• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SILATURRAHIM KEPADA GURU

 Saya merasa bersyukur,  karena setiap tahun, terutama di hari raya Idul Fitri, saya berkempatan untuk melakukan kegiatan silaturrahim kepada guru-guru saya. Secara sengaja saya datangi rumahnya untuk bersalaman dan mencium tangannya sebagai penghormatan dan ungkapan rasa syukur atas sumbangsihnya yang paling besar di dalam kehidupan saya.

Kiranya gelar guru besar dan jabatan saya sebagai rektor IAIN Sunan Ampel juga tidak akan bisa saya peroleh  tanpa sentuhan tangannya. Melalui bimbingannya,  maka saya bisa menjadi seperti sekarang. Melalui bimbingannya, maka saya mengenal baca dan tulis. Melalui didikannya,  maka saya memperoleh ijazah yang menandai kemampuan saya dalam bidang yang saya kuasai.

Saya selalu mengenang lima peristiwa penting yang menandai keberadaan saya di dunia pendidikan hingga sekarang. Yang pertama adalah guru saya,  Pak Slamet (Alm) yang memasukkan saya ke sekolah lanjutan bahkan tanpa sepengetahuan saya.  Tanda lulus saya di Sekolah Dasar Negeri (SDN)  Semampir, Merakurak,  Tuban  lalu dimasukkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama Negeri (SMEPN) tanpa saya ketahui. Maklumlah kala itu, 1971, masih sangat jarang anak lulusan SD yang melanjutkan ke sekolah  lanjutan. Se kecamatan kira-kira tidak lebih dari 10 anak.

Kedua, selepas saya lulus SMEPN Tuban, maka saya sempat daftar ke SMEA. Saya pun sempat masuk di sekolah ini kira-kira satu bulan. Namun di suatu malam, kakek saya, Ismail, kemudian meminta agar saya melanjutkan pendidikan  ke sekolah agama. Mungkin saja karena kakek saya adalah Modin desa, maka yang ada di dalam pikirannya adalah sekolah agama.  Dengan bahasa Jawanya yang khas, saya diingatkan: “kowe iki piye kok ora sekolah agomo”.

Ketiga,  pagi harinya, kakek saya  bertemu dengan  Pak Asnawi, guru PGAN Tuban yang bertepatan rumahnya di desa Senori, Kecamatan Merakurak, tetangga desa.  Melalui beliaulah saya memasuki kawasan pendidikan agama sebagaimana yang diinginkan oleh kakek saya. Sesampai di sekolah, saya ditest oleh Pak Mashad untuk membaca tulisan Arab gundul yang ternyata diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Kira-kira karena saya sudah familiar dengan ayat-ayat itu, maka saya pun bisa membacanya.  Dan resmilah saya menjadi siswa PGAN 4 Tahun.

Keempat, ketika di PGAN itulah saya bertemu dengan guru-guru saya seperti Pak Kyai Kholil, Pak Imam Hanafi (alm), Pak Salamun (alm), Pak Mughni (Alm), Bu Nur Asiah, Bu Lilik Malikhah, Pak Kyai Zawawi (alm), Ibu Basyiroh, Pak Saifullah (alm) dan sebagainya. Terhadap Kyai Kholil saya teringat betul sebab beliaulah yang mengajar tafsir Al-Qur’an. Pak Asnawi juga saya ingat betul karena beliaulah yang mengajar hadis dan Pak Imam Hanafi yang mengajar metodologi  pembelajaran.  Dan lainnya yang kiranya tidak bisa ditulis seluruhnya. Di PGA inilah sesungguhnya kemampuan saya untuk berbicara di forum terbentuk.  Saya masih ingat ketika saya ditunjuk untuk mewakili kawan-kawan PGA ketika acara perpisahan.

Kelima,  saya sesungguhnya diajak oleh  kawan-kawan  untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.  Pada suatu pagi, mereka rame-rame datang ke rumah  dan mengajak saya untuk daftar di IAIN Sunan Ampel.  Esok  harinya,  saya bersama  kawan-kawan: Nurul Huda, Samsul Hadi, Shonhaji, Siti Aisyah, dan Suryati ke Surabaya untuk mendaftar ke IAIN Sunan Ampel. Atas dorongan Pak Fadly Hadi, maka saya masuk ke Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel.

Jadi, sebenarnya  di dalam hidup ini memang terdapat orang-orang kunci yang menjadi perantara di dalam proses kehidupan. Jika saya renungkan, maka rasanya ada kekuatan lain yang mengarahkan Pak Slamet, Pak Asnawi, Pak Mashad, Pak Kyai Kholil, Pak Fadly dan sebagainya agar saya memasuki suatu kawasan pendidikan yang sebelumnya tidak terlintas di dalam pikiran saya.

Setiap moment itu seperti mengandung garis nasib yang jelas. Bagaimana mungkin kakek saya meminta saya agar sekolah ke pendidikan agama. Bagaimana mungkin Pak Slamet mengarahkan saya sekolah di SMEPN dan mengantar saya menjadi lulusan terbaik kedua se SMEPN tersebut.  Kemudian saya harus berjibaku di PGAN yang mengarahkan saya untuk menjadi guru.

Semua ini adalah suratan takdir yang memang harus dilalui. Dan jika saya sekarang menjadi Guru Besar Sosiologi tentunya juga berkat sentuhan mereka semua. Oleh karena itu pantas jika saya harus mendatangi rumahnya untuk bersilaturrahim, sekurang-kurangnya setahun sekali. Tentu juga tidak salah jika saya tetap mencium tangannya sebagai pertanda penghormatan  atas bimbingannya yang tulus.

Sesungguhnya seorang guru akan selalu ikhlas terhadap prestasi yang dapat diraih oleh muridnya.  Guru akan selalu merasakan kebanggaan yang luar biasa jika muridnya menjadi yang terbaik di dalam pengabdiannya untuk negara, bangsa dan agama.

Wallahu a’lam bi al shawab. 

Categories: Opini