GUS A’AD DAN DAI PROFESIONAL
Siapa yang menyatakan bahwa dai bukan sebagai sebuah profesi, saya rasa sudah saatnya untuk dikoreksi. Dai yang memiliki kemampuan andal dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan, ternyata bisa menjadi profesi yang membanggakan bahkan juga menghasilkan uang yang cukup memadai. Tentu bukan uang sebagai ukuran profesi dai, akan tetapi menjadi dai ternyata bisa sebagai sebuah usaha yang memiliki makna ganda, yaitu menjadi penyebar agama dan sekaligus sebagai ladang untuk menghasilkan uang.
Dai sebagai profesi, sebenarnya dikembangkan oleh Dai sejuta umat, KH. Zainuddin MZ. Pada tahun 1990-an, maka beliau adalah dai pertama yang “go nasional” melalui usaha-usahanya yang sangat gigih. Tidak hanya sebagai dai dari panggung ke panggung, akan tetapi juga berdakwah lewat teknologi modern, yang kala itu menggunakan medium kaset. Ratusan ribu bahkan jutaan keping kaset yang dijual dengan tema-tema dakwah yang sangat variatif.
Di antara keunggulan Dai sejuta umat ini adalah pada kemampuan retorikanya yang sangat hebat. Melalui kemampuan retorika yang dipadukan dengan intonasi dan gaya bahasa serta kemampuan humor yang cerdas, maka membuat nama Zainuddin MZ, dikenal sebagai dai kondang dan merajai blantika dakwah di era itu. Sayangnya kemudian beliau tertarik ke dalam dunia politik dan ternyata tidak menguntungkan secara individual maupun komunal. Meskipun beliau masih eksis hingga sekarang, akan tetapi cakupan pengaruhnya tidak seperti sebelum memasuki dunia politik.
Pada era tahun 2000-an, kemudian muncullah dai-dai professional yang menghiasi jagad penyiaran agama di Indonesia. Era digital (televisi) yang memang berkorelasi dengan nuansa peningkatan kesadaran agama di dalam struktur pemerintah, social dan politik, maka kebutuhan penyiaran agama menjadi meningkat luar biasa. Muncullah dai seperti Aa Gym, Yusuf Mansur, Jefri al- Bukhari, Arifin Ilham, Ust Danu dan sebagainya, yang menjadi ikon dai di Indonesia. Mereka menggunakan modalitas yang variatif untuk mengembangkan model dakwahnya. Misalnya, Arifin Ilham menggunakan medium dzikir sambil menangis untuk model dakwahnya, Ust Danu menggunakan modalitas pengobatan untuk mengembangkan model dakwahnya, dan sebagainya. Masing-masing memiliki ciri khas untuk implementasikan dakwahnya.
Bahkan juga tidak hanya dai-dai dengan level nasonal, akan tetapi juga kemudian muncullah kecenderungan untuk “go internasional.” Dari Surabaya, kemudian muncul nama Prof. Dr. H. Moh Ali Aziz dari IAIN Sunan Ampel, yang kemudian menjadi dai internasional. Melalui jaringan antar kedutaan Indonesia di berbagai negara, maka beliau lalu bisa menjelajah belantara dakwah di dunia internasional. Hongkong, Jepang, Belanda, Inggris, Negara-negara Afrika Muslim, Iran dan banyak lagi, telah beliau kunjungi untuk kegiatan dakwah. Semua ini tentu menandakan bahwa menjadi dai bukan sekedar pekerjaan yang tidak professional, akan tetapi telah menjadi bagian dari dunia profesi.
Sebagai profesi, maka tentu ada sekurang-kurangnya tiga hal yang harus dikuasai, yaitu pengetahuan tentang profesinya, sikap yang terkait dengan profesinya dan keterampilan yang berkaitan dengan profesinya. Jadi tentu dibutuhkan kemampuan penguasaan materi agama Islam yang sangat baik, kemudian sikap dan penghargaan terhadap dakwah yang dilakukannya dan kemudian kemampuan teknis yang menyangkut metodologi dan tehnik dakwah yang memadai.
Saya kemarin, 22/09/2010 mengikuti acara halal bil halal di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saya sangat tertarik dengan dainya itu, KH. A’ad Ainurus Salam. Selain sebagai dai, beliau memiliki Rumah Yatim, MI dan pesantren. Di dalam kartu namanya, beliau sebutkan bahwa profesinya adalah Pelayan Umat. Tentu saja bukan ungkapan genit, jika Beliau menulis pekerjaannya seperti itu. Sebab kenyataannya memang beliau menjadi pelayan di dalam menyampaikan ajaran agama Islam kepada umat. Di dalam agama Nasrani disebut sebagai “Penggembala Umat.”
Yang menarik dari Gus A’ad adalah kemampuannya untuk memadukan antara retorika dakwah dengan kemampuan bermusik. Kemampuan retorika yang sangat baik disertai dengan gesture dan humor yang sangat segar, sehingga membuat para pendengarnya tidak terasa bahwa waktu dakwahnya sudah cukup lama. Selain itu, juga dipadukan dengan musik yang sangat baik. Kemampuan beliau menyanyi saya rasa tidak kalah dengan kemampuan penyanyi yang sudah go publik. Tidak hanya itu, beliau juga memiliki kemampuan berjoget yang indah tanpa disertai tindakan yang seronok.
Menurut saya, bahwa kemampuan ekspressi dalam menyanyikan lagu-lagu kasidah dan juga musik dangdut sungguh sangat baik. Ketika menyanyikan lagu-lagu yang sedih, maka ekspresi wajahnya juga menunjukkan ekspresi kesedihan dan ketika menyanyikan lagu riang, maka diikuti dengan gerakan-gerakan yang melambangkan lagunya itu. Lagu-lagu itu dipadukan dengan pesan-pesan dakwah yang sedang dibicarakannya. Maka menjadi cocok antara materi dakwah dengan lagu-lagu yang dinyanyikannya.
Saya tentu menjadi teringat dengan Rhoma Irama yang menjadi ikon atau raja penyanyi dangdut Indonesia. Beliau adalah master di dalam berdakwah dengan musik. Melalui beliau kemudian muncul nama-nama seperti Kyai Ma’ruf Islamuddin, dan kemudian juga Gus Aat yang sedang saya bicarakan ini.
Dakwah, ternyata memang membutuhkan berbagai sentuhan. Dan salah satu sentuhan yang menarik adalah dakwah sambil bermusik. Manusia memang membutuhkan keduanya. Melalui dakwah, maka manusia diajak kembali kepada rel ajaran agama. Dan melalui music, maka manusia diajak untuk memenuhi hasrat keindahan dan kenikmatan. Oleh karena itu, maka ketika ada seorang dai yang memiliki dua hal tersebut, maka dia akan disenangi di dalam dakwahnya.
Gus A’ad, saya rasa adalah dai yang memiliki keduanya itu. Maka pantaslah jika dalam satu hari harus manggung dampai tiga kali. Tentang berapa honornya, maka sebaiknya ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan.
Wallahu a’lam bi al shawab.