• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGUTAMAKAN KERUKUNAN BERAGAMA

Jika kita berbicara tentang kerukunan umat beragama, maka tentu saja kita harus merasakan betapa persoalan agama adalah persoalan yang sangat rumit,  karena agama melibatkan keyakinan tentang sesuatu yang ultimate truth. Sesuatu kebenaran yang dianggap mutlak. Karena kemutlakannya itu, maka seringkali menjadikan sentimen keagamaan menempati urutan  tertinggi sebagai factor pemicu ketegangan sosial.

Seharusnya, ultimate truth tetap dimaknai sebagai bagian dari konstruksi manusia, sehingga apapun kebenarannya tentu harus dikaitkan dengan penafsiran manusia. Yang benar-benar asli adalah teksnya yang dikodifikasi menjadi kitab suci. Adapun penafsirannya dalam bentuk keyakinan dan ritual keagamaan tetap saja merupakan bagian dari dunia manusia yang berbasis penafsiran.

Namun demikian, tetap saja orang beranggapan bahwa kebenaran agama itu sebuah kemutlakan yang tidak bisa ditawar. Kita bisa bersepakat bahwa agama memang memiliki aspek keyakinan yang tidak bisa disamakan yang satu dengan lainnya. Demikian pula dalam dimensi ritual juga tidak bisa disamakan antara satu dengan lainnya. Masing-masing agama memiliki dunia sendiri yang unik dan tersendiri dan tidak bisa dipersamakan atau disatukan.

Namun demikian, sebagai realitas terkonstruksi, maka agama hakikatnya adalah tafsir manusia. Teks kitab sucinya memang berasal dari firman Allah swt., dan tentang hal ini tidak bisa diperdebatkan. Semua agama oleh pemeluknya memang dianggap sebagai wahyu Tuhan kepada para rasul atau nabinya. Dan kemudian oleh para rasul atau nabinya tersebut,  kemudian disampaikan kepada umat manusia.

Para nabi atau rasul itulah yang kemudian menjadi pemuka masing-masing agama. Nabi Muhammad saw adalah nabi yang dipercaya oleh umat Islam sebagai nabi yang memperoleh wahyu dari Allah Saw. Bahkan seluruh perilakunya merupakan wahyu atau petunjuk Allah swt. Di dalam salah satu ayat al-Qur’an dinyatakan: “wa ma yantiqu ‘anil hawa in huwa wahyuy yuha”. Tidak ada tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw kecuali berdasar atas wahyu Allah kepadanya.

Hal ini adalah dunia keyakinan umat Islam, yang tentu saja berbeda dengan dunia keyakinan agama lain. Disebabkan oleh perbedaan tersebut, maka sering kali orang tidak bisa untuk saling bersahabat, berkomunikasi atau berhubungan dengan menggalang kemesraan. Selalu ada jarak social antara satu dengan lainnya. Akan tetapi juga masih ada yang bisa menjalin relasi kemanusiaan dengan mengedepankan kerukunan dan keharmonisan.

Ada tiga hal yang bisa ditipologikan untuk relasi jarak sosial ini. Pertama, mereka yang tidak peduli tentang dunia keyakinannya. Mereka menganggap bahwa agama hanyalah baju luar saja sehingga orang bisa saja melepas bajunya ketika dibutuhkan dan juga memakainya ketika dibutuhkan.  Sebagai baju,  maka agama tidak lebih sebagai identitas formal yang menempati dirinya. Dia harus beragama sebagai kebutuhan formal untuk mengidentifikasi dirinya. Misalnya untuk kepentingan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kawin atau lainnya.

Kedua, mereka yang beranggapan bahwa agama adalah identitas substansial akan tetapi berimplikasi pada identitas formal seseorang. Di dalam kenyataan ini, maka seseorang bisa melakukan relasi sosial dengan orang lain bahkan yang berbeda agama,  tanpa harus menanggalkan identitas agamanya dan keyakinan agamanya. Agama bukan menjadi penghalang untuk merajut kebersamaan, akan tetapi tetap bisa untuk melakukan kegiatan keagamaannya secara bertanggung jawab. Di dalam hal ini, maka dunia keyakinan tetap merupakan hak pribadinya, dan tidak bisa dipengaruhi oleh yang lain. Yang Islam juga tetap melaksanakan ajaran agama Islamnya. Namun demikian di dalam perilaku sosial tetap masih bisa berkompromi dengan umat lainnya.

Ketiga, mereka yang beranggapan bahwa semua yang berbeda dengan dirinya dalam keyakinannya, maka harus dianggap sebagai “yang Lain”. Mereka yang dianggap “yang lain” ini harus dinihilkan, sebab mereka memang orang yang dianggapnya bukan dari golongannya. Mereka adalah orang yang akan terus memusuhinya, sehingga harus tetap dianggap musuh untuk selamanya. Agama adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya dan harus dipertahankan bahkan dengan cara-cara yang melawan kemanusiaan.  

Perumusan tipologi kasar ini secara sengaja untuk memahami bahwa memang ada varian di dalam memandang relasi antar umat beragama. Dengan kata lain, ada yang longgar, ada yang moderat dan ada yang ketat. Masing-masing tentu memiliki argumentasi teologis yang saling tidak bisa ditawar dan saling merasa yang paling akurat.

Oleh karena itu, di dalam kerangka untuk membangun kerukunan beragama, maka yang kategori pertama juga perlu untuk ditarik ke tengah, dan yang terlalu ke samping juga rasanya perlu untuk ditarik ke tengah. Kita tentu ingin semua umat beragama mengamalkan ajaran agamanya, akan tetapi tetap membangun kerukunan berbasis pada esensi kemanusiaan.

Hanya dengan cara seperti ini, maka pembangunan kerukunan umat beragama akan bisa dirajut dengan penuh tanggung jawab dan berbasis kepada kemanusiaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini