MEMAKNAI RELASI INDONESIA-MALAYSIA
Banyak orang yang mengecam Pidato Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Jakarta, 01/09/2010, tentang hubungan Indonesia-Malaysia. Tidak hanya masyarakat umum yang mengecam terhadap pidato presiden tersebut, tetapi juga akademisi dan purnawiran ABRI. Kecaman diberikan sebab Pak SBY dianggap tidak tegas dalam menghadapi “kepongahan” Malaysia tentang kasus yang terjadi akhir-akhir ini.
Di antara yang menginginkan ketegasan tersebut adalah agar Indonesia menggertak terhadap Malaysia, misalnya dengan pemutusan hubungan diplomatic, menurunkan status Duta Besar ke Konsul atau bahkan menarik tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Mereka menganggap bahwa pidato presiden SBY tersebut lembek dan tidak menunjukkan keberanian menghadapi Malaysia.
Di antara mereka mencontohkan keberanian Presiden Soekarno ketika dengan lantang menyatakan: “Ganyang Malaysia”. Tolok ukur historis ini yang kebali didengungkan oleh sebagian masyarakat Indonesia tentang relasi Indonesia-Malaysia. Presiden SBY diminta untuk mengambil sikap tegas menghadapi Malaysia, agar Malaysia tidak lagi melakukan tindakan semena-mena dengan merusak kewibawaan Indonesia di mata internasional.
Orang bisa saja berteriak keras tentang relasi Indonesia-Malaysia ini. Orang bisa saja mencela terhadap realitas kebijakan yang diambil oleh elit politik di negeri ini. Akan tetapi yang mendasar adalah bahwa ada perubahan konteks dalam hubungan internasional dewasa ini. Di tengah kemerdekaan masing-masing bangsa, maka sesungguhnya juga ada ketergantungan antar bangsa.
Dalam kasus Indonesia-Malaysia, maka ketergantungan secara ekonomi (ketenagakerjaan) tentunya sangat tinggi. Malaysia tidak akan bisa membangun infrastruktur wilayahnya jika tidak ada tenaga kerja Indonesia (TKI) yang jumlahnya mencapai hamper 3 juta orang. Sebaliknya, Indonesia juga beruntung karena sector lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah Malaysia.
Tentu saja kita tidak bisa meremehkan begitu besarnya jumlah TKI di Malaysia ini. Pertimbangannya adalah jika kita memutuskan hubungan diplomatic atau sekurang-kurangnya menarik tiga juta TKI lalu mereka harus ditempatkan di sector apa. Pemerintah Indonesia selama ini terbantu dengan peluang kerja di sector informal tersebut. Jadi, saya rasa juga problem yang pelik.
Itulah sebabnya maka presiden lalu berpikir bahwa inti masalah relasi Indonesia-Malaysia adalah pada persoalan penentuan batas wilayah. Dengan mencoba untuk merunut persoalan batas wilayah ini, maka masalah berikutnya terkait dengan penyerobotan wilayah, pencurian ikan atau illegal fishing, dan juga klaim atas wilayah tertentu akan menjadi dapat diselesaikan.
Persoalannya adalah apakah ada niatan untuk menyelesaikan hal ini bagi pemerintah Malaysia. Sebab di dalam memory masyarakat Indonesia, tentang Sipadan dan Ligitan juga masih menjadi ingatan traumatic bagi masyarakat Indonesia. Jangan-jangan lewat perundingan di Mahkamah Internasional, justru Indonesia kalah lagi dan kemudian kepulauan Ambalat justru menjadi milik Malaysia.
Oleh karena itulah kemampuan diplomasi Indonesia juga harus matang ketika akan berhadapan dengan Malaysia. Harus dipersiapkan benar tentang perundingan dengan Malaysia tentang perbatasan ini. Jangan sampai kemudian kita kalah untuk kedua kalinya.
Jadi menurut saya, kita harus memaknai pidato presiden dalam logika yang lebih luas, sebab memang harus esktra hati-hati mengambil keputusan tentang persoalan rumit hubungan antar negara, termasuk antara Indonesia-Malaysia.
Wallahu a’lam bi al shawab.