PERPOLITIKAN ISLAM DI ASIA TENGGARA: SEBUAH CATATAN AWAL
Di hampir semua negara di Asia Tenggara sedang mengalami proses demokratisasi yang semakin berbanding lurus dengan demokrasi itu sendiri. Negara-negara Asia Tenggara memang telah mengalami masa panjang di dalam konsepsi demokrasi, akan tetapi tidak jarang memang bercorak fluktuatif.
Jika kita menggunakan beberapa contoh mengenai demokrasi di Negara Asia Tenggara, maka sesungguhnya bisa dilihat bahwa demokrasi tersebut memang masih bercorak penafsiran local dalam arti bahwa memang terdapat modifikasi-modifikasi tentang demokrasi tersebut. Contoh yang paling nyata adalah di Indonesia, Malaysia dan juga Thailand.
Jika di Indonesia demokrasi tersebut ditafsirkan sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat Indonesia, maka demikian pula di Negara Malaysia dan Thailand. Jika di dua Negara terakhir menggunakan demokrasi parlementer, maka di Indonesia menggunakan demokrasi presidensiil. Namun demikian corak adaptasi demokrasi dengan budaya local sangat kental.
Di Indonesia sebagai contoh, maka terdapat runutan demokrasi, yaitu demokrasi Terpimpin, demokrasi Pancasila dan demokrasi langsung. Demokrasi di era Soekarno yang disebut sebagai demokrasi terpimpin, maka hakikat demokrasi berada di tangan presiden, sehingga presiden memiliki kewenangan yang sangat besar bahkan nyaris menjadi otoriter. Demikian pula di era Soeharto, maka demokrasi juga disebut sebagai Demokrasi Pancasila, yang juga nyaris otoriter. Otoriterisme berbaju demokrasi atau demokrasi seolah-olah.
Pertanyaannya, adalah bagaimana politik Islam memposisikan dirinya di tengah arus gerakan demokrasi yang terus mengembang ini. Bagaimanakah masa depannya dan bagaimana kira-kira peran maksimalnya di dalam percaturan negara bangsa. Sebagai pengantar, maka catatan ini hanya akan mencoba untuk menganatomi masalah dan masa depannya secara tipologis dan tanpa keinginan untuk membahas secara mendalam.
Sebagaimana diketahui bahwa relasi Islam dan politik memang memiliki tiga tipologi utama. Yaitu relasi islam dan politik yang integrated, simbiotik mutualisme dan separated. Yang integrated adalah pandangan yang menyatakan bahwa relasi islam dan Negara (baca politik) adalah menyatu. Islam tidak bisa dipisahkan dari politik dan demikian pula sebaliknya. Konsep ini dikembangkan oleh Hassan al Banna di Mesir, Sayyid Qutb di Pakistan, Taqiyuddin Nabhani di Libanon dan sebagainya. Di dalam konsepsinya bahwa pemerintahan harus bersistem khilafah atau system pemerintahan Islam. Menurutnya bahwa system khilafah bukanlah system demokrasi dan bukan pula system dictator. Konsep yang sangat mendasar adalah la hukma illa lillah dan untuk mengaplikasikannya tidak ada lain kecuali melalui system khilafah.
Kemudian, model simbiosis mutualisme, yaitu relasi antara Islam dangan Negara (baca politik) adalah saling membutuhkan. Negara membutuhkan agama sebagai fondasi bagi penguatan moralitas aparat dan masyarakat dan di sisi lain, agama membutuhkan Negara untuk mengembangkan dirinya di tengah kehidupan yang berubah. Pemikiran seperti ini dikembangkan oleh Imam al Mawardi, Al Ghazali dan sebagainya. Di dalam praksis kehidupan Negara, maka saya kira Malaysia dan Indonesia merupakan best practices tentang relasi Islam dan Negara yang bercorak simbiosis ini.
Kemudian, relasi Islam dan Negara (baca: Islam) dalam coraknya yang separated. Yaitu pemikiran yang menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan Negara harus dipisahkan. Pemikiran ini mengadaptasi pemikiran kaum sekuler yang memang menyatakan bahwa harus ada wilayah agama yang otonom dan wilayah Negara yang otonom. Keduanya berada di dalam satu sistem pemerintahan akan tetapi tidak saling mencampuri.
Kerangka konseptual inilah yang kiranya bisa digunakan sebagai acuan di dalam melihat kenyataan empiris relasi antara Islam dan politik di era Negara bangsa dan demokrasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa system demokrasi di dalam banyak hal ditolak oleh cara berpikir pertama tentang relasi agama dan Negara. Kelompok HTI di Indonesia misalnya sudah mengeluarkan Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan kembali Dunia Islam”. Diantara manifesto politiknya adalah agar kembali kepada kedaulatan syar’I dengan jalan menegakkan Daulah Khilafah.
