BERBANGSA YANG ARIF
Akhir-akhir ini kita juga sedang bermasalah dengan berbagai tindakan negara lain yang mengganggu dan mengusik terhadap rasa kehormatan sebagai bangsa. Kita sedang memiliki masalah dalam relasi antara dua negara serumpun. Indonesia dan Malaysia. Untuk kepentingan ini, maka kita harus membela terhadap keutuhan dan kehormatan bangsa. Kita tentu berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, sebagai bagian dari kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Namun rasanya juga tidak mungkin kita akan dapat melindungi warga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, jika relasi dengan negara lain tidak baik atau bahkan dalam nuansa konfliktual. Makanya untuk membangun dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia tentu saja tidak saja ditentukan oleh factor internal, akan tetapi juga factor eksternal. Dan di tengah relasi antar negara dewasa ini, maka membangun jaringan kesepahaman antar negara tentu sangat penting.
Mestinya masyarakat Indonesia memahami bahwa kekerasan dalam penyelesaian masalah tentu bukan pilihan dalam relasi antar negara. Sebab hal ini akan menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Dan setiap kekerasan juga akan menghasilkan kekerasan baru. Saya selalu ingat dalil tentang siklus kekerasan. Kekerasan akan selalu menimbulkan pengalaman traumatic. Pilihan ancaman juga tidak menyelesaikan masalah. Sebab gertakan juga akan membuat kontra gertakan. Maka penyelesaian yang paling mendasar adalah melalui jalur diplomasi untuk menyelesaikan hubungan konfliktual antar negara. Sebagai negara yang sudah memiliki kedewasaan politik, maka gertakan politik tidak akan menghasilkan penyelesaian yang memadai, bahkan cenderung emosional.
Belajar dari kenyataan ini, maka pilihan untuk menyelesaikan masalah dengan mengambil focus pada penyelesaian variable penyebab terasa memang mendesak. Maka pilihan bangsa Indonesia untuk melakukan dialog berkesetaraan untuk menyelesaikan wilayah perbatasan menjadi sangat urgen. Sebagai bangsa yang besar tentu kita tidak boleh terprovokasi oleh tindakan-tindakan yang memang secara sengaja memancing masalah. Dan sebagaimana diketahui bahwa tidak ada keuntungan sedikitpun penyelesaian masalah yang bercorak emosional.
Marilah kita teladani apa yang dilakukan oleh Junjungan Kita Nabi Besar Muhammad saw. Ketika beliau berdakwah di Taif. Bukannya ajakan Rasul itu memperoleh respon positif, akan tetapi justru dilempari dengan kotoran hewan, kotoran manusia dan bahkan dilempari dengan batu sehingga tubuh Rasulullah berdarah-darah. Saking kejamnya perlakuan orang Taif kepada Rasulullah saw, maka Malaikat Jibril akan menenggelamkan mereka. Akan tetapi Rasulullah saw justru menyatakan bahwa Beliau diturunkan untuk mengembangkan perdamaian dan bukan untuk membuat kerusakan.
Kata malaikat itu, “Wahai Rasulullah, kami siap untuk menjalankan perintah tuan. Jika engkau mau, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung ini akan mati tertindih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan, kami siap melaksanakannya.” Mendengar tawaran malaikat itu, Rasulullah saw. dengan sifat kasih sayangnya berkata, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”
Wallahu a’lam bil al shawab.