REZIM IJAZAH
Negeri ini memang sedang melaksanakan pembangunan secara nasional, khususnya di bidang pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pengembangan SDM tersebut secara khusus ditandai oleh tiga hal penting, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan dan tingkat kesehatan masyarakat. Melalui tiga indicator ini, maka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu Negara, Provinsi dan Kabupaten/kota ditentukan.
Di bidang pendidikan, maka tolok ukur yang mendasar adalah berapa lama rata-rata pendidikan yang dilalui oleh warga masyarakat. Di Jawa Timur, misalnya rata-rata lama mengenyam pendidikan masih relatif rendah, yaitu 6,5 tahun atau masih setingkat lulusan Sekolah Dasar plus. Saya belum tahu perubahan terakhir pasca sensus penduduk tahun 2010. Tetapi saya yakin bahwa sudah pasti ada perubahan yang relatif signifikan.
Dengan demikian, maka untuk mengukur indeks pendidikan, maka yang dibutuhkan adalah lamanya seseorang di dalam mengarungi dunia pendidikan. Mengingat kenyataan ini, maka secara matematis akan dapat diketahui berapa lama pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kemudian ditentukan reratanya., lalu ditemukan berapa peringkatnya bagi pengembangan IPM.
Negeri ini masih berkutat pada masalah pendidikan. Memang secara konseptual, bahwa pendidikan adalah instrumen paling penting dalam kerangka untuk pengembangan human capital. Konsep ini hingga sekarang masih dianggap sebagai konsepsi penting, sehingga pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus harus ditumbuhkembangkan. Bahkan untuk mendukung tercapainya tujuan ini, maka UU Sisdiknas juga mengamanahkan agar anggaran pendidikan harus sebesar 20 persen.
Konsekuensinya adalah bahwa dunia pendidikan harus bisa menekan angka illiterate (buta aksara dan angka) sedemikian kuat dan selain itu juga harus menahan dan mengurangi angka drop out pendidikan di semua levelnya. Melalui cara seperti ini, maka kemungkinan akan didapatkan indeks peningkatan rata-rata lama pendidikan,sehingga akan bisa mendongkrak terhadap IPM Indonesia baik di level nasional, maupun regional.
Jika seperti ini, maka yang sangat mendasar adalah bagaimana seseorang memperoleh ijazah, sebagai pertanda bahwa yang bersangkutan bisa menyelesaikan lama pendidikannya dan memiliki relevansi dengan kebutuhan bagi pengguna jasa layanan pendidikan. Institusi pendidikan mestilah mengerem angka drop out pendidikan. Jika perlu sampai titik nol persen.
Mengapa hal ini harus dilakukan? Salah satu yang sangat mendasar adalah bahwa negeri ini –dan negara-negara berkembang lainnya—masih menjadikan ijazah sebagai instrumen penting untuk memasuki dunia kerja.
Untuk memasuki dunia kerja, maka yang sangat mendasar adalah bagaimana seseorang memiliki kualifikasi keahlian minimal dan hal tersebut dibuktikan melalui kepemilikan ijazah. Maka semua persyaratan memasuki lowongan pekerjaan sangat tergantung kepada punya atau tidak punya ijazah.
Jadi, ijazah adalah persyaratan minimal dan ijazah akan menjadi pintu utama bagi seseorang untuk memasuki rumah kerja. Ijazah tersebut menjadi persyaratan administratif bagi seseroang untuk memasuki lapangan pekerjaan. Jika persyaratan administratif dapat dilampaui, barulah kemudian kemampuan akademis dan professional akan dipertaruhkan.
Makanya, tidak ada kata lain yang dapat diungkapkan kecuali bahwa jika kita memasuki dunia pendidikan, maka target yang harus dipatok adalah harus menyelesaikan pendidikan itu. Tidak ada kata drop out yang diakibatkan oleh faktor internal maupun eksternal. Tidak boleh ada kesengajaan untuk tidak menyelesaikan pendidikan dengan dalih apapun.
Jika factor drop out tersebut disebabkan oleh factor ekonomi, maka sekarang sudah terdapat berbagai lembaga yang menyediakan beasiswa. Maka lalu ada kompetisi agar seseorang bisa memperoleh beasiswa. Oleh karena itu tidak boleh ada alasan karena menjadi aktivis, menjadi pekerja paroh waktu atau membiayai diri sendiri, sehingga seseorang harus putus pendidikan.
Dengan demikian, seseorang harus fight, lahir maupun batin ketika seseorang sudah memasuki institusi pendidikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.