ISLAM DAN POLITIK DI MALAYSIA; CATATAN AWAL
Hiruk pikuk politik di Malaysia tentu tidak sekuat di Indonesia. Hal ini tentu disebabkan oleh kenyataan bahwa di Malaysia tidak sebebas di Indonesia di dalam mengartikulasikan kebebasan dalam berpolitik. Di Indonesia, sebagai akibat kuatnya tekanan untuk mereformasi kebebasan dan keterbukaan, maka muncullah berbagai macam gerakan yang mengindikasikan semakin besarnya tuntutan untuk kebebasan dan keterbukaan tersebut. Pasca tumbangnya rezim otoriter, Orde Baru, maka keterbukaan dan kebebasan tersebut menjadi seakan-akan tanpa batas.
Berbagai tuntutan yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat untuk menuntut akan perubahan, bahkan terkadang keluar dari batas kesopanan. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah demonstrasi di Jakarta beberapa saat yang lalu, dengan membawa kerbau yang ditulis dengan kata yang merupakan akronim dari nama presiden. Hal yang tidak akan berlaku di negara lain, meskipun menklaim dirinya sebagai negara yang bebas dan demokratis.
Demonstrasi seperti ini tentu tidak akan terjadi di Malaysia yang juga mengklaim dirinya sebagai negara demokratis. Tentu saja hal ini disebabkan oleh kontrol yang sangat kuat dari pemerintah Malaysia tentang bagaimana demokrasi tersebut ditegakkan. Meskipun orang kuat Malaysia sudah tidak berkuasa lagi, Dr. Mahathir Muhammad, namun penggantinya masih menerapkan kebijakan pengetatan terhadap aktivitas politik di negeri Jiran itu.
Melalui securiti yang dijamin kekuasaannya oleh pemerintah, maka Malaysia tidak mentolelir terhadap tindakan-tindakan yang dianggap membahayakan negara. Kita tentu masih ingat ketika terjadi peristiwa yang menimpa terhadap mantan timbalan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, maka dukungan terhadapnya juga dapat dieliminir sampai titik tertentu.
Di negeri Jiran ini, maka kekuatan oposisi dieliminasi sedemikian rupa, sehingga tidak bisa berkembang secara maksimal. UMNO sebagai partai pemerintah memiliki kekuatan yang sangat besar, powerfull dan gigantic. Partai ini masih sama kekuasaannya seperti Indonesia di era Orde Baru. Partai ini menjadi kekuatan yang bisa mengontrol terhadap kekuatan lawan politik sedemikian rupa. Kekuatan partai Islam, PAS, yang agak radikal, juga menggambarkan bahwa partai ini tidak memiliki basis kekuatan yang memadai.
Kontrol terhadap basis kekuatan agama juga dilakukan dengan cara yang lumayan kuat. Misalnya untuk khutbah saja, maka seluruh negeri menjadi sama contennya. Hal ini disebabkan adanya dewan kontrol naskah-naskah agama di seluruh negeri. Sehingga, materi dakwah pun di seleksi secara ketat oleh negara. Melalui cara yang sudah dipahami oleh para ulama dan pemimpin agama ini, maka tentu saja negara bisa mengontrol terhadap apa yang menjadi tema-tema pembelajaran keagamaan di seluruh negeri.
Itulah sebabnya dinamika pemikiran keagamaan tidak sesemarak di Indonesia. Jika pada dekade akhir, di Indonesia dihiasai dengan pemikiran-pemikiran keagamaan yang berhaluan liberal, misalnya oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) dan juga JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dengan berbagai diskursusnya, maka hal ini tidak akan pernah terjadi di Malaysia.
Melalui mekanisme kontrol yang sangat ketat terhadap berbagai aliran keagamaan dan berbagai ragam pemikirannya, maka dinamika pemikiran Islam di Malaysia tidak akan tumbuh secara cepat. Ada proses gerakan ortodoksi yang terus dipertahankan. Dan gerakan ini didukung kuat oleh negara, sebab secara politis tentu menguntungkan pemerintah.
Ketiadaan gerakan-gerakan pemikiran liberal di Malaysia, maka negeri ini menjadi negeri yang steril dari pikiran keagamaan yang lebih mengedepankan penggunaan rasio di dalam penafsiran keagamaannya. Tafsir-tafsir kontekstual yang biasanya digunakan oleh kaum liberal tentu tidak didapati berkembang secara bebas sebagaimana di Indonesia.
Namun demikian, sebagai akibat tingkat kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih baik dan juga anggaran pemerintah yang sangat tinggi untuk pendidikan, maka kemudian satu hal yang dapat dipelajari adalah semakin kuatnya mutu pendidikan di Malaysia. Dewasa ini sangat banyak mahasiswa Malaysia yang belajar di negara-negara Timur tengah untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Dan juga semakin banyak mahasiswa Malaysia yang belajar di Barat untuk mengkaji imu-ilmu sosial, humaniora dan teknologi.
Mereka yang telah belajar di berbagai negeri tersebut, kemudian kembali ke Malaysia dan kemudian terlibat di dalam proyek-proyek pembangunan masyarakat. Mereka tidak terlibat di dalam gerakan keagamaan yang memang tidak diberi ruang yang luas. Akibatnya, mereka kemudian hanya mengembangkan keilmuannya untuk hal-hal lain yang memang diberi kesempatan sangat besar.
Namun demikian, sebagaimana hipotesis umum yang selalu menjadi pegangan kaum demokrat, bahwa semakin sejahtera dan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka mereka akan menuntut penerapan demokrasi yang lebih luas.
Menurut saya, bahwa hipotesis inipun akan bisa berlaku di Malaysia, jika ruang untuk mengartikulasikan hal ini sedikit dibuka.
Wallahu a’lam bi al shawab.