MEMBUMIKAN KERUKUNAN BERAGAMA
Hari ini, Selasa, 5 Oktober 2010, saya menjadi salah satu narasumber dalam seminar tentang kerukunan umat beragama di Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, Bali. Yang menjadi nara sumber adalah Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Prof. Dr. Gunadha dan saya. Acara ini dirancang oleh Impulse Yogyakarta bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel dan Universitas Hindu Indonesia. Acara ini digelar setiap tahun, dan sebelumnya diselenggarakan di IAIN Sunan Ampel.
Acara yang digelar ini memrepoleh sambutan yang tinggi ditengarai dengan banyaknya audiens, yang kebanyakan adalah para dosen UNHI. Meskipun demikian juga banyak mahasiswa yang datang pada acara yang sangat monumental ini. Acara yang bertemakan kerukunan antar umat beragama selalu menarik minat audience. Apalagi yang menjadi narasumber adalah Romo Franz Magnis Suseno yang memang sangat dikenal oleh dunia perbincangan kerukunan antar umat beragama.
Ada banyak pertanyaan yang menarik tentang tema ini, antara lain mengenai bagaimana terjadi kesenjangan antara teori tentang peran agama sebagai pembawa kerukunan atau social order dengan realitas empiris seperti kekerasan atas nama agama bahkan konflik atas nama agama. Dan jika bisa didekatkan antara dimensi teori dengan kenyataan empiris tersebut, bagaimana caranya?
Pertanyaan ini tentu saja menarik, sebab memang realitas empiris mendukung terhadap ditanyakannya fenomena seperti ini. Beberapa saat yang lalu terjadi kehebohan tentang rencana Terry John untuk mengadakan acara yang bertema “the day of Qur’anic burning.” Acara ini kemudian tidak jadi dilaksanakan karena tekanan dunia internasional terhadapnya. Menurut Romo Franz Magnis Suseno, bahwa pandangan ini sungguh-sungguh merupakan pandangan minoritas di Amerika Serikat.
Terry John adalah pemimpin gereja kecil di Gainnesville, Florida dan jamaahnya tidak lebih dari 60 orang. dan sama sekali tidak mewakili Amerika Serikat. Sangat minoritas. Akan tetapi menjadi besar, karena kasus ini diungkap oleh media dan kemudian menjadi headline di beberapa surat kabar. Makanya, dianggapnya bahwa kasus ini merupakan kasus besar.
Di Indonesia, kemudian juga muncul pertikaian antar penganut agama, ketika terjadi ketegangan yang melibatkan Jemaat Huria Kristen Batak Potestan (HKBP) Bekasi dengan massa umat Islam. Pembangunan gereja tersebut ditolak oleh warga. Bahkan kemudian sempat terjadi ketegangan yang menyebabkan luka-luka pada pendeta tersebut. Hal ini pun menjadi berita besar di Indonesia. Bahkan kerabat Romo Franz Magnis sempat mengungkapkan kepadanya bahwa Indonesia itu negara yang penuh kekerasan dan pembunuhan. Tetapi oleh Romo Franz Magnis dinyatakan secara diplomatis bahwa pembunuh nomor satu di Indonesia adalah jalan raya. Jalan rayalah yang menjadi pembunuh utama dan bukannya kekerasan agama. Jalan yang mulus justru menjadi pembunuh nomor satu.
Membangun kerukunan tentu saja tidak bisa dilakukan hanya dengan duduk bersama, dialog dan seminar. Akan tetapi harus melalui upaya yang sangat sistematis dan berkesinambungan. Tidak hanya menjadi multikulturalisme butik. Artinya merayakan kerukunan hanya dengan dialog-dialog tanpa pemahaman yang lebih mendasar, yaitu untuk merumuskan kerjasama atau pro eksistensi. Untuk merumuskan kebersamaan, maka harus dikembangkan sikap kesepahaman dan kebersamaan.
Ada suatu contoh yang sangat bagus, yaitu membangun relasi antar umat beragama yang dikembangkan oleh KH. Sholeh Badruddin. Beliau adalah mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan beliau memiliki pondok pesantren dan perguruan tinggi, Universitas Yudharta. Visi perguruan tingginya adalah menjadi kampus multikulturalisme. Untuk mengimplementasikan gagasannya ini, maka beliau terbiasa untuk melakukan dialog antar umat beragama. Beliau biasa keluar masuk gereja. Bahkan ketika ada kegiatan pengajian di pesantrennya, maka yang menjadi audiennya adalah umat multiagama. Ada Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan juga Kong Hu Cu. Mereka menyatu di dalam pengajian yang diselenggarakan oleh Kyai Sholeh. Bahkan dalam suatu kesempatan beliau menyatakan akan menjadi penggerak multikulturalisme di tingkat akar rumput, di tingkat masyarakat.
Kemudian di level yang lebih akademis, maka juga muncul gerakan multikulturalisme yang diageni oleh Impulse. Melalui wadah Impulse ini, maka dilakukan berbagai gerakan dialog dan praksis kehidupan bersama antar penganut agama. Melalui kegiatan “Sekolah Islam Rakyat,” maka dialog dan living together itu dilakukan. Jika kegiatannya dilakukan di mayoritas Islam, maka yang beragama Protestan, Katolitk, Hindu dan Budha atau Kong Hucu menginap tempat tinggal orang Islam. Demikian pula sebaliknya, jika tempat kegiatan dilakukan di tempat tinggal orang Katolik, maka yang lain juga menginap di situ.
Kegiatan ini tentu saja dilakukan untuk memberi pengalaman tentang bagaimana mereka hidup di tengah orang-orang yang berbeda keyakinan. Yang Islam tetap dengan keislamannya dan yang Kristen juga hidup dengan Kekristenannya. Semua menyatu dan semua memahami bahwa memang ada perbedaan, akan tetapi bisa merajut kebersamaan.
Melalui program kebersamaan ini, maka saya memiliki keyakinan bahwa ke depan kehidupan umat beragama akan menjadi semakin baik. Jika hal ini bisa dilakukan, maka satu issu penting tentang kerukunan umat beragama tentu bisa diselesaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.