UKHUWAH BASYARIYAH SEBAGAI INTI KERUKUNAN
Sesungguhnya Islam memiliki konsep yang sangat bagus di dalam membangun relasi antar manusia, yaitu konsep ukhuwah basyariyah. Konsep ini mengacu kepada persaudaraan berbasis kemanusiaan. Basyar di dalam konsep generic disebut sebagai manusia. Sedangkan ukhuwah adalah persaudaraan. Maka dalam pengertian generic, ukhuwah basyariyah berarti persaudaraan kemanusiaan.
Jika kita runut, sebagaimana ajaran agama-agama Semitic, bahwa manusia yang sekarang menghuni dunia ini adalah anak cucu Nabi Adam. Baik agama Yahudi, Nasrani dan Islam mengakui tentang keberadaan Nabi Adam As, sebagai manusia yang melahirkan manusia-manusia zaman kini. Mungkin secara antropologi fisik bisa berbeda penilaiannya mengenai asal usul manusia, akan tetapi secara teologis, hampir seluruh agama Semitic mengakui hal ini.
Sebagai manusia, maka secara fisikal sesungguhnya manusia berasal dari sari pati tanah. Tidak ada yang menyangkal mengenai hal ini. Artinya, bahwa manusia memang hakikatnya memiliki sumber potensi kehidupan, yaitu sari pati tanah yang kemudian menjadi sperma dan ketika bertemu dengan ovum, maka jadilah janin yang kemudian terus berkembang seperti kita sekarang ini.
Melihat hakikat manusia yang sesungguhnya berasal dari sumber potensi yang sama, maka sudah seharusnya jika semuanya menjalin kehidupan berbasis kesamaan sumber potensi kemanusiaannya tersebut. Dengan demikian, maka tidak ada ras yang lebih unggul satu atas lainnya. Jika orang Israel menyatakan dirinya sebagai manusia terpilih, dan kemudian orang Jerman menganggap etnisnya sebagai etnis unggul, maka sebenarnya tidak ada keterpilihan satu bangsa atau etnis atas lainnya dan juga tidak ada satu bangsa atau etnis yang lebih unggul satu atas lainnya.
Islam justru mengajarkan bahwa manusia memang diciptakan beretnis-etnis dan bersuku-suku dengan harapan akan terjadi proses saling memahami dan mengenal. Di dalam kenyataannya untuk mengukur yang terbaik, ternyata tidak mudah. Apakah orang Jawa yang kulitnya coklat jauh lebih baik dari orang Cina yang kulitnya kuning ataukah orang Amerika latin yang kulitnya kemerah-merahan atau bahkan orang Afrika yang kulitnya hitam. Jadi untuk menilai ternyata tergantung pada referensi subyektif masing-masing individu atau kelompok sesduai dengan referensi kebudayaannya.
Di dalam hal ini, maka untuk menilai mana yang lebih unggul, maka Islam mengajarkan yang paling taqwa di antara manusia tersebut. Kualitas taqwa itulah yang menentukan terhadap penilaian akan kebaikan atau keburukan seseorang. Itulah sebabnya, agama apapun mengajarkan bahwa tingkatan kebaikan itu bukan pada realitas fisik seseorang akan tetapi dari kualitas keberagamaannya.
Lalu, apa relevansinya antara sumber potensi kemanusiaan, jaringan sosial dan ukhuwah basyariyah? Di antara titik temu relevansinya adalah bahwa manusia diciptakan dari sumber potensi yang sama meskipun terdapat perbedaan etnis, suku dan golongan sosialnya. Akan tetapi perbedaan tersebut bukan untuk saling menyatakan bahwa yang satu lebih superior dibanding yang lain. Ataukah perbedaan tersebut bukan untuk saling tidak mengenal atau memutus jaringan social yang memang bisa dilakukan. Akan tetapi semuanya justru bermuara pada pentingnya membangun jaringan social berbasis kesamaan potensi sumber penciptaan manusia.
Agama apapun menginginkan agar para pemeluknya menjadi manusian yang bertaqwa kepada Tuhannya. Dia tidak mengingkari terhadap semua nikmatnya dan mensyukuri terhadap semua pemberiannya dan penciptaannya. Makanya yang membdakan antara satu dengan lainnya adalah kualitas keimanannya. Keimanan yang membebaskan, yaitu keimanan yang fluid, yang tidak membelenggu kemerdekaan dirinya dan kemerdekaan manusia lainnya. Di dalam shalat misalnya, ketika seseorang sudah mengucapkan kata Allahu Akbar, Allah maha besar, maka kemudian diakhiri dengan membaca salam, atau menyebarkan keselamatan.
Ukhuwah basyariyah hakikatnya adalah membangun persaudaraan berbasis pada kemanusiaan tidak atas dasar agama, etnis, suku dan penggolongan social, akan tetapi berbasis pada kemanusiaan itu sendiri. Yaitu mengakui atas hak dan kewajiban sebagai manusia yang membutuhkan untuk memenuhi hasrat kemanusiaannya, yaitu kebutuhan biologis, social dan integrative. Tidak hanya butuh makan dan persahabatan akan tetapi juga butuh rasa berketuhanan yang bisa menjadi sangat variatif tergantung pada sistem keyakinannya.
Dengan demikian untuk membangun ukhuwah basyariyah, maka yang diperlukan adalah adanya kesamaan pandangan bahwa manusia memiliki perbedaan dan pebedaan bukan menjadi penghalang mengedepankan kerukunan dan keteraturan.
Wallahu a’lam bi al shawab.