VARIABEL CENTER OF EXCELLENCE PT: DOSEN DAN PBM
Saya kemarin sudah menulis tentang dosen sebagai variabel struktural dalam mengembangkan center of excellence di PT. Secara konseptual bisa dinyatakan bahwa dosen memiliki kontribusi besar dalam rangka mewujudkan gagasan membentuk center of excellence di PT.
Mengapa dosen dianggap sebagai pilar penting bagi pengembangan center of excellence bagi PT? Alasan utamanya adalah dosen sebagai figur yang menjadi sumber utama di dalam proses pembelajaran dan tranformer ilmu pengetahuan yang utama. Di era teknologi informasi ini tetap saja dosen berfungsi sebagai inspirator dalam pengembangan akademik. Dosen tetap menempati posisi penting di dalam proses penguatan dan penciptaan center of excellence.
Untuk menjadi pengungkit utama program ekselensi, maka dosen harus diletakkan di dalam posisi utama, yaitu merumuskan kebijakan yang memihak agar dosen menjadi ekselen. Misalnya adalah program pendidikan studi lanjut yang spesifik untuk para dosen. Kita perlu memetakan secara rinci tentang program pemberdayaan dosen. Kemudian dari pemetaan itu, lalu dilakukan program percepatan untuk para dosen, agar kemudian menjadi ekselen.
Kemudian, juga pemetaan terhadap potensi menulis para dosen. Saya rasa dosen sudah seharusnya menjadi front liner bagi transformasi ilmiah dalam kapasitas keahliaannya. Pemetaan terhadap karya akademis para dosen tentu juga menjadi salah satu tolok ukur unggulan PT. Oleh karena itu, maka banyak sedikitnya karya ilmiah populer maupun karya akademis murni, maka menjadi ukuran sebuah keunggulan PT. Makanya PT yang didalamnya banyak karya akademis dosennya, tentu akan menjadi PT yang unggul. Di IAIN Sunan ampel, misalnya terdapat beberapa penulis di media massa yang cukup baik. Ahmad Muzakki, Masdar Hilmy, Abd A’la, Biyanto, Nur Syam, dan sebagainya. Tulisannya bisa dibaca di Kompas, Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Duta Masyarakat dan sebagainya.
Kemudian, aspek yang juga penting sebagai variabel yang harus diperhatikan adalah variabel proses pembelajaran. Dosen yang berkualitas saja tentu tidak cukup, jika tidak diikuti dengan proses pembelajaran yang baik. Di dalam hal ini, dosen dalam kapasitasnya sebagai transformer ilmu pengetahuan tentu saja harus bisa mengarahkan agar para mitra belajarnya (mahasiswa) untuk menjadi orang yang suka terhadap temuan baru. Dosen tidak hanya mengajar secara konvensional dan menganggap dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar. Akan tetapi menjadi “pengungkit” agar mitra belajarnya mau dan memiliki sikap dan tindakan untuk terus mencari informasi baru.
Dewasa ini, kita tengah dimanjakan oleh dunia teknologi informasi. Maka penguasaan teknologi informasi menjadi mutlak bagi dosen dan mahasiswa. Alangkah naifnya di tengah teknologi informasi seperti ini, jika ada dosen atau mahasiswa yang belum melek teknologi informasi. Mungkin tidak perlu mahir, akan tetapi sekurang-kurangnya harus bisa membuka internet, mengirim atau membaca email, memiliki blog yang memiliki relevansi dengan PT-nya dan sebagainya.
Melalui pembelajaran berbasis e-learning, maka akan mengharuskan dosen dan mahasiswa untuk terus aktif di dalam proses menulis, mengupload, mendownload, membuka informasi baru dan sebagainya sebagai bagian dari ciri khas masyarakat akademis yang memiliki kepedulian di dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran berbasis e-learning akan membuka mata kita bahwa lewat medium seperti ini, maka proses pembelajaran akan menjadi hidup. Bisa dibayangkan bahwa dosen sudah mengupload bahan ajaranya seminggu sebelumnya dan kemudian ketika terjadi tatap muka, maka dosen sudah tidak lagi berbicara tentang materi yang disajikannya, akan tetapi sudah mendiskusikannya dengan berbasis materi yang dibacanya minggu yang lalu. Dosen akan terus berada di dalam proses mencari informasi akademis baru dan demikian pula mahasiswanya.
Melalui proses ini, maka akan terjadi akumulasi pengetahuan dan secara lambat tetapi pasti kemudian akan membentuk serangkaian konsep-konsep yang semakin teruji. Akumulasi pengetahuan inilah yang nantinya akan menjadi basis bagi yang bersangkutan untuk menemukan teori baru atau konsep baru yang dianggap relevan dengan bidang studi yang dikajinya.
Untuk kepentingan kualitas proses belajar mengajar, maka kurikulum dan silabus juga terus dalam proses peninjauan ulang atau curriculum review. Kurikulum yang baik tentu adalah kurikulum yang selalu relevan dengan tuntutan perubahan dan selalu dalam proses update. Conten kurikulum yang baik adalah ketika isi kurikulum tersebut bisa menjadi instrumen untuk menganalisis dan menemukan sesuatu yang baru. Makanya, updating kurikulum melalui program curriculum review menjadi sangat mendasar. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah kurikulum yang baik tidak akan bermakna di tangan dosen yang kurang kualifait. Maka, kurikulum yang baik harus diajarkan dengan cara dan sumber belajar yang baik, sehingga akan memperoleh hasil yang baik. Tetap ada adagium “man behind the gun”.
Itulah sebabnya bahwa relasi antara dosen dengan kurikulum yang memadai tentu akan menjadi pengungkit bagi keberhasilan proses belajar mengajar. Dan saya kira bahwa masih banyak hal yang bisa didiskusikan besuk.
Wallahu a’lam bi al shawab.