• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MINORITAS ISLAM DI ASIA TENGGARA; CATATAN AWAL

Beberapa tahun yang lalu, di IAIN Sunan Ampel diselenggarakan round table discussion yang melibatkan kerjasama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan IAIN Sunan Ampel untuk mendiskusikan tentang Minoritas Islam di Asia Tenggara. Saya masih ingat yang menjadi narasumber dari IAIN adalah Imam Mawardi, Masdar Hilmy dan Nadhir Salahuddin.  Ketiganya adalah dosen muda IAIN Sunan Ampel. Kemudian yang dari LIPI adalah Nuryanti, Erni Budiwanti dan kawan-kawan.  Acara ini memang dijadikan sebagai medium untuk mengumpulkan data tentang bagaimana keadaan Islam minoritas di beberapa Negara Asia Tenggara.

Rekaman  ini saya buka kembali untuk mengingatkan bahwa sekian tahun yang lalu sudah terdapat pikiran untuk memetakan tentang Islam minoritas di beberapa Negara Asia Tenggara, misalnya Thailand, Singapura dan Filipina. Di beberapa negara ini, memang kaum muslim menjadi jamaah kecil,  yang menjadi komunitas “kurang beruntung” dalam relasi antara Islam dan negara. Bahkan mereka dianggap sebagai kaum pembangkang yang terus berada di dalam pengintaian.

Jika ditelusuri lebih mendalam, bahwa keadaan yang tidak menguntungkan terjadi di Filipina. Umat Islam memang terkonsentrasi di Filipina Selatan. Mereka berada di dalam wilayah yang secara geografis menempati wilayah yang “lebih miskin” dibandingkan dengan wilayah lain di Filipina Tengah dan Utara. Sebagai kelompok minoritas yang tidak disukai, maka kebijakan pembangunan pemerintah tentu saja tidak sampai kepada mereka. Apalagi mereka adalah kelompok yang dianggap sebagai kelompok pembangkang dalam sekian rezim pemerintahan di Filipina.

Semenjak pemerintahan Ferdinand Marcos,  maka minoritas Muslim Filipina juga berada di dalam nuansa permusuhan dengan pemerintah. Melalui organisasi Front Pembebasan Muslim Filipina, maka terjadilah berbagai kontak senjata dengan pemerintah Filipina. Bahkan juga ketika pemerintahan dipegang oleh Cory Aquino, maka mereka juga menjadi kelompok separatis.  Hingga sekarang keadaan tersebut tidaklah berubah.

Bahkan di Filipina Selatanlah dikenal Camp Hudaibiyah yang dijadikan markas oleh Islam garis keras untuk melancarkan agitasi dan perlawanannya terhadap pemerintah. Melalui Camp Hudaibiyah inilah beberapa orang yang kemudian dikenal sebagai teroris dididik dan dilatih. Mereka memiliki kemampuan merakit bom, menggunakan senjata otomatis, menyerang musuh dan melakukan tindakan bom bunuh diri.

Pasca peperangan di Afghanistan, maka kaum Mujahidin yang tergabung di dalam Jamaah Islamiyah –meskipun terdapat banyak faksi—maka Filipina dijadikan sebagai tempat untuk melatih para pejuang militant Islam. Hampir semua yang terlibat di dalam gerakan terorisme di berbagai wilayah di Indonesia memiliki relevansi dengan perang Afghanistan dan kemudian Camp Hudaibiyah di Filipina Selatan.

Secara de facto, hingga sekarang relasi antara pemerintah Filipina dengan kaum militant Islam di Filipina Selatan masih bercorak antagonistic-conflictual.  Hal ini tentu saja disebabkan oleh radikalisme minoritas muslim tersebut di dalam relasinya dengan negara. Dengan demikian, jika kelompok ini masih terus berpegang kepada konsep perjuangannya yang  vis a vis negara, maka keadaan relasi tersebut masih akan terus berlangsung.

Di Thailand Selatan, mungkin keadaannya jauh lebih kompromistik. Kaum minoritas Muslim yang kebanyakan adalah kelompok Islam moderat tentu saja mewarnai terhadap relasi antara negara dan muslim itu. Meskipun secara umum keadaan ekonomi dan kesejahteraan mereka belum sebanding dengan mereka yang di tempat lain, namun secara politis mereka tidaklah membentuk perlawanan yang keras.

Mereka adalah kaum silent minority yang tidak secara atraktif melakukan pembangkangan kepada pemerintah. Mereka menerima kebijakan pemerintah melalui otonomi yang diperluas. Kebijakan pemerintah memang belumlah menyentuh terhadap apa yang sesungguhnya mereka inginkan, misalnya tentang agama dan pendidikan. Namun demikian secara umum bahwa mereka telah menjadi “bagian” dari sistem pemerintahan parlementer yang berlangsung di sini.

Jika pemerintah tidak melakukan pengetatan terhadap aktivitas dakwah dan membatasi terhadap pendidikan yang bercorak keagamaan, maka tindakan “melawan” pemerintah tentunya tidak akan dilakukan. Dan hal ini telah terbukti dengan keterlibatan mereka di dalam proses demokratisasi di negeri ini.

Oleh karena itu, jika dipetakan secara umum, maka relasi antara negara dan Islam di Thailand dapat dikategorikan sebagai resiprokal-kritis.  Di dalam hubungan semacam ini, maka antara pemerintah dan umat Islam saling menjaga jarak dan mengkritisi. Namun demikian sejauh pemerintah bisa memberikan rasa aman bagi pelaksanaan dakwah dan pendidikan sambil mengusahakan pembangunan yang berkeadilan, maka sikap kritis kaum minoritas muslim tidak akan terus bertambah keras.

Dengan demikian, jika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dapat dirasakan oleh kaum minoritas muslim, dan kebijakan tentang keagamaan juga tidak mencederai terhadap kepentingan kaum minoritas muslim ini, maka akan terdapat prospek yang semakin baik di antara mereka. Bahkan juga sangat mungkin mengarah kepada simbiosis mutualisme.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini