• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BENCANA YANG TERUS MENDERA

Akhir-akhir ini banyak bencana yang mendera bangsa Indonesia. Belum hilang dari ingatan kita tentang banjir bandang di Wasior Papua yang  meluluhlantakkan seluruh bangunan pemukiman di sana, maka kemudian disusul dengan Tsunami di Kepulauan Mentawai yang juga merenggut banyak nyawa manusia. Sepuluh desa musnah dan sebanyak 460 orang hilang.  Dan  yang barusan terjadi adalah meletusnya Gunung Merapi di wilayah Yogyakarta yang juga merenggut banyak nyawa manusia. Bahkan ikon Gunung Merapi Mbah Marijan yang fenomenal juga ikut tewas.

Selama ini Mbah Marijan dianggap sebagai pawangnya Gunung Merapi. Beliau memperoleh julukan Mas Panewu Surakso Hargo karena fungsinya dalam menjaga Gunung Merapi.  Masyarakat akan patuh terhadap apa yang dinyatakannya. Jika Mbah Marijan menyatakan harus mengungsi, maka penduduk di sekitarnya akan mengungsi. Beliau yang selama ini menjadi pembaca tanda-tanda alam yang sangat lihai. Jadi ketika akan datang wedus gembel (awan panas) yang disertai dengan lahar panas menerjang daerah sekitar Gunung Merapi, maka Mbah Marijanlah yang mengetahui terlebih dahulu.

Akan tetapi takdir Tuhan memang tidak bisa ditolak oleh siapapun dan orang mestilah tunduk terhadap takdir Tuhan tersebut. Selama ini memang Mbah Marijanlah yang selalu menjadi pembaca pertanda alam itu. Artinya, bahwa melalui kemampuannya membaca pertanda alam, maka beliau yang memerintahkan masyarakat lainnya untuk melakukan sesuatu.

Namun demikian takdir Tuhan sungguh di luar kemampuan manusia. Mbah Marijanpun terkena awan panas dan meninggal. Tetapi satu hal yang sangat mengagumkan dan bahkan mungkin sangat sedikit orang yang meninggal dalam posisi seperti beliau adalah Beliau meninggal dalam keadaan shalat dan suasana sujud kepada Allah. Jasad Mbah Marijan ditemukan oleh Tim SAR dan PMI tertimbun abu Merapi dan dalam keadaan sujud.

Sungguh di minggu ini ada dua peristiwa yang membuat hati saya termenung. Ada dua orang hebat yang sama-sama meninggal dalam keadaan sujud kepada Allah. Yaitu Prof. Dr. KH. Syaikhul hadi Permono, SH,MA yang meninggal dalam keadaan sujud di Jakarta dalam tugas BAN PT dan yang lainnya adalah Mbah Marijan yang juga meninggal dalam keadaan sujud. Subhanallah, telah kembali hamba-Mu yang luar biasa itu. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Bencana tentu bisa dikaitkan dengan konsepsi teologis, yaitu takdir Tuhan. Tidak ada di dunia ini yang tidak memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Bencana alam seperti gunung meletus adalah bagian dari takdir Tuhan yang tidak bisa dirasionalkan. Artinya, bahwa melalui kemampuan manusia dengan ilmu pengetahuan kemudian bisa menghentikan gunung meletus. Dia merupakan peristiwa alam yang tidak bisa ditolak oleh kemampuan manusia.

Jika Allah memang menghendaki, maka gunung meletus akan terjadi sesuai dengan sunnatullah. Artinya bahwa ada proses yang memang harus terjadi. Pertanda tentang akan meletusnya Merapi memang bisa diramalkan. Akan tetapi kapan datangnya yang pasti ternyata tidak bisa diduga secara akurat.

Manusia memang memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda alam. Bahkan dengan kemampuan ilmu pengetahuan bahkan mungkin secara lebih akurat juga bisa membaca tanda-tanda alam. Akan tetapi manusia tetap saja tidak tahu kapan sesungguhnya takdir Tuhan untuk umur, misalnya akan tiba. Sejauh yang bisa diduga hanyalah tanda-tandanya saja.

Negeri ini sedang dilanda duka di tengah semakin banyaknya orang beribadah pergi haji. Tiga bencana nasional: banjir Wasior, Tsunami Mentawai dan meletusnya Merapi adalah bersamaan waktunya dengan pemberangkatan ibadah haji.

Kita lalu bisa merenungkan dengan pertanyaan: apa relevansi kepergian orang ke tanah Suci untuk pergi haji dengan bencana bertubi-tubi di negeri ini. Adakah ini merupakan peringatan Tuhan, Allah swt,  agar bangsa ini juga memperhatikan terhadap penderitaan sesama bangsanya.

Kita akan sulit menjawab pertanyaan teologis ini, akan tetapi memang perlu direnungkan bahwa di sekitar kita memang masih banyak orang yang perlu disantuni dan dibantu karena memang mereka adalah orang yang dhuafa. Mereka adalah orang yang belum beruntung di negeri sendiri. Belum lagi yang kemudian terkena bencana seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

Jadi, memang ada pertanyaan yang perlu dijawab dengan hati dan perasaan dan bukan semata-mata dengan rasio yang diberikan Allah kepada kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini