PANCASILA DAN KESATUAN BANGSA
Meskipun agak terlambat, saya tetap harus menulis tentang Pancasila dalam kaitannya dengan Hari Peringatan Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2010. Tulisan ini merupakan bagian dari keinginan saya sebagai warga negara Indonesia yang berkeinginan untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sudah banyak alasan mengapa Pancasila harus dipertahankan di era apapun dari perubahan social di dunia. Juga sudah banyak tulisan yang mengupas tentang Hari Kesaktian Pancasila. Namun demikian, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, maka menjadikan Pancasila sebagai dasar negara tentu tidak boleh hanya sebagai wacana saja, akan tetapi juga sebagai praksis di dalam tindakan dan perilaku kita.
Jika kita lakukan flash back terhadap kesejarahan Pancasila sebagai Dasar Negara, maka ketetapan itu tidak hanya sebagai kesepakatan yuridis akan tetapi juga historis dan bahkan sosiologis. Secara yuridis sudah terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, di mana memang disebutkan bahwa Pancasila adalah dasar negara. Sehingga ketika ada upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara, maka hakikatnya hal tersebut adalah keinginan untuk mengganti seluruh bangunan kenegaraan Indonesia.
Secara yuridis kedudukan Pancasila sangat kuat, misalnya di tengah euphoria reformasi, maka MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia juga tetap menjadikan Pancasila sebagai landasan ideal bernegara bangsa dan juga UUD 1945 sebagai landasan yuridis bernegara bangsa. Bahkan ketika Tap No. II/MPR/1978 tentang P-4 dihapuskan, maka tetap dinyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tetap harus dilaksanakan secara konsisten. Demikian pula pada Tap MPR lain, maka Pancasila tetap dijadikan sebagai dasar negara, misalnya Tap MPR No II/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan serta Tap MPR No IV/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Sedangkan secara historis tentu memiliki kekuatan yang sangat kuat. Fakta historis tersebut harus menjadi dasar untuk tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Para founding fathers negeri ini telah menyadari bahwa kebinekaan masyarakat Indonesia tentu harus diwadahi oleh suatu wadah yang bisa diterima semuanya. Kita tentu harus ingat bagaimana ketika akan menetapkan dasar negara dalam Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Andaikan waktu itu para wakil orang Islam di PPKI ngotot untuk mempertahankan Jakarta Charter sebagai kesepakatan nasional, maka tentu akan terjadi voting dan bisa kalah atau menang. Akan tetapi justru mereka bermusyawarah mufakat bahwa sebagai konsekuensi keberagaman bangsa Indonesia itu, maka mereka bersepakat membuang tujuh kata sakral dalam Piagam Jakarta itu demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Memang pernah terjadi suasana di mana pelaksanaan Pancasila tidak konsisten, seperti ketika Pancasila ditafsirkan dengan cara-cara yang salah, misalnya memeras Pancasila dengan Trisila dan bahkan Ekasila di era Orde Lama. Misalnya juga di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1949 yang liberal dan federal. Kemudian juga ketika terjadi UUDS tanggal 17 Agustus 1950 melalui demokrasi parlementer/liberal. Namun demikian semenjak pemerintahan Presiden Soeharto hingga sekarang, maka pelaksanaan Pancasila di dalam sistem kenegaraan kita tidaklah berubah.
Meskipun terdapat berbagai amandemen terhadap isi UUD 1945, akan tetapi inti penetapan Pancasila sebagai dasar negara sama sekali tidak berubah. Hal ini tentu saja dapat dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tentu tidak lepas dari realitas sosial adanya keinginan untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai pilar kebangsaan. Di dalam hal ini, sebagai contoh, maka NU sebagai organisasi sosial keagamaan sudah menetapkan ada empat pilar kebangsaan yang harus tetap dijaga, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan keberagaman.
Sebagai bangsa yang sangat plural dan multikultural, memang harus memiliki common platform yang dapat menjadi pemersatu bangsa. Harus ada ikatan yang menjadi pemersatu seluruh keberagaman masyarakat. Kesepakatan tersebut tidak bercorak eksklusif yang berbasis pada satu pandangan atau isme. Misalnya komunisme, agamaisme, dan bahkan kapitalisme atau lainnya. Negara berdasar agama juga akan menjadi kendala bagi yang lain untuk berekspresi, meskipun agama itu sendiri mengajarkan hidup berdampingan dan saling menhormati. Tetap ada perasaan tidak memiliki bagi yang lain.
Oleh karena itulah, maka menjadikan Pancasila sebagai dasar negara menurut saya adalah sesuatu yang sangat tepat. Bukan hanya dari segi sejarah –seperti kesaktian Pancasila—atau dari segi yuridis yang merupakan kesepakatan seluruh elemen bangsa, akan tetapi juga dari sisi sosiologis dan politis. Makanya, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara bagi masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural kiranya merupakan pilihan yang cocok dan sangat cerdas bagi bangsa Indonesia.
Hakikat memperingati Hari Kesaktian Pancasila adalah menilai ulang, apakah kita sudah mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bernegara bangsa. Saya selalu terkesan dengan ungkapan Kyai Muchid Muzadi, di mana beliau menyatakan: “menjadi NU menjadi Indonesia”. Dengan kata lain, menjadi apapun, seperti menjadi Muhammadiyah, menjadi Hindu, menjadi Protestan, menjadi Katolik, menjadi Kong Hu Cu dan sebagainya hakikatnya adalah menjadi Indonesia.
Dengan demikian, sudah sepantasnya jika kita sebagai warga negara Indonesia lalu menjunjung tinggi pilar kebangsaan, yang salah satunya adalah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.