KEMANDIRIAN PENDIDIKAN TINGGI
Ada yang menarik dari ungkapan Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, di Jakarta beberapa hari yang lalu. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hendaknya didorong untuk semakin mandiri dalam hal keuangan. Namun demikian, perolehan keuangan perguruan tinggi negeri diminta tidak mengandalkan dari biaya kuliah mahasiswa. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa kucuran dana pendidikan nasional masih banyak yang terserap untuk pendidikan dasar. Jika alokasi dana untuk pendidikan dasar selesai tahun 2011, maka berikutnya akan dialokasikan untuk pengembangan pendidikan tinggi (Kompas, 21/10/2010).
Membicarakan tentang kemandirian pendidikan tinggi memang selalu menarik, sebab hingga saat ini pendidikan tinggi masih menjadi magnit kuat di dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan tinggi menjadi ikon bagi kualitas pendidikan manusia Indonesia. Artinya, semakin banyak orang Indonesia memasuki dunia pendidikan tinggi, maka akan semakin baik kualitas manusia Indonesia itu.
Memang harus diakui bahwa keberadaan pendidikan tinggi sangat tergantung kepada bagaimana pendidikan tinggi tersebut dapat memperoleh generate income yang memadai dari variasi sumber pendapatan. Jika diklasifikasi maka ada dua kategori besar untuk menandai keberadaan pendidikan tinggi dalam rangka memperoleh sumber pendanaan.
Pertama, adalah lembaga pendidikan tinggi yang memiliki basis kuat untuk peningkatan sumber daya keuangan yang disebabkan oleh disiplin keilmuannya memang sangat relevan dengan tuntutan pembangunan yan sedang digalakkan. Perguruan tinggi seperti ini, maka akan dapat “menjual” proposal program studinya ke berbagai institusi yang memiliki program kerja yang relevan dengan kebutuhan pembangunan.
Kedua, adalah lembaga pendidikan tinggi yang tidak memiliki basis kuat untuk peningkatan sumber daya keuangan yang disebabkan oleh disiplin keilmuannya memang merupakan ilmu-ilmu murni yang relevansinya dengan kebutuhan pembangunan “kurang” signifikan. Pendidikan seperti ini memang didesain untuk pengembangan keilmuan yang tidak memiliki relevansi langsung dengan pembangunan masyarakat. Termasuk di sini adalah perguruan tinggi yang mengemban tugas keilmuan agama dalam berbagai variasinya.
Jika corak yang pertama memiliki sumber daya kuat di dalam peningkatan incomenya, maka yang kedua tentu tidak bisamelakukannya. Perguruan tinggi negeri seperti UI, UGM, ITB, Unair, ITS dan lainnya tentu saja bisa melakukan peningkatan pendapatan secara memadai disebabkan oleh sumber pendanaan yang relative besar. Bisa dibayangkan bahwa pendapatan UI tahun berjalan berkisar 800 milyar rupiah. Demikian pula PTN yang lain juga bisa memperoleh pendapatan yang lumayan besar. Akan tetapi hal itu tentu tidak bisa disamakan dengan PTAIN yang rata-rata memperoleh pendapatannya hanya dibawah 50 milyar rupiah.
Disparitas sumber daya pendapatan PTN inilah yang kiranya membutuhkan sentuhan yang memadai. Artinya, bahwa memang secara riil ada PTN yang bisa mendapatkan dana yang besar sementara itu juga da PTN yang tidak bisa memperolehnya.
Makanya, menurut saya bahwa harus ada perlakuan yang berbeda untuk menjawab persoalan ini. Kiranya akan menjadi sangat penting jika melalui tipologi yang jauh lebih rinci kemudian dihasilkan pemetaan yang sangat riil mengenai kekuatan PTN dalam memperoleh sumber dana.
Oleh karena itu, melakukan pemetaan tentang potensi sumber dana bagi PTN dan juga PTAIN dirasakan sebagai sesuatu yang mendesak dan hasilnya nanti akan dijadikan sebagai patokan untuk menentukan seberapa sebenarnya intervensi dana pemerintah yang semestinya diberikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.