MEMBENDUNG TERORISME
Untuk membendung terorisme memang tidak mudah. Artinya memang banyak variabel yang terlibat di dalam terjadinya peristiwa terorisme di berbagai negara. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Timur Tengah, Pilipina, Afghanistan, bahkan juga di negara-negara Amerika Latin dan Afrika.
Berkaca pada peristiwa bombing yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, maka kita mesti berpikir ulang tentang apa yang menjadi dominant factor terjadinya berbagai teror tersebut. Membendung terorisme melalui mencari penyebab memang sangat sulit sebab penyebabnya mestilah kompleks. Kompleksitas penyebab tersebut yang hingga sekarang “belum” tersentuh secara maksimal.
Memang siapapun harus berpikir lebih baik memberantas dari pada menembaki terhadap kaum teroris yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Yang kita lihat sekarang kecenderungan itu lebih terarah kepada tindakan kuratif dari pada preventif. Mungkin ada pertimbangan khusus aparat tentang hal ini.
Harus diakui bahwa mereka yang menjadi pengikut gerakan teroris adalah orang yang menjadi korban. Para pelaku adalah korban dari sebuah sistem rekruitmen gerakan kekerasan atas nama agama. Anehnya yang bisa direkrut kemudian memiliki sentimen keagamaan dengan arus kekerasan yang luar biasa. Pikiran, sikap dan tindakan in group dan out groupnya luar biasa. Siapa yang tidak di jalannya dianggapnya kafir meskipun yang bersangkutan sudah melakukan ajaran Islam dalam tafsirannya.
Namun benarkah rendahnya pendidikan menjadi penyebab terhadap orang menjadi berperilaku beragama secara fundamental? Jawabannya secara hipotetis tentunya menyatakan tidak. Dalam banyak hal yang justru memiliki sikap keberagamaan yang cenderung “keras” adalah mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Kalau tidak salah, Menteri Agama Munawir Syadzali dulu pernah menyatakan bahwa sikap keagamaan yang fundamental justru lahir dari perguruan tinggi. Pernyataan hipotetis ini tentunya perlu diuji secara empiris untuk membuktikan kebenarannya. Sama halnya dengan dugaan bahwa masyarakat desa dengan pendidikan seadanya dan dalam keadaan miskin pula jarang yang menjadi teroris atau beragama secara fundamental.
Namun sekali lagi bahwa “peluang” untuk menjadi radikal atau teroris sama besarnya ketika yang bersangkutan berada di dalam kondisi yang memungkinkan semuanya terjadi. Dan di antara peluang itu adalah kemiskinan dan akses pendidikan dan kemampuan rekruitmen pelaku.
Rendahnya daya tampung dunia kerja akan menyebabkan frustrasi yang luar biasa, sehingga akan menyebabkan mudahnya seseorang untuk direkrut ke dalam Islam garis keras, kemudian akses pendidikan yang memberikan peluang terhadap munculnya radikalisme juga bisa menjadi penyebab seseorang akan memiliki kesepahaman ideologi yang memuat Islam keras. Dan di antara faktor yang juga dominan adalah ketepatan rekruitmen yang dilakukan oleh kelompok ini, misalnya orang yang bermasalah atau sedang putus asa menghadapi kehidupan. Di saat seperti ini maka ketika datang kepadanya tawaran untuk kehidupan yang lebih baik di akherat, maka dia akan memperhitungkannya.
Di dalam tulisan pengantarnya terhadap buku “Islam Pesisir” karya saya, Pujo Semedi membuat konsep baru, yaitu “matematika supra material”, yaitu ketika akses kehidupan di dunia tidak lagi bisa didapatkan, maka orang akan berpikir mencari kehidupan yang lebih baik di akhirat. Makanya, ketika orang sulit mengkases pekerjaan, putus asa, tidak ada jalan keluar menghadapi kerasnya pertarungan di dalam kehidupan, maka ketika ada tawaran surga yang menjanjikan, maka dia akan dengan ikhlas melakukannya.
Jadi saya sependapat bahwa akses pekerjaan, pendidikan yang nir kekerasan dan pemberian kesejahteraan secara ekonomi yang memadai akan menjadi pembendung terhadap gerakan terorisme yang sekarang sedang menjadi pembicaraan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.