MEMBINCANG DA’I PROFESIONAL
Di sela-sela bermain badminton, seperti setiap minggu lainnya, saya kemudian berbincang dengan KH. Syukron Jazilan, seorang da’i yang namanya sangat dikenal di kalangan da’i di Surabaya. Memang di hari-hari tertentu, kami terbiasa bermain bulutangkis, untuk sekedar berolahraga. Hitung-hitung untuk mengeluarkan keringat. Bukankah keluarnya keringat menjadi “barang mahal” dewasa ini. Dan seperti biasanya, saya selalu bertanya “nanti ngaji kemana?” Sebuah pertanyaan yang biasa saya lakukan, ketika bertemu yang bersangkutan.
Ternyata dia menyatakan bahwa untuk hari ini ada dua kegiatan pengajian yang dilakukan. Satu di waktu siang dan satu lagi di malam hari. Jadi untuk hari ini ada dua acara mengaji. Seperti biasa, karena sekarang musim orang pergi haji, maka tema-tema yang diminta adalah tentang pergi haji. Menurutnya, bahwa acara mengaji ternyata menjadi lebih padat pada hari Sabtu dan Ahad. Bisa empat sampai lima kali sehari. Sekarang sudah muncul komunitas-komunitas pengajian yang acaranya memang dilaksanakan pada hari libur. Jika di masa lalu, acara mengaji dilakukan pada waktu malam hari, maka sekarang justru dilakukan pada hari Ahad pagi atau Sabtu pagi.
Saya pun pernah diminta untuk menjadi penceramah dalam acara pengajian Ahad pagi yang dilaksanakan di Masjid At Taqwa, Tuban. Acara ini ternyata dihadiri oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Ada pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, pengusaha, dan sebagainya. Kebanyakan adalah bapak-bapak dan ibu-ibu yang usianya sudah tidak lagi bisa dinyatakan muda. Ada juga kaum remaja, tetapi jumlahnya lebih sedikit.
Komunitas-komunitas pengajian memang sedang tumbuh di banyak tempat. Di kota-kota semakin banyak orang yang secara rutin melaksanakan pengajian. Tema yang diusung tidaklah tema-tema yang berat, akan tetapi tema-tema tentang ibadah dan akhlak. Komunitas ini memang menginginkan pengajian yang tidak bernuansa politik, misalnya. Makanya pesan panitia pengajian adalah agar hanya membicarakan dakwah saja atau materi keagamaan saja. Bolehlah melibatkan persoalan sosial, akan tetapi kacamatanya tetap dari perspektif agama.
Melalui meningkatnya jumlah komunitas pengajian tersebut, tentu membutuhkan banyak penceramah. Ada banyak da’i yang dibutuhkan untuk memberikan taushiah di bidang keagamaan. Dan salah satu yang disukainya adalah da’i yang bisa memadukan antara dakwah dan hiburan. Yang dibutuhkan adalah da’i yang mampu memberikan nasehat keagamaan, akan tetapi dibalut dengan varian-varian penyampaian yang memadai.
Beberapa saat yang lalu, saya menulis tentang Gus Aad yang berdakwah dengan alat musiknya. Dia menggunakan medium musik sebagai salah satu cara untuk menyampaikan dakwahnya. Sangat menarik. Ternyata melalui varian teknik dakwah tersebut, maka dakwah menjadi lebih “bernuansa”. Adakalanya dakwah juga disampaikan dengan humor yang sangat segar. Dakwah tidak hanya dilakukan secara monoton, akan tetapi dikemas dengan gaya “lelucon” yang segar. Jadi, pendengar tidak hanya segar karena santapan rohaninya, akan tetapi juga segar fisiknya karena bisa tertawa atau tersenyum secara ekspresif.
Jadi, seorang da’i tidak hanya memiliki kemampuan materi dakwah yang memadai. Akan tetapi juga kemampuan untuk menyampaikan dakwahnya dengan cara yang khusus. Ada yang mengemas dengan musik seperti KH. Ma’ruf Islamuddin, dan Gus Aad. Ada yang dengan menggunakan humor-humor segar. Dan ada juga yang melalui “tetesan” air mata dan sebagainya.
Akan tetapi, menurut Syukran Jazilan, bahwa yang paling penting adalah pengalaman lapangan. Semakin banyak pengalaman lapangan, maka akan semakin memiliki khasanah materi dakwah yang sangat baik. Ada orang yang sesungguhnya memiliki talenta dakwah yang baik, akan tetapi karena tidak memiliki “jam terbang” yang cukup, maka dakwahnya juga akan terasa ngambang. Sebaliknya, ada orang yang telantanya tidak terlalu baik, akan tetapi karena memiliki “jam terbang” yang memadai, maka akan menjadi jauh lebih baik. Jadi ada korelasi antara “jam terbang” seorang da’i dengan kemampuan yang bersangkutan di dalam dakwahnya.
Tetapi di atas hal ini semua, maka yang juga sangat mendasar adalah keikhlasan di dalam berdakwah. Seorang da’i adalah gembala umat. Dia adalah seorang pelayan. Makanya, tutur kata, sikap dan tindakan yang menyenangkan tentu menjadi syarat utama agar yang bersangkutan dapat terus eksis di tengah profesinya tersebut. Mungkin dia adalah seorang da’i yang bagus. Akan tetapi jika ada tutur kata yang tidak mengenakkan, tentu akan menyebabkan berkurangnya penghormatan pada yang bersangkutan. Menurut Syukran, bahwa dalam keadaan apapun, seorang da’i harus tetap tersenyum.
Kita sungguh bergembira bahwa dari waktu ke waktu, terus bermunculan da’i-da’I yang professional. Akan tetapi tentu ada pertanyaan: “bagaimanakah sumbangan Fakultas Dakwah dalam melahirkan da’i-da’i professional yang terus akan dibutuhkan umat”. Inilah tantangan kita bersama, terutama para pimpjnan PTAIN yang memiliki program di bidang dakwah.
Wallahu a’lam bi al shawab.