MAHASISWA, AKTIVIS DAN MASA DEPAN
Dalam rangka silaturrahim yang terkait dengan hari raya Idul Fitri, maka A. Miftahus Surur datang ke rumah bersama istri dan dua anaknya. Dia adalah alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, yang dahulu adalah aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Airlangga, dan juga penggiat di Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (eLSAD) yang dipimpin oleh Maulidin yang juga aktivis di Universitas Airlangga. Saya mengenalnya tentu semenjak saya terlibat di banyak diskusi yang diselenggarakan oleh eLSAD dalam membincang relasi agama dan masalah-masalah social, politik, ekonomi dan budaya.
Di eLSAD ini terdapat nama-nama yang kala itu memiliki visi pengembangan kapasitas manusia atau capacity building. Misalnya Maulidin adalah anak muda yang memiliki wawasan yang sangat baik dan memiliki jaringan yang sangat luas. Kemudian Anom Surya Putra, yang selalu membawa buku-buku kemanapun dia pergi. Anak muda yang pikirannya jernih. Kemudian Miftah yang kala itu berpikir ekonomi melulu dan juga ada Nurjanah yang sekarang tinggal di Amerika dan lain-lain.
Bahkan begitu pentingnya kelompok ini, maka disertasinya Prof. Dr. Shonhaji Sholeh di Universitas Airlangga menjadikan eLSAD sebagai focus kajian tentang perubahan pemikiran anak muda NU. Beliau menjadikan eLSAD sebagai poros perubahan di Surabaya, LKiS di Yogyakarta dan Lakpesdam NU sebagai poros Jakarta. Disertasi ini secara khusus menyoroti tentang wacana keagamaan yang menjadi perbincangan di kalangan anak-anak Muda NU. Disertasi itu lalu diterbitkan oleh JP Book dengan tema Arus Baru NU. Kala itu memang jika berbicara tentang anak muda NU, maka porosnya adalah Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya.
Di Jakarta, mereka memiliki penerbitan yang hingga kini masih eksis, meskipun agak tersendat, Jurnal Taswirul Afkar, di Yogyakarta kemudian menjadi penerbit yang masih dan terus eksis, LKIS, dan di Surabaya menerbitkan jurnal Gerbang kerja sama dengan The Asia Foundation. Taswirul Afkar kemudian melahirkan penulis-penulis andal, misalnya Ulil Abshar Abdala, A. Moqsit Ghazali, Hasibullah Satrawi, Zuhairi Misrawi, Ahmad Baso, dan sebagainya. Di Yogya juga menghasilkan penulis dan penyebar gagasan pembaharuan Islam Indonesia melalui penerbitan wacana keislaman baru, misalnya A. Fikri, Sholeh Isre, Jadul Maula dan sebagainya. Kemudian di Surabaya, menghasilkan penulis seperti Maulidin, Anom, Miftah dan sebagainya.
Mereka sekarang tentu telah menjadi “orang”. Meskipun juga ada yang belum menjadi “orang”. Ada yang menggeluti dunia akademis, LSM, pengusaha dan juga aktivis politik. Tetapi satu catatan saya, bahwa mereka yang menjadi “orang” adalah mereka yang selain menjadi aktivis juga menyelesaikan pendidikannya.
Sebagai contoh, misalnya Ulil Abshar Abdala, bisa melanjutkan pendidikannya di Harvard University, sebuah perguruan tinggi yang sangat bergengsi di Amerika. Universitas nomor satu di dunia. Yang pernah menyelesaikan doktoralnya di sini adalah Arif Budiman, yang kemudian menjadi asset internasional. Lalu, A. Moqsit Ghazali yang menyelesaikan pendidikan doktornya di UIN Jakarta dan sekarang menjadi dosen di Universitas Paramadina, Ahmad Baso juga menjadi aktivis di Komnas HAM, Anom yang sudah lulus S2, memasuki kawasan politik, sebab menjadi tim ahli DPR dan Miftah, sudah lulus S2 klas Internasional, yang tetap setia di LSM. Tentu saja tidak bisa ditulis semuanya karena terbatasnya ruang di dalam tulisan ini.
Di dalam perbincangan dengan Miftah itu ada beberapa hal yang saya rasa sangat menarik untuk dicermati, bahwa para aktivis yang berhasil adalah mereka yang ternyata tetap menomorsatukan pendidikannya. Di bawah rezim “ijazah”, maka seseorang yang tidak bisa menyelesaikan pendidikannya, maka akan dianggap tidak memiliki “kemampuan” di dalam bidang yang ditekuninya.
Makanya, memiliki “ijazah”lalu menjadi penting sebagai bekal untuk memasuki dunia pekerjaan apa saja. Banyak pengguna tenaga kerja yang tetap mempersyaratkan ijazah sebagai modal untuk memasuki kawasan pekerjaan. Bahkan LSM internasional juga mensyaratkan ijazah sebagai bagian penting untuk bisa menjadi aktivis LSM tersebut.
Jika berbicara tentang pendidikan lanjut, maka syaratnya juga pasti harus memiliki ijazah setaraf lebih rendah. Para aktivis yang kemudian bisa memasuki jenjang lebih tinggi, seperti S2 dan S3 juga mereka yang telah menyelesaikan pendidikan S1-nya.
Mungkin masih ada yang berpandangan bahwa ijazah tidak penting, ijazah tidak diperlukan atau bahkan orang bisa sukses tanpa ijazah. Orang seperti Bob Sadino tidak perlu ijazah untuk sukses menjadi pengusaha. Akan tetapi hanya orang tertentu yang bisa seperti itu.
Untuk hal yang lebih general, maka ijazah menjadi tolok ukur seseorang untuk memasuki kawasan dunia pekerjaan. Ada yang menarik dari ungkapan Miftah adalah “jadilah aktivis yang sukses.” Artinya sukses pendidikan dan sukses membangun jaringan untuk kepentingan kehidupan. Jadi, aktivis yang kemudian gagal di dalam pendidikannya, maka hal itu merupakan pertanda “kegagalan” dalam mengemban misi masa depan.
Jadi, keberhasilan kita di masa depan tampaknya ditentukan oleh apa yang kita lakukan sekarang. Jika kita gagal memanej masa sekarang, tentu juga kita tidak akan bisa memprediksi bagaimana kita di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.