditujukan untuk memberikan pertolongan kepada mereka. Jadi jika ada orang yang justru memanfaatkan keadaan ini dengan melakukan penjarahan, maka sungguh ini merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji. Mereka ini adalah orang yang sudah gelap mata. Orang yang sudah tidak lagi memiliki naluri kemanusiaan yang sesungguhnya sangat mulia.
Tuhan, Allah Swt sesungguhnya sudah menciptakan manusia sebagai sebaik-baik makhluk. Menjadikan manusia sebagai “fi ahsani taqwim”, menjadi sebaik-baik makhluk. Dibekalinya manusia itu, pikiran dan perasaan, etika dan ilmu pengetahuan. Melalui pikiran, maka manusia akan dapat memilah mana yang penting dan tidak, mana yang masuk akal dan mana yang tidak. Tetapi juga memahami mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak. Sesuatu yang bermanfaat belum tentu baik dan boleh. Sebab ada kaidah-kaidah yang harus dijadikan landasan untuk menyatakan kemanfaatan, kebaikan dan kebolehan.
Menjarah barang-barang milik pengungsi bisa saja bermanfaat bagi mereka yang menjarah, sebab barang-barang itu bisa digunakan untuk sesuatu yang diinginkannya. Akan tetapi, hal itu tidak cukup, sebab tentu harus dipertimbangkan dari sisi apakah itu merupakan tindakan kebaikan dan diperbolehkan untuk dilakukan. Di sinilah aspek moral menjadi tolok ukur untuk menentukan tindakan yang bisa dan boleh atau baik untuk dilakukan atau tidak.
Allah swt, Tuhan yang Maha Mencipta memang sudah menyatakan bahwa jika manusia dengan kemuliaannya itu tidak bisa berlaku baik, boleh dan manfaat, maka mereka akan diturunkan menjadi makhluk yang hina, bahkan jauh lebih hina dari makhluk di dunia manapun. Allah menyatakan: “tsumma radadnahu asfala safilin” atau “kemudian dikembalikan manusia itu menjadi sejelek-jelek ciptaan Allah”.
Hal ini disebabkan bahwa di dunia binatang tidak didapati hukuman kecuali pengusiran, akan tetapi di dunia manusia maka terdapat hukuman fisik dan social. Hukuman fisik bisa berupa hukuman penjara atau lainnya, sedangkan hukuman social bisa berupa cibiran, , umpatan, dendam, hingga pengucilan dari pergaulan social.
Manusia memang menyimpan dua potensi yang luar biasa. Baik dan buruk. Potensi kebaikan tentu akan mengarahkan tindakan manusia kepada kebaikan dan sebaliknya potensi keburukan akan mengarahkan tindakan manusia kepada kejelekan. Di dalam hal ini, maka yang menjadi tugas manusia adalah memanej agar tindakannya selalu mengarah kepada kebaikan.
Di dalam hal ini, maka agama dengan segala ajarannya akan mengarahkan manusia untuk melakukan kebaikan tersebut. Sehingga potensi kebaikan akan bisa didorong untuk mengarahkan tindakannya kepada bagaimana menyayangi manusia dan alam seluruhnya.
Wallahu a’am bi al shawab.