MENCINTAI TANAH AIR DAN KEBANGSAAN
Konsep kebangsaan sesungguhnya mengacu kepada satu kesatuan wilayah dan ideologis yang dimiliki oleh sekelompok orang dalam kurun waktu tertentu. Maka ketika menyebut bangsa Indonesia, maka berarti ada satu kesatuan wilayah dan ideologis dari sekelompok orang tersebut dalam kurun waktu di mana yang bersangkutan hidup. Pembatasan ini memang lebih mengacu kepada pengertian kebangsaan dari sisi geografis dan politis.
Secara geografis, maka kesatuan wilayah Indonesia tersebut tentu membentang dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah pulau sebanyak 17000 pulau lebih dengan berbagai macam suku, bahasa dan agama yang bervariasi. Sedangkan dari aspek politik, maka tentu ada dimensi ideology yang menyangkut dasar negara, hukum dan ketatanegaraan, serta kesatuan negara yang dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di dalam literature ilmu sosial, kemudian dikenal ada pilar-pilar kebangsaan, yaitu komponen yang sistemik di dalam suatu negara bangsa yang saling mendukung dan mengisi. Di Indonesia, pilar kebangsaan tersebut terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman. Empat pilar kebangsaan ini tidak boleh saling terpisah. Artinya, bagi bangsa Indonesia tidak boleh hanya menerima Pancasila tetapi tidak menerima UUD 1945 atau tidak menerima NKRI. Demikian pula seseorang menerima keberagaman, tetapi menolak salah satu dari tiga pilar kebangsaan lainnya. Seseorang harus secara total menerima empat pilar kebangsaan tersebut dalam satu kesatuan yang utuh.
Pancasila adalah inti dari tiga pilar lainnya dan menjiwai ketiganya. Pancasila menjiwai terhadap UUD 1945, NKRI dan juga keberagaman. Oleh karena itu, maka Pancasila menjadi ruh atau substansi di dalam semua peraturan perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keberagaman kita. Oleh karena itu, Pancasila bisa menjadi common platform ideology bangsa Indonesia yang memang terdiri dari keberagaman yang nyata.
Islam mengajarkan agar seseorang mencintai negara bangsanya. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam maqalah yang menyatakan hubb al wathan min al iman, yang arti secara leterleksnya adalah mencintai negara adalah sebagian iman. Pertanyaannya adalah mengapa orang harus mencintai negaranya dan hal itu menjadi sebagian dari iman. Ungkapan ini mengandung makna bahwa seseorang harus memiliki sense of belonging atau rasa memiliki terhadap bangsanya dan menjadi bagian dari bangsanya. Yang bersangkutan harus memiliki kemauan untuk membela negaranya dalam situasi yang membutuhkannya.
Ungkapan hubb al wathan min al iman tidak hanya konsep duniawi, akan tetapi juga memiliki kandungan teologis. Maknanya bahwa orang yang mencintai negaranya berarti dia telah menjalankan keimanannya terhadap yang menciptanya. Di dalam suasana peperangan untuk membela kemerdekaan, maka seseorang yang melakukannya karena mencintai negaranya tentu bisa dianggap sebagai mencintai imannya. Maka konsep resolusi jihad yang dilakukan NU pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, tentunya didasari oleh pandangan teologis dan sosiologis seperti ini.
Di dalam cerita pewayangan dalam Lakon Ramayana, maka seorang Kumbakarna dianggap memiliki rasa cinta yang sangat tinggi kepada negaranya. Dia tidak membela keangkaramurkaan Rahwana, raja dan kakaknya, akan tetapi semata-mata membela negaranya. Dia membela negaranya dari invasi yang dilakukan oleh Raja Ramawijaya. Dia berperang melawan para kesatria dari Arya dan penduduk lokal lainnya agar negaranya tetap memiliki kewibawaan sebagai negara merdeka. Meskipun peperangan itu dipicu oleh persoalan asmara yang bertalian dengan konflik teologis dan kewilayahan, akan tetapi Kumbakarna tidak memperdulikan semua itu. Sikapnya itulah yang kemudian relevan dengan konsep orang Amerika, “right or wrong is my country.” Yang artinya adalah “benar atau salah adaah negara saya.”
Di dalam dialog antar umat beragama di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) saya ungkapkan bahwa bangsa Indonesia tentunya harus mampu untuk membela terhadap empat pilar kebangsaan itu sebagai kewajiban utama. Orang beragama apapun, beretnis apapun, bersuku bangsa apapun dan bergolongan apapun tidak terkecuali harus menjaga dan membela terhadap empat pilar kebangsaan ini. Secara historis dan sosiologis tidak ada alasan untuk menolak empat pilar kebangsaan ini.
Makanya yang terpenting adalah menjadi Islam menjadi Indonesia, menjadi Protestan menjadi Indonesia, menjadi Katolik menjadi Indonesia, menjadi Hindu menjadi Indonesia, menjadi Budha menjadi Indonesia dan menjadi Kong Hu Cu juga menjadi Indonesia. Jika kita bisa seperti ini, maka kita akan bisa memprediksi bahwa Indonesia akan jaya ke depan sebab basis kebangsaannya sangat kuat menancap.
Wallahu a’lam bi al shawab.