• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN JAWA TIMUR DENGAN VISI

Dalam dua hari, 28 dan 29 September 2010, saya memperoleh kesempatan mendengarkan pidato Gubernur Jawa Timur, Dr. Soekarwo, yang terkenal dengan sebutan Pak De. Yang pertama ketika beliau memberikan sambutan atas pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya, Ir. Tri Rismaharini, MT dan Drs. Bambang Dwi Hartono, MPd dan yang kedua dalam forum sosialisasi anggaran dan program Pemerintah Jawa Timur tahun 2011 yang dihadiri oleh seluruh Bupati se Jawa Timur, Kepala Bappeda dan SKPD, akademisi, LSM dan Mahasiswa.
Pak De memaparkan beberapa hal yang sangat mendasar tentang bagaimana membangun Jawa Timur dengan semangat yang sangat tinggi. Mendengarkan pidatonya yang selalu menggunakan angka-angka statistik dan kemudian prediksi-prediksinya tentang bagaimana semestinya Jawa Timur ke depan, saya teringat dengan pidato-pidatonya Presiden Soeharto di masa lalu. Hanya saja, jika Presiden Soeharto berpidato dengan sangat serius sebagai ciri khas militer, sedangkan Pak De memadukan cara berpidato dengan ungkapan data tetapi dipadukan dengan gaya seorang Da’i yang juga memberikan hiburan.
Sesuatu yang sangat serius pun bisa dijadikan sebagai guyon parikeno, akan tetapi tidak kehilangan makna mendasarnya. Misalnya ketika menjelaskan tentang pentingnya membangun jalan lintas selatan yang sangat prospektif, maka beliau ungkapkan bahwa jalan tersebut sangat penting, sebab pantai selatan itu memiliki potensi ekonomi dan pariwisata yang luar biasa. Maka dengan dibangunnya jalan lintas selatan dari Pacitan sampai Banyuwangi, tentu saja akan mempermudah jalur transportasi hasil pertanian, ikan dan perkebunan. Sehingga melalui pembangunan tersebut, maka akan bisa menjadi pengungkit pengembangan ekonomi yang berarti akan menyertakan kesejahteraan masyarakat. Tetapi kemudian ditambahkan dengan guyonan bahwa melalui pembangunan lingkar selatan tersebut, maka Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul tentu akan senang, dan tidak akan mengganggu. Tetapi tidak boleh Gus Ipul (Wagub Jatim) sering-sering ke pantai selatan, sebab nanti bisa dipertanyakan oleh Bu Wagub. Biar yang sering ke pantai Selatan Kanjeng Sultan saja.
Di sisi lain, juga mengadopsi gaya pidato Presiden Soekarno yang sangat kental dengan nuansa kebanggaan. Jika Presiden Soekarno mengangkat isu-isu nasionalisme kebangsaan, maka Pak De di dalam pidatonya justru mengangkat isu bahwa sesungguhnya kita bisa dan mampu untuk menjadi bangsa yang hebat. Kita bisa menjadi provinsi yang luar biasa. Beliau ungkapkan, bahwa ketika Jepang ingin “menghadang” produk-produk Cina yang tingkat penetratifnya luar biasa ke Indonesia, maka orang Jepang menyatakan bahwa sebaiknya yang berada di depan adalah orang Indonesia. Dikatakan bahwa orang Indonesia itu memiliki kemampuan politik yang baik, maka Indonesia di depan dan Jepang di belakangnya. Kemudian beliau lanjutkan dengan gurauan “orang Jepang itu mengatakan kita ahli politik, bukan orang yang suka nekad.”
Visi kedaerahan itu diungkapkan dengan gaya retorika yang sangat memadai. Misalnya ketika beliau menyoroti keberadaan pipa Kodeko yang berseliweran di perairan dekat Pelabuhan Tanjung Perak. Keberadaan pipa ini tentu saja sangat mengganggu terhadap kapal-kapal dagang yang akan berlabuh di pelabuhan. Kapal-kapal itu harus berlabuh jauh di luar pelabuhan, akibatnya harus terjadi dua kali pengangkutan agar barang bisa sampai ke pelabuhan. Ini merugikan sebab tentu akan berpengaruh terhadap biaya transportasi. Pak De dengan gaya “mengancam” yang tegas menyatakan bahwa jika pipa-pipa itu tidak dipindahkan atau ditanam, maka akan menyebabkan kerugian yang besar bagi masyarakat Jawa Timur.
Sebagai program sosialisasi tentang apa yang dilakukan Pemerintah Jawa Timur, maka program sosialisasi ini tentu sangat penting. Menurut Pak De, kita tidak cukup dengan hanya membangun masyarakat melalui konsep top down dan buttom up, tetapi juga harus menyamping. Ada perlunya pedekatan horizontal. Jika melalui top down, maka perencanaan pembangunan datang dari pemerintah, kemudian perencanaan pembangunan juga perlu melalui bottom up atau dari masyarakat. Namun demikian juga diperlukan pendekatan menyamping yaitu melibatkan akademisi, LSM dan sebagainya untuk memberikan masukan dan kritikan terhadap perencanaan pembangunan tersebut.
Forum sosialisasi ini kiranya menjadi penting untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang apa yang akan dilakukan pemerintah sebagai prioritas program pada tahun 2011. Melalui public hearing seperti ini, maka akan memunculkan gagasan tentang apa yang seharusnya dijadikan sebagai developmental priority untuk masyarakat.
Makanya, melalui forum tersebut saya juga kemudian mengusulkan bahwa prioritas yang terkait dengan pembangunan pendidikan dan keagamaan sepertinya belum mengedepan. Padahal sebagaimana janji kampanye Pak De, bahwa ke depan harus ada keseimbangan antara pendidikan kejuruan dan pendidikan umum serta perluasan akses pendidikan. Selain juga pembangunan kehidupan keagamaan yang belum tampak menjadi prioritas, padahal sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan moral bangsa menjadi sangat penting di tengah kehidupan masyarakat seperti sekarang.
Terkait dengan pertanyaan tersebut, Pak De menjanjikan bahwa akan ada pertemuan khusus untuk membahas tentang persoalan-persoalan yang belum tercakup secara mendasar di dalam perencanaan pembangunan Jawa Timur.
Saya sungguh bergembira bahwa forum yang dirancang untuk public hearing ini bisa menjadi suatu sarana bagi pemantapan perencanaan pembangunan di Jawa Timur.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini