SEKALI LAGI RELASI INDONESIA-MALAYSIA
Saya merasa penting untuk memahami relasi Indonesia-Malaysia sebagai bagian dari keinginan untuk memahami makna ketertiban dunia abadi atas dasar kemerdekaan. Sebagaimana yang bisa dipahami bahwa pembukaan UUD 1945 secara tegas memang menyatakan bahwa Indonesia harus terlibat di dalam proses untuk menciptakan perdamaian abadi dalam koridor kemerdekaan.
Bagi kita tentu saja bahwa untuk tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia, maka juga harus dikaitkan dengan usaha untuk menciptakan dunia abadi tersebut. Apalagi dewasa ini, ketergantungan antara satu negara dengan negara lain sangat tinggi. Tidak ada satu Negara yang bisa hidup tanpa relasinya dengan negara lain.
Makanya, rasanya juga tidak mungkin kita akan dapat melindungi warga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, jika relasi dengan negera lain tidak baik atau bahkan dalam nuansa peperangan atau konfliktual. Makanya untuk membangun dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia tentu saja tidak saja ditentukan oleh factor internal, akan tetapi juga factor eksternal. Dan di tengah relasi antar negara dewasa ini, maka membangun jaringan kesepahaman antar negara tentu sangat penting.
Mestinya semua masyarakat Indonesia pasti memahami bahwa peperangan tentu bukan pilihan dalam relasi antar negara. Sebab hal ini akan menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Dan setiap kekerasan juga akan menghasilkan kekerasan baru. Saya selalu ingat dalil tentang siklus kekerasan. Kekerasan akan selalu menimbulkan pengalaman traumatic atau archetype dalam konsepsi psikhologisnya Jung.
Pilihan ancaman juga tidak menyelesaikan masalah. Sebab gertakan juga akan membuat kontra gertakan. Maka menurut saya yang paling mendasar adalah jalur diplomasi untuk menyelesaikan hubungan konfliktual antara dua negara, Indonesia dan Malaysia. Sebagai negara yang sudah memiliki kedewasaan politik, maka gertakan politik tidak akan menghasilkan penyelesaian yang memadai, bahkan cenderung emosional.
Kekerasan simbolik pun sudah dilakukan oleh dua negara. Jika warga Indonesia sudah berdemonstrasi dengan membakar bendera Malaysia, maka Malaysia juga sudah melakukan kekerasan simbolik lain, misalnya melalui ancaman terhadap warga Indonesia di Malaysia. Inilah yang di dalam konsepsi siklus kekerasan simbolik juga terjadi kontra kekerasan simbolik.
Belajar dari kenyataan ini, maka pilihan untuk menyelesaikan masalah dengan mengambil focus pada penyelesaian variable penyebab terasa memang mendesak. Maka pilihan Presiden SBY untuk melakukan dialog berkesetaraan untuk menyelesaikan wilayah perbatasan menjadi sangat urgen. Adapun penyelesaian tersebut akan terjadi semacam apa tentu sangat tergantung kepada kekuatan dan kemampuan diplomasi dari elit birokrasi dan politik di negeri ini.
Hanya saja yang sungguh-sungguh harus diperhatikan oleh Malaysia adalah bagaimana negara ini menghilangkan klaim-klaim kewilayahan, tradisi dan budaya yang selama ini memang sudah menjadi milik negara lain, termasuk Negara Indonesia. Jika di dalam hal ini masih sering terjadi, maka kedewasaan politik negara jiran ini memang patut untuk direspon secara memadai.
Di sini pula kira-kira pentingnya membangun kesepahaman antar dua negara serumpun ini. Jika tidak ingin dinodai, maka jangan menodai. Jika tidak ingin kekerasan, jangan melakukan kekerasan. Begitulah seterusnya.
Kesepahaman itu tentu berisi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai sesama negara sahabat dan serumpun. Kesepahaman itu berisi daftar panjang tentang pentingnya menjaga kedaulatan bangsa, menjaga teroritorial bangsa, menjaga warisan budaya bangsa, membangun kebersamaan untuk membangun perdamaian abadi berbasis kemerdekaan bangsa.
Jika daftar panjang kesepakatan itu sudah disepakati dan kemudian ada yang melanggar, maka itu sudah urusan lain.
Wallahu a’lam bi al shawab.