MASIH ADA KEKERASAN AGAMA
Kemarin, 3 Oktober 2010, di IAIN Sunan Ampel—tepatnya di Hall IAIN Sunan Ampel—dilaksanakan acara Temu Kangen dan Halal bil Halal oleh Warga Tuban yang berada di Surabaya, Malang dan beberapa kota lain. Acara ini memang diselenggarakan sebagai acara tahunan, utamanya setalah Hari Raya Idul Fitri.
Sebagai acara kangen-kangenan, maka acara ini menjadi ajang nostalgia antara sesama kawan di masa yang lalu. Hadir di dalam acara ini Pak Bambang Koesbandono, mantan Sekwilda Tuban, Bupati Magetan dan Madiun, Prof. Dr. Chanif Murtaji, Prof. Dr. Wahyudi, Pak Irawan, dan Pak Endro yang sekarang menjadi Direktur Masjid Al Akbar Surabaya.
Di antara yang sangat menarik dari pembicaraan nostalgia tersebut justru ketika saya disindir oleh salah seorang warga Tuban, yang menyatakan: “Prof, jika orang Islam membakar masjid itu nggak ramai, yang ramai itu kalau orang Islam membakar gereja”. Pernyataan ini tentu disampaikan bukan dalam makna yang sesungguhnya, akan tetapi sebagai satire atau sindiran tentang perilaku umat Islam yang berkecenderungan untuk menghancurkan kawannya sendiri, hanya karena berbeda keyakinan.
Kita memang dikejutkan oleh berita tentang perusakan tempat hunian dan juga tempat ibadah yang dimiliki oleh warga Ahmadiyah. Kekerasan tersebut terjadi pada kampung Ahmadiyah di Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Yang menarik karena masa membakar Masjid At Taufiq, Madrasah Al-Huda, rumah dinas tokoh Ahmadiyah, tiga rumah warga, tiga motor, dan satu mobil. Selain itu juag terdapat 20 rumah menuju masjid yang dirusak oleh massa. Para perusak juga menjarah toko kelontong dan barang-barang elektronik milik warga Ahmadiyah (JP. 03/10/2010).
Kekerasan seperti ini memang bukan yang pertama terjadi di era reformasi ini. Sudah ratusan kali kekerasan atas nama agama terjadi di Indonesia. Kekerasan demi kekerasan tersebut tentunya bisa dipicu oleh faktor teologis, akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan karena faktor lainnya. Di antara faktor lain tersebut adalah motif ekonomi atau faktor politis. Dari faktor ekonomi tentu saja bisa dilihat dari bagaimana massa ini kemudian menjarah toko-toko milik orang Ahmadiyah. Kemudian dari factor politik adalah adanya keinginan untuk membuat keonaran dan menghasilkan imaje bahwa pemerintah di Indonesia tidak bisa melakukan pengamanan terhadap warga negaranya.
Jika dari faktor sosial, bukankah Ahmadiyah tersebut telah menjadi realitas social yang sedemikian adanya di Indonesia. Kaum Ahmadiyah telah ada semenjak Indonesia merdeka atau dengan kata lain bahwa Ahmadiyah telah menjadi bagian dari bangsa ini semenjak lama. Jika ada perbedaan, maka sesungguhnya adalah tafsir tentang teks yang memang meniscayakan perbedaan. Bahkan di dalam tubuh Ahmadiyah sendiri juga terdapat faksi-faksi yang antara satu dengan lainnya sangat berbeda. Ada Ahmadiyah Lahore yang moderat dan memiliki kesamaan dengan Islam pada umumnya dan ada Ahmadiyah Qadian yang memang memiliki penafsiran yang berbeda dengan Islam pada umumnya. Perbedaan tersebut bersumber pada penafsiran tentang posisi Mirza Ghulam Ahmad dalam status kenabian.
Maka penjelasan yang menurut saya lebih tepat adalah penjelasan politis dan agama. Memang ada sekelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk tujuan-tujuan politis. Tujuan politis tersebut menyangkut persoalan keinginan untuk membuat imej apakah pemerintah sekarang ini bisa atau tidak bisa memberikan jaminan keamanan bagi warganya. Melalui penyerangan terhadap kelompok minoritas, maka mereka memang ingin memberikan kesan bahwa Indonesia memang negara yang gagal dalam melindungi warganya. Kelompok ini memang secara sengaja untuk menciptakan kegaduhan dan kegalauan bagi sejumlah kaum minoritas dan lainnya yang dapat dijadikan sebagai instrumen antara untuk tujuan politiknya.
Tujuan politik tersebut dapat dibaca dari keinginan sebagian kecil orang yang mengatasnamakan agama untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan, misalnya penyerangan terhadap markas-markas polisi, merampok Bank, dan sebagainya yang tujuannya adalah untuk membuat image bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak aman dan penuh dengan kekerasan. Dan kemudian juga melakukan penyerangan-penyerangan terhadap kaum minoritas yang tidak memiliki perlindungan kekuasaan. Misalnya Jamaah Ahmadiyah ini.
Penjelaan politik ini saling terkait dengan penjelasan agama, yaitu adanya keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama yang seluruh penafsiran keagamaannya bercorak tunggal. Yaitu penafsiran agama yang hanya datang dari kelompoknya saja. Sedangkan yang lainnya selalu dinyatakan salah. Kelompok eksklusif ini sudah menjadi bagian dari realitas empiris bagi sistem keagamaan di Indonesia. Mereka tentu berasal dari Islam trans-nasional yang menginginkan terbentuknya negara agama yang berbasis pada sistem keyakinan agamanya.
Di masa depan, mungkin targetnya bukan hanya terhadap kelompok monoritas seperti ini, akan tetapi bisa saja juga kaum peziarah ke makam-makam waliyullah yang dianggapnya tidak sesuai dengan akidah Islam dalam penafsirannya.
Oleh karena itu, sebaiknya jika semua merenungkan kembali makna keberagamaan kita itu di dalam konteks kemanusiaan. Nabi Muhammad saw saja tidak pernah membakar tempat ibadah agama lain bahkan di dalam peperangan sekalipun. Nabi justru menginginkan bahwa di dalam peperangan yang utama harus diselamatkan adalah kaum perempuan, orang-orang tua, pohon-pohnon dan juga tempat ibadah.
Jika kita memahami betapa tolerannya Nabi Muhammad saw, lantas untuk apa orang merusak masjid, sekolah dan rumah-rumah orang yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan kita. Jadi, sudah seharusnya muhasabah atau introspeksi diri kita itu ditata ulang.
Wallahu a’lam bi al shawab.