Di Indonesia memang sedang terjadi gerakan politik Islam yang cukup kuat. Hal ini seirama dengan semakin menguatnya Islam politik di Indonesia. Banyaknya gerakan keagamaan yang mengusung fundamentalisme Islam tentu menyebabkan masalah yang relative serius, sebab bisa memungkinkan terjadinya benturan politik, yang disebabkan oleh jarak ideology antara Islam politik dengan pemerintah di sisi lain, dan masyarakat politik yang mengusung demokrasi dan Negara kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui gerakan politik yang sangat penetrative dan menawarkan solusi di tengah kegalauan akan masa depan kehidupan individu dan sekelompok individu di dalam system pemerintahan sekarang, maka sangat memungkinkan gerakan Islam politik memperoleh simpati dari kalangan generasi muda yang menginginkan perubahan cepat. Itulah sebabnya Islam politik yang misalnya direpresentasikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperoleh simpati dan ketertarikan di kalangan generasi muda yang progresif.
Berbeda dengan gerakan Islam politik yang diusung oleh partai politik Islam di Malaysia, maka Islam politik di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Statistic memberikan gambaran peningkatan yang signifikan dan menyebar di seluruh Indonesia. Jika di masa lalu partai ini hanya menjadi fenomena perkotaan, maka sekarang sudah tidak lagi seperti itu. Sebagai partai politik yang berbasis perguruan tinggi, maka dahulu PKS hanya menjadi fenomena perkotaan dan dunia akademik. Namun seiraman dengan gerakan Islam politik yang cukup massive maka persebaran partai ini sangat memadai.
Memang, di dalam kerangka kampanye politik, maka partai ini juga menerapkan strategi sebagai partai terbuka meskipun masih belum signifikan. Akan tetapi melalui muktamarnya yang baru saja dihelat, maka bisa diketahui bahwa partai ini telah menerapkan strategi membuka diri dari dunia luar dan tidak lagi seeksklusif di masa lalu. Kita tentu belum tahun agenda apa yang dijadikan sebagai program dan sasaran untuk melakukan hal ini semua.
Di dalam realitas empiris yang sudah diketahui bahwa gerakan Islam politik memang sedang menuai masa terbaiknya. Melalui gerakan demokrasi, keterbukaan dan Hak Asasi Manusia (HAM), maka gerakan Islam politik bisa melakukan ekspansi secara memadai. berbeda dengan Orde Baru yang sangat keras terhadap gerakan Islam politik, maka dewasa ini gerakan Islam politik tengah menuai momentunya yang sangat tepat.
Melalui pintu keterbukaan dan HAM, maka pemerintah tidak bisa melakukan tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Makanya di era reformasi ini, maka tumbuh dengan subur berbagai organisasi social keagamaan yang memiliki basis fundamentalisme atau radikalisme. Memang di antara mereka ada sejumlah perbedaan yang mendasar, akan tetapi jika dirunut maka sesungguhnya ada tiga visi utamanya, yaitu sebagai tindakan anti barat, perlunya mendirikan khilafah Islamiyan dan mendorong adanya hokum berbasis syariah. Tiga hal ini yang menjadi titik temu di antara mereka yang secara politik mengarah kepada perlunya kekuatan politik Islam agar dapat mencapai tujuan politiknya. Oleh karena itu apapun organisasi social keagamaannya, maka ketika mereka berbicara tentang Islam politik maka akan bertemu di dalam kawasan tiga hal tersebut.
Negara tentu saja tidak boleh untuk membonsai terhadap gerakan Islam politik di tengah keinginan untuk mengembangkan demokrasi, keterbukaan dan HAM. Akan tetapi menurut saya juga penting negara tetap mempertahankan identitas nasionalisme kebangsaannya di tengah tarikan kea rah Islam politik yang semakin menguat.
Maka, ke depan yang harus dihindarkan adalah agar bagaimana manarik yang Islam politik ini untuk bersinergi dengan lainnya agar negara bangsa yang sudah dipercayakan kepada kita dewasa ini oleh para founding fathers dapat tetap dilestarikan.
Dengan demikian, maka menegakkan pilar kebangsaan di negara manapun menurut saya menjadi penting sebab melalui pembelaan terhadap pilar kebangsaan ini, maka kedaulatan Negara dan kelestarian sebuah bangsa akan dapat dijaga.
Wallahu a’lam bi al shawab.