HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
Ada sebuah ungkapan yang katanya dibuat oleh Konfusius bahwa kehebatan kita bukanlah karena kita tidak pernah gagal, akan kehebatan kita karena kita pernah jatuh akan tetapi bisa bangkit kembali. Jadi negara besar bukan karena tidak pernah terpuruk akan negara besar justru pernah terpuruk akan tetapi bisa bangkit lagi.
Pengalaman negara-negara besar justru menggambarkan hal ini. Misalnya Perancis adalah negara yang pernah hancur di era revolusi akhir abad ke 19, akan tetapi Perancis bisa bangkit lagi dan kemudian menjadi raksasa di Eropa Barat. Kemudian Inggris juga pernah terpuruk ketika usai perang dunia I. Bahkan untuk pembiayaan pembangunan memerlukan bantuan Amerika Serikat. Teori pembangunan yang bertumpu pada pinjaman luar negeri bermula dari konsep yang pernah dikembangkan di Inggris.
Secara konseptual teori ini benar karena diangkat dari pengalaman Inggris dalam mengentas negaranya dalam pembangunan masyarakat. Akan tetapi ketika diterapkan di negara berkembang justru tidak berhasil. Implementasi konsep ini mengalami kegagalan di negara berkembang seperti di Brazil dan juga Indonesia.
Contoh di Asia adalah Jepang. Negara yang luluh lantak karena perang dunia ke 2 ini juga bangkit kembali di era berikutnya. Pasca pengeboman yang dilakukan di Nagasaki dan Hiroshima dan negara itu hancur secara infrastrukturnya, maka kemudian bisa berkembang kembali pada abad berikutnya. Jepang membutuhkan waktu selama 40 tahun untuk mengembalikan kejayaannya.
Jepang menjadi raksasa otomotif dan elektronik. Jepang telah mengalahkan Negara-negara Eropa yang selama itu menjadi kiblatnya otomotif dan elektronik. Pada tahun 1970an raja otomotif adalah Eropa dengan merek seperti peugeot, dan Ford dari Amerika Serikat. Kemudian di tahun 1990an Jepanglah yang menjadi rajanya. Sejumlah merek seperti Toyota, Honda, Suzuki, dan sebagainya yang merajai pasaran mobil di dunia.
Raksasa Asia lain yang sedang menggeram adalah Korea Selatan. Setelah terpuruk dalam perang dunia ke 2 dan juga perang Semenanjung Korea, maka Korea Selatan juga menggeliat secara ekonomi. Bahkan sempat terpuruk di era krisis ekonomi global, maka Korea Selatan kembali bergerak ke arah positif. Hal ini diperkuat oleh etos kebangsaannya yang luar biasa. Bayangkan ketika merek-merek Korea Selatan belum dikenal di pasar internasional, maka produk Korea Selatan itu dibeli secara memadai oleh rakyat Korea Selatan sendiri. Bahkan mereka rela membeli barang-barang produk negaranya yang lebih jelek dengan harga lebih mahal. Logikanya sederhana saja. Jika nanti perusahaannya sudah maju dan berkembang dan telah laku di pasar internasional, maka keuntungannya itu akan kembali ke rakyat juga. Harga produk akan menjadi lebih murah dan berkualitas lebih baik. Benar juga adanya. Sekarang produk Korea Selatan jauh lebih murah dan kualitas lebih baik. Pilihan membeli produk tersebut benar adanya. Ketika perusahaan sudah sehat, maka mereka bisa meningkatkan kinerjanya dan berakibat terhadap perbaikan kualitas produk dengan harga yang lebih bersaing.
Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan untuk menjadi Negara yang kuat secara ekonomis. Negara ini memiliki segalanya. Mulai dari sumber daya manusia (SDM) dan juga sumber daya alam (SDA). Apa yang tidak ada di negeri ini. Mulai dari pertambangan, pertanian, perkebunan sampai sumber daya kelautan yang tidak dimiliki oleh Negara lain. Hanya saja yang kurang adalah etos kebangsaannya.
Di negeri ini tiada trust yang bisa membawa kepada kemajuan. Rakyat tidak percaya kepada para pengusaha sebab banyak pengusaha yang melakukan pembohongan public. Banyak yang ngemplang pajak, membawa lari uang ke luar negeri atau money loundering, melakukan penipuan dan sebagainya. Akibatnya rakyat justru merasa senang kalau ada perusahan bangkrut atau tidak ambil peduli jika ada perusahan gulung tikar. Rakyat merasa tidak ikut memiliki terhadap dunia usaha karena mereka berkeyakinan bahwa hasil perusahaan itu tidak aka nada yang kembali ke rakyat. Di dalam konsepsinya Marx disebut sebagai ada proses alienasi secara umum. Jadi yang terpinggirkan bukan hanya para pekerjanya saja, akan tetapi juga rakyat secara umum.
Berbagai kasus yang menimpa para pengusaha kelas kakap di Indonesia justru semakin tidak kondusip bagi rakyat untuk mempercayai para pengusaha. Makanya rakyat juga semakin tidak care terhadap kehidupan usaha.
Oleh karena itu, maka yang sesungguhnya dibutuhkan adalah bagaimana etos kebangsaan semua pihak dapat dibangkitkan dan kemudian menghasilkan trust yang sangat tinggi kepada sesama warga negara.
Jika ini bisa dilakukan maka kita tentu masih memiliki sejumlah keyakinan bahwa habis gelap terbitlah terang.
Wallahu a’lam bi al shawab.