DAKWAH DI TENGAH RADIKALISME
Ada tiga peristiwa menarik di bulan Oktober 2010 yang patut dicermati, yaitu: pertama, pelaksanaan workshop yang diikuti oleh pesantren di Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam rangka membahas tentang pentingnya mempertahankan pilar-pilar kebangsaan bagi seluruh elemen bangsa Indonesia. Acara ini digelar di Surabaya, dua minggu yang lalu. Pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman, memang harus dipertahankan di tengah berbagai gerakan yang terjadi akhir-akhir ini.
Kedua, acara yang digelar oleh PBNU –Lembaga Dakwah NU—bekerja sama dengan UIN Maliki Malang, yang bertemakan deradikalisasi agama yang dilaksanakan tanggal 30 Oktober sampai 01 Nopember 2010. Acara ini diikuti oleh kaum akademisi dan juga para aktivis NU yang memang selama ini terlibat di dalam kegiatan dakwah Islam. Acara ini juga menarik sebab menjadi ajang untuk membahas tentang gerakan radikal yang terus berkembang di Indonesia.
Ketiga, acara yang digelar oleh Pimpinan Pusat Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia (APDI) di Surabaya dan dihadiri oleh pimpinan Fakultas Dakwah UIN, IAIN dan STAIN se Indonesia dan juga para aktivis dakwah juga membahas tentang Peran dakwah Islam dalam konteks radikalisme. Seminar internasional dan Rapat Kerja Nasional (rakernas) ini memang menjadi ajang untuk membahas secara mendalam tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh para da’i di tengah semakin semaraknya gerakan radikalisme agama di Indonesia.
Narasumber yang hadir di dalam kegiatan ini antara lain adalah Kristen F. Bauer, Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jawa Timur, Mendiknas, Mohammad Nuh, Brigjen Ahmad Yani Basuki, staf ahli Presiden SBY dan juga Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Jauhari dan lain-lain. Selain temanya yang menarik, variasi peserta yang datang dari seluruh Indonesia juga menjadi kekuatan seminar internasional dan rakernas APDI ini. Bahkan juga terdapat beberapa peserta dari Simply Islam, Singapura, yang memang secara khusus datang di acara ini.
Dr. Ahmad Yani Basuki –alumni Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel—Brigjen yang menjadi staf ahli Presiden SBY, mengungkapkan hal-hal baru yang selama ini tidak disadari orang tentang relasi antara Indonesia dengan negara-negara barat. Sebagai akibat pengeboman terhadap WTC di Amerika Serikat, 11 September 2001, maka sontak dunia barat menganggap bahwa Islam itu sama dengan kekerasan. Kemudian ditindaklanjuti dengan pengeboman di Bali, 12 Oktober 2002, maka dunia juga semakin kuat beranggapan bahwa dunia Islam itu dunia kekerasan.
Akibat yang jauh lebih terasa adalah penarikan dan pembatalan terhadap berbagai kerjasama perdagangan dan investasi di Indonesia. Ada semacam ketakutan untuk melakukan investasi di Indonesia yang disebabkan oleh kekerasan demi kekerasan agama tersebut. Bagi dunia usaha, kekerasan agama tersebut menjadi semacam hantu di siang bolong yang menakutkan.
Kekerasan agama yang disebabkan oleh terorisme bahkan juga secara umum berpengaruh terhadap cara pandang dan gerakan anti Islam atau Islamphobia di seluruh dunia. Negara-negara yang dahulunya ramah terhadap Islam menjadi memerangi Islam. Di masa lalu, ketika ada orang Islam yang merasa tidak nyaman di negeri Islam –banyak ilmuwan yang eksodus karena pemikirannya—kemudian menetap di negara-negara barat. Mereka ini kemudian menetap di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda dan sebagainya. Mereka dilindungi di negeri ini, karena HAM dan demokrasi.
Akan tetapi karena kekerasan dan terorisme yang terjadi, maka kemudian negara-negara barat tersebut menjadi anti terhadap Islam dan umat Islam. Sehingga mereka lalu membatasi terhadap gerakan orang Islam di negaranya. Orang Islam diisolasi, dibatasi dan dipinggirkan sebagai akibat tindakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh Islam radikal terhadap warga negaranya. Jika dicermati, apa sesungguhnya kesalahan orang-orang yang di Bom di Bali, J.W. Mariott, Ritz Carlton dan sebagainya. Mereka adalah orang yang tidak tahu menahu persoalan politik dan agama.
Sebagai akibat dari kekerasan agama tersebut, maka orang-orang garis keras yang anti terhadap Islam lalu memperoleh momentum yang sangat baik. Geertz Wilders di Belanda menjadi sangat terkenal karena gerakan anti Islamnya dan memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat yang anti Islam atau islamphobia. Banyak orang di barat yang karena antiislamnya kemudian menjadi senator di negaranya. Mereka menjual kekerasan agama sebagai komoditi untuk memasuki parlemen dan pemerintahan.
Oleh karena itu, salah satu efek terorisme dan radikalisme Islam bagi dunia barat adalah memunculkan Islamphobia yang sangat tinggi. Jika kemudian terjadi gerakan antiislam di barat, sesungguhnya hal tersebut adalah efek dan bukan penyebab. Orang barat menjadi benci terhadap Islam bkan tanpa alasan, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh islam radikal terhadap warga negaranya. Orang sering keliru memahami tentang hal ini, sehingga semuanya dianggapnya sebagai efek, padahal banyak tindakan antiislam yang sebenarnya dipicu oleh perlakuan kekerasan agama.
Oleh karena itu, yang sungguh diperlukan adalah keterpaduan antara hard power dan soft power untuk mengatasi radikalisme agama ini. Hard power yang direpresentasikan oleh pemerintah hakikatnya adalah untuk mengatasi secara instan atau mengatasi secara cepat terhadap gerakan radikalisme. Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah peran soft power atau masyarakat –termasuk APDI—untuk melaksanakan pembinaan dan pembangunan masyarakat yang mengedepankan Islam rahmatan lil alamin.
Jadi, harus ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat di dalam mengatasi persoalan radikalisme yang terjadi di Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.