MAKNA PEMAKAMAN AIR DAN JOKO.
Melihat halaman depan Jawa Pos, 14/08/09/, rasanya menjadi sedih. Bagaimana tidak pemakaman jenazah yang dinyatakan sebagai teroris ternyata dihadiri oleh Ustaz Abu Bakar Baasyir dan jamaahnya yang begitu banyak. Ini sebuah pemandangan yang ironis di tengah keinginan bangsa dan masyarakat Indonesia yang menginginkan agar terorisme dibabat tuntas. Sungguh banyak hal yang ironis dari warga masyarakat Indonesia. Ada paradoks-paradoks yang menyelimuti kehidupan bangsa ini.
Di dalam tradisi Islam Jawa, memang mendatangi pemakaman orang yang sudah meninggal adalah sesuatu hal yang sangat lazim. Dan bahkan dalam banyak hal juga tidak dibedakan siapa pun dia. Artinya siapapun yang meninggal maka masyarakat akan berta’ziah kepadanya. Cuma saja dalam kasus pemakaman Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono tentu ada hal yang dalam pandangan masyarakat menjadi aneh. Sebab, yang meninggal adalah teroris yang secara faktual dan yuridis sudah terbukti melakukan kegiatan makar dan teror terhadap masyarakat dan negara bangsa. Walaupun begitu, masyarakat ternyata memiliki sudut pandang yang berbeda.
Adakah ini sebuah pertanda bahwa sebagian masyarakat tidak care atau peduli terhadap keselamatan dan nasib bangsanya. Orang yang secara jelas dan sah melakukan tindakan kriminal bahkan extra ordinary crime pun memperoleh penghormatan layaknya orang yang tidak memiliki kesalahan struktural terhadap masyarakat dan negara bangsanya.
Bagi orang yang menganggap bahwa terorisme—dan bisa dilakukan oleh siapa saja—sebagai suatu dosa struktural, maka melihat foto Jawa Pos dan berita-berita seputar hal itu tersebut adalah sebuah ironi. Sebab kedua pelaku adalah orang yang melakukan tindakan teror yang tidak dibenarkan oleh agama apapun. Bukankah Ulama Islam dalam berbagai organisasi Islam moderat telah menyatakan bahwa melakukan bom bunuh diri adalah haram. Jika ya sebagai jawabannya, maka orang yang terlibat di dalam bom bunuh diri adalah musuh masyarakat dan juga musuh negara bahkan musuh agama. Padahal pemakaman itu penuh dengan yel-yel Allahu Akbar, layaknya akan memakamkan pahlawan dalam agama. Sungguh kita tidak memahami apa yang ada di benak mereka yang melakukannya.
Pertanyaan yang juga bisa dikembangkan adalah siapa yang sesungguhnya datang di acara pemakaman tersebut. Bisakah diidentifikasi siapa sesungguhnya mereka. Apakah aparat keamanan sudah melakukan identifikasi terhadap mereka. Sebab untuk melakukan hal-hal di atas, tentu tidak sembarang orang akan melakukannya. Tentunya sudah ada kesamaan ideologi dengan mayat yang dimakamkannya. Coba jika diperhatikan para peziarah yang datang tentang outward appearence-nya, maka akan didapati gaya berpakaian dan tampilan fisik yang berbeda dengan orang Islam pada umumnya. Orang awam yang hanya sekedar datang di acara pemakaman pastilah tidak akan meneriakkan yel-yel yang berkonotasi kepahlawanan. Di dalam tradisi Islam biasanya hanyalah bacaan tahlil dengan kalimat ”la ilaha illallah” yang dibaca untuk mengiringi kepergian jenazah.
Jika berbeda dengan itu, berarti ada tradisi baru yang dilakukan oleh mereka. Dan itu artinya, bahwa mereka memang seideologi. Jadi, pertanyaan-pertanyaan akan terus bisa dikembangkan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.