FESTIVAL MUDIK
Memang terkadang rasio saja tidak cukup untuk memahami tradisi mudik setiap lebaran. Bayangkan orang rela untuk bermacet-ria di jalanan dalam waktu yang sangat panjang untuk kepentingan mudik. Kemarin, kolega saya yang berasal dari Magetan, bercerita bahwa untuk pulang balik ke Surabaya, maka butuh waktu 12 jam, jam 4 sore dari Magetan dan sampai di Surabaya jam 4 pagi. Padahal perjalanan Magetan Surabaya dalam waktu normal hanya membutuhkan waktu 4 jam.
Dunia ini memang tidak hanya bisa dipahami dari dimensi rasio semata. Ada dunia lain yang mesti harus dipahami dengan cara yang lain pula. Mudik bukan persoalan rasio akan tetapi persoalan batin. Kepuasan. Ada dimensi satisfaction yang tertancap mendalam di hati seseorang ketika berurusan dengan mudik. Kelelahan fisik bukanlah masalah yang menjadi kendala ketika seseorang berurusan dengan mudik.
Kita tentu tidak dapat membayangkan seseorang bisa melakukan perjalanan panjang dari Jakarta ke Banyuwangi dengan mobil dalam keadaan macet total. Jika perjalanan lancer mungkin masih isa dipahami. Akan tetapi ketika perjalanan itu mengalami kemacetan berkilo-kilo meter panjangnya, maka rasanya akal tidak bisa memahaminya.
Saya pun sering mengalami perjalanan panjang Jakarta-Surabaya dengan bus malam sekian tahun yang lalu. Saya pun pernah mengalami perjalanan panjang dari Montreal ke Toronto di Kanada yang jaraknya 504 km. Akan tetapi perjalanan ini terasa tanpa hambatan. Sebab jalan di Kanada memang tertata sangat baik, lempang dan kendaraan sama sekali tidak berjubel. Seluruh jalan itu didesain sebagai jalan bebas hambatan.
Namun jangan pernah berpikir tentang mudik dengan cara seperti itu. Selain jalannya yang sempit juga kendaraan yang berjubel, maka kemacetanpun tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, mengharapkan lebaran atau mudik tanpa kemacetan adalah corak pikiran yang dapat disebut sebagai memaksakan ide di atas kenyataan. Cara berpikir seperti ini disebut berpikir cateris paribus.
Mudik bukan hanya persoalan kunjungan biasa atau menyambung silatrurahim saja. Akan tetapi adalah pemenuhan hasrat untuk mengenang kembali masa lalu. Masa di mana seseorang merasakan dibesarkan oleh tidak hanya asuhan orang tua atau keluarga, akan tetapi juga asuhan alam. Seseorang ingin mengenang kembali masa-masa bersahabat dengan alam. Kerinduan bersahabat dengan alam dan keramahan khas pedesaan adalah sesuatu yang langka ketika seseorang hidup di perkotaan.
Melalui mudik, maka seseorang kembali dapat merenda kenangan masa lalunya yang penuh dengan kehikmatan. Seseorang bisa bertemu dan bercengkerama dengan kerabat dan sahabatnya. Dan lebih dari itu, mudik juga bisa menjadi aktualisasi kebutuhan seseorang akan dunianya yang telah hilang ditelan oleh derap kehidupan perkotaan.
Mudik telah menjadi festival panjang setiap tahun. Tradisi ini tidak akan lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan. Tradisi ini akan terus terjadi setahun sekali. Meskipun sudah ada medium komunikasi yang canggih, seperti facebook, twitter, handphone dan sebagainya, akan tetapi medium ini tidak akan bisa menggantikan mudik sebagai medium ekspressi sosialitas di era modern.
Mudik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, selama institusi lebaran masih ada, maka tradisi mudik juga akan terus terjadi. Jadi yang lebih penting adalah membangun kesadaran semua pihak agar tradisi yang baik ini terus berjalan, akan tetapi kenyamanan dan keamanan bermudik tetap menjadi prioritas.
Makanya, urusan mudik bukan hanya menjadi urusan pemerintah, akan tetapi juga kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.