MUDIK DAN PENGAKUAN STATUS SOSIAL
Tradisi mudik memang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Tidak ada pola bagi tindakan seperti itu di negara lain, bahkan di Timur Tengah sebagai pusat agama Islam. Jika di masa lalu mudik hanyalah bagian dari tradisi hari raya idul fitri, maka sekarang mudik telah mengalami perluasan makna. Tidak hanya dikaitkan dengan peristiwa saling memaafkan antara satu dengan lainnya, akan tetapi mudik telah mengalami makna yang bertambah. Yaitu sebagai ajang untuk menunjukkan jati diri di tengah kehidupan yang semakin modern.
Harus diakui bahwa seirama dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka mudik telah menjadi kebutuhan untuk dilakukan. Meskipun mudik di masa lalu merupakan medium untuk saling memaafkan dan pemenuhan kebutuhan akan kerinduan kampung halaman, maka mudik sekarang juga telah menjadi medium untuk menunjukkan tingkat keberhasilan secara ekonomik.
Tradisi mudik dengan mengendarai mobil dalam jarak yang sangat jauh merupakan cara baru dalam tradisi mudik. Bukan hanya antar propinsi atau antar kabupaten, akan tetapi bahkan antar pulau. Kemudian juga tradisi mudik bareng yang disponsori oleh perusahaan. Perusahaan Jamu banyak melakukan kegiatan mudik bareng ini. Beberapa tahun terakhir, maka mudik bareng menjadi bagian dari tradisi mudik.
Jika mereka yang tergolong kelas bawah, maka pilihan mudiknya adalah menggunakan bus atau kereta api. Mereka kebanyakan adalah kaum urban yang belum beruntung. Mereka tetap melakukan pilihan mudik dengan kendaraan umum. Mereka rela berjubel dengan tingkat kepadatan yang sangat tinggi. Namun demikian, disebabkan oleh keinginan mudik yang sangat tinggi, maka tingkat kesulitan inipun harus dilampaui. Sedangkan yang tergolong berhasil secara ekonomi, maka pilihan mudiknya adalah dengan kendaraan pribadi.
Mudik ternyata telah manjadi bagian dari sebagian masyarakat Indonesia untuk menunjukkan keberhasilan secara ekonomik. Di tengah semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terutama mereka yang hidup di perkotaan, maka mudik dengan kendaraan sendiri menjadi pilihan utama. Mudik dengan kendaraan sendiri adalah pilihan bagi kelas menengah baru di perkotaan yang semula berasal dari pedesaan.
Banyak kaum urban yang berhasil di perkotaan. Mereka adalah orang yang berhasil menaklukkan tantangan ekonomi di perkotaan, sehingga bisa memasuki kawasan penggolongan baru atau kaum menengah perkotaan. Bagi yang seperti ini, maka mudik tidak hanya menjadi ajang untuk bersilaturahim atau pemenuhan kerinduan pada daerah asal, akan tetapi juga menjadi ajang untuk memperoleh pengakuan keberhasilan secara ekonomik di perkotaan.
Itulah sebabnya ketika mereka sampai di daerah tujuan, maka dilakukanlah berbagai kegiatan untuk menunjukkan keberhasilan tersebut. Misalnya pemberian zakat, infaq atau shadaqah. Zakat tersebut kemudian dibagikan kepada sanak kerabat atau orang yang dianggap layak untuk menerima zakat atau infak atau shadaqah.
Meskipun saya yakin bahwa upaya ini adalah sebuah tradisi yang sangat baik, dan saya juga berkeyakinan bahwa niat yang dijadikan pedoman untuk melakukannya juga sangat tulus dan ikhlas, akan tetapi bisa saja dimaknai secara sosiologis, bahwa tindakan tersebut adalah untuk memperoleh pengakuan tentang keberhasilan secara ekonomik.
Pembacaan ini bisa saja salah atau bisa saja benar, tentu tergantung kepada bagaimana orang menterjemahkan fenomena tersebut di dalam kenyataan riil di masyarakat. Tetapi saya sungguh berharap mudah-mudahan niat untuk melakukannya hanya berbasis agama. Sebab jika salah meniatkannya, maka amalan yang sangat prospektif tersebut akan tidak memiliki makna dari sisi agama.
Tuhan melalui pernyataan Nabi Muhammad saw, secara tegas menyatakan: “faman kanat hijratuhu lil dunya … fahijratuhu ila ma hajara ilaih” yang artinya: “maka barangsiapa berhijrah untuk kepentingan dunia … maka hijrahnya adalah untuk apa yang diniatkannya itu”.
Wallahu a’lam bi al shawab.