ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA: SEKEDAR SURVEY HISTORIS
Semenjak awal, Indonesia memang memilih relasi antara Islam dan politik dalam coraknya yang simbiosis mutualisme. Hal ini tentu saja didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat Islam yang di dalam bermadzab mengikuti pandangan ahl sunnah wa al jamaah (secara teologis mengikuti Abu Hasan al Asy’ari dan Al Maturidi serta di dalam fiqih mengikuti madzab empat) dan secara tasawuf atau dalam kehidupan spiritual yang eksoteris mengikuti garis pandangan Imam al Ghazali. Ulama-ulama Islam Indonesia, sebagaimana di dalam penetapan UUD 1945 dalam banyak hal mengikuti pandangan moderatisme Islam dengan tidak mengharuskan formalisme agama.
Memang terjadi berbagai macam perubahan di seputar keinginan untuk merumuskan relasi Islam dan politik ini. Jika di masa awal, memang terdapat kecenderungan untuk merumuskan relasi Islam dan negara (politik) dalam coraknya yang simbiosis, maka pada dekade sesudahnya, kemudian terjadi tarik menarik yang kuat, apakah akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang menerapkan Islam dan politik yang integrated atau bahkan sekular.
Pasca Pemilu 1955, maka terdapat perimbangan kekuasaan antar partai politik, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. PNI secara tegas menyatakan bahwa dasar negara adalah Pancasila sebagaimana rumusan yang sudah menjadi kesepakatan nasional semenjak kemerdekaan. Sementara PKI menghendaki bahwa dasar negara adalah komunisme sebagaimana filsafat dasar yang menjadi pegangan kelompok ini. Sementara Masyumi menghendaki Islam sebagai dasar negara. Sementara itu NU dalam posisi yang akomodatif terhadap keingingan pemerintah.
Persidangan di dalam Konstituante semenjak berdirinya parlemen ternyata tidak menghasilkan rumusan yang memadai. Selama 3,5 tahun perdebatan di dalam sidang Konstituante ternyata gagal menentukan apa yang sebaiknya menjadi dasar negara. Perdebatan tersebut terkategori menjadi tiga hal yaitu: kelompok Nasionalisme, Komunisme dan Islamisme. Tiga kekuatan ini berimbang, sehingga tidak pernah bisa mengambil keputusan berdasarkan aturan yang berlaku.
Dalam waktu 3,5 tahun tersebut, maka parlemen hanya berkutat pada persoalan apakah dasar negara, sehingga tidak mampu merumuskan garis-garis besar pembangunan nasional yang sesungguhnya sangat diperlukan di awal kemerdekaan. Di tengah nuansa yang genting tersebut, maka Presiden Soekarno kemudian melakukan Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959.
Bangsa Indonesia kemudian kembali kepada UUD 1945, yang sebagaimana kita ketahui membawa konsekuensi relasi antara Islam dan negara tentu bercorak simbiosis mutualisme. Meskipun di dalam rentang waktu 1959-1965 terdapat tarikan-tarikan politik yang luar biasa antara Islam, nasionalisme dan komunisme, akan tetapi secara formal bahwa negara ini tidak mendasarkan kepada komunisme atau Islamisme. Bahkan ketika terdapat gagasan Presiden untuk mengimplementasikan Nasakom (nasionalisme, agamaisme dan komunisme), maka dasar negara tetap tidak berubah. Simplifikasi gagasan ini tentu didasari oleh realitas empiris bahwa masyarakat Indonesia memang secara politik aliran terdiri dari tiga penggolongan besar tersebut.
Di era Orde Baru, semula memang ada kecenderungan untuk merumuskan relasi antara agama dan politik tersebut di dalam coraknya yang separated atau terpisah. Namun upaya-upaya ini selalu mengalami kegagalan. Meskipun secara formal bahwa agama tidak lagi dapat dijadikan sebagai dasar bagi organisasi, sebab semua harus menjadikan Pancasila sebagai asas dan dasar organisasi, namun usaha ini selalu menemui jalan buntu. Bahkan semua organisasi tetap saja berhaluan sebagaimana visi para pendahulunya mengenai apa yang harus dilakukannya. Maka agar dapat menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi keagamaan (Islam), maka ditafsirkanlah Pancasila tersebut dalam perspektif keislaman. Maka muncullah relasi Pancasila dan Islam atau pandangan Islam tentang Pancasila.
Usaha untuk menjadikan relasi antara agama dan negara yang sekularistik kemudian mengalami kebuntuan, ketika kemudian Pancasila ternyata justru memiliki relevansi yang sangat kuat dengan agama. Di dalam hal ini maka relasi antara Islam dan Negara tetap berada di dalam coraknya yang simbiosis mutualisme. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh ulama-ulama NU, misalnya Kyai Sahal Mahfudl dan juga Pimpinan Muhammadiyah, Dien Syamsudin bahwa relasi antara Islam dan Negara adalah dalam coraknya yang simbiosis.
Era Islam politik sebenarnya dimulai dengan hadirnya organisasi trans-nasional yang hadir secara beruntun di bumi Indonesia, misalnya Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah dan sebagainya. Dimulai dengan gerakan-gerakan usrah di kampus-kampus, maka kemudian lahirlah berbagai organisasi yang menginginkan agar Indonesia menjadi Negara Islam. Kelompok usrah tersebut kemudian menjelma menjadi Hizbut Tahrir Indonesia, kemudian kelompok Tarbiyah menjelma menjadi Partai Keadilan dan masih ada yang lain, misalnya kelompok yang menghendaki relasi Islam dan Negara bercorak integrated, misalnya kelompok Qutbiyah.
Di antara mereka ini ada yang menginginkan agar di dalam proses perubahan dari NKRI yang berdasar Pancasila berubah menjadi Negara Islam melalui konsep khilafah Islamiyah tersebut terjadi secara perlahan dan struktural, misalnya HTI dan PKS dan ada yang menginginkan jalan cepat melalui gerakan terorisme dan kekerasan.
Jika dirunut, maka sebenarnya ada benang merah antara islamisme di awal kemerdekaan dengan gerakan Islamisme di era akhir-akhir ini. Artinya bahwa apa yang terjadi dengan gerakan khilafah Islamiyah tersebut akhir-akhir ini, langsung atau tidak langsung memiliki korelasi dengan kecenderungan gerakan menjadi Islam sebagai dasar negara di masa-masa yang lalu.
Wallahu a’lam bi al shawab.