MEMBANGUN KERUKUNAN MELALUI MEDIUM BUDAYA
Kebudayaan secara luas diartikan sebagai seperangkat pengetahuan yang dijadikan pedoman untuk menafsirkan tindakan. Dengan demikian di dalam budaya terdapat dua hal penting, sebagai pedoman dan aktivitas atau kegiatan. Sebagai pedoman, maka kebudayaan berisi seperangkat aturan atau pedoman untuk melakukan tindakan. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang bisa dan tidak bisa dilakukan.
Bisa jadi pedoman tersebut berupa nilai atau norma. Meskipun nilai atau norma adalah konstruksi manusia, akan tetapi dia telah menjadi sesuatu yang shared di semua anggota masyarakat atau komunitas pemangku budaya. Disebabkan oleh setiap nilai atau norma sudah menjadi realitas terkonstruksi, maka mestilah terdapat pemahaman yang bercorak kurang lebih.
Di dalam kenyataannya, bahwa orang memang membutuhkan pemenuhan kebutuhan akan kepuasan diri (self esteem), misalnya untuk bisa mendengarkan musik atau menonton tarian dan sebagainya. Pementasan budaya merupakan bagian dari keinginan untuk pemenuhan kebutuhan kepuasan tersebut.
Untuk kepentingan ini, maka diselenggarakan barbagai macam pertunjukan atau festival budaya dalam berbagai coraknya. Di Surabaya misalnya terdapat acara Annual Festival of Cross Culture. Acara tahunan ini didesain dengan diikuti oleh berbagai negara, misalnya Amerika Latin, Asia Tenggara, Eropa dan Afrika. Di dalam acara ini terdapat pertunjukan tari yang memberikan gambaran tentang ciri khas budaya masing-masing daerah atau negara.
Lalu apa arti dari berbagai festival ini? Adakah hanya merupakan acara tahunan saja untuk sekedar bertemu ataukah untuk yang lebih jauh, yaitu untuk merajut persahabatan antar daerah dan antar Negara? Tentu saja kita akan menjawab bahwa tujuan diselenggarakannya berbagai festival budaya antar daerah atau bahkan antar negara adalah untuk menjawab tuntutan tentang membangun kesepahaman antar daerah atau antar bangsa.
Tahun yang lalu, saya sempat menghadiri acara Festival Lintas Budaya atau Festival of Cross Culture yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Acara ini menjadi sangat menarik sebab dihadiri oleh banyak duta besar dan konsulat negara-negara sahabat. Kemudian ditampilkan tari dan seni dari berbagai daerah di Indonesia dan juga di dunia. Melihat kenyataan banyaknya duta besar dan konsulat negara sahabat yang datang, maka kemudian muncul pemahaman bahwa memang budaya bisa menjadi sarana untuk membangun kesepahaman antar bangsa.
Di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Persahabatan Indonesia-Tiongkok dan sekaligus sebagai moment untuk upacara liminal yang disebut sebagai Festival Bulan Purnama atau Fullmoon Festival, maka saya melihat bahwa kebudayaan dapat menjadi medium untuk memahami aneka perbedaan budaya antar satu daerah dengan lainnya.
Tarian Baliganjur untuk mewakili Tarian Bali yang eksotik. Tarian Batik Solo merupakan representasi tarian Jawa Tengah yang gemulai. Tarian Kawanua yang gagah dan berani untuk mewakili wilayah Papua. Tarian dari Manado untuk mewakili wilayah Sulawesi yang indah. Dan tarian kerapan sapi Pamekasan untuk mewakili Jawa Timur. Kemudian musik Cina klasik untuk mewakili keindahan musik Cina yang senantiasa menarik.
Melalui penampilan tarian-tarian ini, maka dapat dipahami adanya perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah lain atau antara satu negara dengan negara lain. Kita sesungguhnya memahami bahwa ada multikulturalitas yang memang harus terjadi di tengah kehidupan ini. Namun meskipun berbeda, akan tetapi tetap merupakan satu kesatuan kemanusiaan.
Konsep yang telah dikembangkan oleh para leluhur kita melalui ungkapan Bhinneka Tunggal Ika, maka memang sangat realistis. Betapa masyarakat Indonesia memang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Dan melalui keanekaragaman tersebut, maka mesti harus dipahami bahwa kita harus membangun kebersamaan dan saling mentoleransi antara satu dengan lainnya.
Sebenarnya Islam sebagai agama yang datang belakangan, maka Islam juga mengajarkan tentang bagaimana menghargai tentang kebinekaan tersebut. Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan menjadi lelaki dan perempuan dan menjadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal. Ada perbedaan suku, agama dan etnis dan juga perbedaan warna kulit, dan sebagainya, maka yang penting adalah agar mereka saling mengenal secara memadai di antara mereka.
Di dalam Islam tidak ada suku atau etnis yang kemudian dianggap melebihi satu atas lainnya. Suku Jawa tidak lebih baik dibanding suku Batak. Etnis Arab tidak lebih baik dibanding dengan etnis Cina dan sebagainya. Islam ternyata menegaskan bahwa yang dianggap terbaik adalah mereka yang paling taqwa. Melalui ukuran ketakwaan tersebut, maka tidak ada yang merasa sebagai suku atau etnis terbaik. Sebab yang terbaik bisa dari suku atau etnis apa saja, tergantung pada amal perbuatannya yang berbasis pada tingkat ketakwaannya.
Islam mengajarkan: “inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila lita’arafu. Inna akramakum ‘indallahi atqakum”. Jadi Islam mengajarkan bahwa tidak ada suatu suku atau etnis terbaik, atau tidak ada kaum lelaki yang lebih baik dari kaum perempuan, sebab yang terbaik akan diukur oleh derajat ketaqwaannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.