• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

FESTIVAL FULLMOON: MEMADU HARMONI KEHIDUPAN

Dalam pekan-pekan terakhir ini,  saya dua kali mengunjungi Replika Temple of the Heaven di Kenjeran Park. Yang pertama terkait dengan acara halal bil halal dan doa bersama umat beragama, yang diselenggarakan oleh Persatuan Iman Tauhid Indonesia (PITI) dan yang kedua menyaksikan acara Malam Bulan Purnama dan Festival Seni dan Budaya, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok, 22 September 2010.

Acara ini tergelar dengan spektakuler. Selain  dihadiri oleh Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok, Bondan Gunawan, juga dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, Pangdam V Brawijaya, Soewarno, Konsul Cina di Surabaya, Jepang dan Amerika Serikat serta sejumlah tokoh Jawa Timur, tokoh Partai Politik dan sejumlah pejabat dan Ormas lainnya.

Sebagai sebuah Festival Budaya, maka acarapun digelar dengan format variatif. Ada sejumlah kesenian daerah yang ditampilkan. Musik Rebana, Musik Cina Klasik, Tari Kawanua, Tari Batik Solo, Tari Kerapan Sapi dari Pamekasan, tari Baliganjur yang menggambarkan peristiwa Calon Arang, Drumband  Hizbul Wathon Muhammadiyah, Drumband  Akademi Angkatan Laut dan sejumlah kesenian dan tari lainnya. Ketika saya menyaksikan Tari Batik Solo, maka saya teringat kepada Walikota Solo, Jokowi, yang sangat kreatif. Tari itupun menggambarkan kreativitas di dalamnya. Sejumlah simbol binatang yang dibalut dengan kain batik tergambar sangat indah. Musik gamelan yang dipadu dengan musik lainnya juga terdengar sangat merdu.

Acara festival fullmoon ini,  sesungguhnya tidak hanya sebagai ajang untuk mempertontonkan seni dan tari dari berbagai suku di Indonesia, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah festival kerukunan antar etnis, agama dan budaya. Meskipun  mereka berasal dari berbagai suku, agama dan ras yang berbeda,  akan tetapi mereka menyatu dalam kebersamaan. Mereka tidak lagi memberikan sekat-sekat yang membuat kotak-kotak etnis, agama dan budaya  itu menjadi halangan untuk merajut kebersamaan dan kerukunan.

Saya menjadi teringat yang dinyatakan oleh Pak Yos (Ketua PITI Jawa Timur), ketika ada acara halal bil halal dan doa bersama di Temple of the Heaven. Beliau  menyatakan bahwa “Indonesia tidak akan tenggelam, sebagaimana yang sering didialogkan di televisi-televisi, sebab melalui kebersamaan seperti ini, maka Indonesia akan tetap lestari dan jaya”.

Saya sungguh-sungguh sependapat dengan Pak Yos, bahwa Indonesia pasti tidak akan tenggelam dalam keterpurukan yang disebabkan oleh berbagai konflik dan perseteruan, sebab bangsa Indonesia memiliki sikap hidup yang sudah teruji dalam ratusan tahun, yaitu: rukun, harmoni dan slamet. Melalui tiga falsafah kehidupan ini, maka masyarakat Indonesia benar-benar memahami bahwa melalui modal kerukunan, keharmonisan dan keselamatan, maka akan tercipta kehidupan yang aman dan tenteram sebagai persyaratan untuk membangun bangsa secara keseluruhan.

Di Indonesia terdapat sebanyak 12 juta penduduk yang beretnis Cina. Dan yang kembali ke Cina Daratan seputar peristiwa G 30 S/PKI,  kira-kira sebanyak delapan juta orang. Sehingga semestinya di Indonesia terdapat sebanyak 20 juta etnis Cina. Jumlah penduduk Cina perantauan yang sangat besar di dunia. Jika di banyak negara, penduduk Cina membuat enclave tersendiri, yang dikenal seperti Cina Town, maka di Indonesia tidak terdapat hal seperti itu secara ketat. Memang ada kampung Cina akan tetapi tidak menjadi kelompok yang eksklusif, menyendiri. Di Montreal, Kanda, misalnya terdapat daerah China Town yang menyendiri dengan batas-batas budaya yang relatif ketat.

Di antara penduduk etnis Cina tersebut,  kemudian menganut agama yang sangat variatif. Ada yang Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Kong Hu Cu dan juga Islam. Varian keberagamaan ini juga tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap relasi sosial di antara mereka. Bahkan tentu saja juga relasi sosial dengan masyarakat secara umum. Kenyataan inilah yang mengilhami Pak Yos untuk menyatakan bahwa melalui forum kebersamaan antar umat beragama, etnis dan suku, maka kerukunan akan bisa diraih secara maksimal.

Saya juga menjadi sangat apresiatif, ketika  panitia acara Festival Fullmoon ini menggunakan artribut Merah Putih (Bendera Pusaka) di dadanya untuk menggambarkan tentang keindonesiaannya. Bukan sekedar basa-basi tentu saja. Akan tetapi adalah sebuah pengakuan tentang keindonesiaannya. Mereka menyadari bahwa mereka mengais rezeki dan makan dari bumi Indonesia. Maka juga pantas,  jika kesetiaan sebagai warga negara Indonesia tersebut ditunjukkannya.  

Kita seharusnya bersyukur,  bahwa di tengah berbagai kerenggangan sosial yang diakibatkan oleh sekat etnis, suku dan agama,  ternyata kita masih bisa merajut tali persahabatan. Di dalam Islam jelas,  bahwa ada sebuah konsep yang disebut sebagai ukhuwah basyariyah, yaitu konsep yang menggambarkan bahwa di tengah perbedaan etnis, suku dan agama, maka masih ada pigura untuk membangun kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai, yaitu bingkai humanitas atau ukhuwah basyariyah.

Kita yakin, bahwa Indonesia akan tetap jaya di tengah pergaulan dunia, jika umat dan warganya menjunjung tinggi kerukunan, keharmonisan dan keselamatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini