MENILAI ULANG RELASI INDONESIA-MALAYSIA
Kalau judul tulisan ini adalah menilai ulang tentang relasi Indonesia-Malaysia bukan berarti meninjau ulang perlu atau tidaknya hubungan Indonesia-Malaysia, akan tetapi kiranya perlu ditata ulang tentang bangunan relasi Indonesia-Malaysia tersebut dalam tatanan yang seimbang. Bukan tatanan yang saling mengklaim kebesaran masing-masing.
Berbagai komentar tentang hubungan Indonesia-Malaysia akhir-akhir ini cenderung tidak produktif bahkan kontra produktif. Ketika para elit negeri Indonesia rame-rame mengecam Malaysia yang dianggapnya tidak menghormati kedaulatan Indonesia di ranahnya sendiri, maka Malaysia lalu melakukan tindakan yang sama bahwa Indonesia juga dianggap arogan karena komentar tersebut memojokkan Malaysia sebagai negara yang tidak beradab.
Kemudian ketika tindakan cenderung ke anarkhis melalui demonstrasi yang membakar bendera Malaysia, maka dibalas dengan tindakan mengancam yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Malaysia bahwa tindakan tersebut sudah melanggar perjanjian bilateral antar dua negara. Bahkan juga tidak hanya itu, Malaysia juga kemudian berkeinginan untuk memulangkan para TKI yang dianggapnya banyak yang illegal.
Berbagai manuver ini sesungguhnya merupakan bentuk dari perasaan superior kedua bangsa ini. Artinya masing-masing menganggap dirinya yang paling besar sehingga tidak ada di antara keduanya yang kemudian memulai untuk membangun kesadaran untuk saling terbuka dan mengakui bahwa tindakan-tindakan yang dilakukannya itu bisa membuat persoalan.
Saling gertak antara keduanya juga menyisakan masalah bahwa penyelesaian masalah tidak bisa dilakukan dengan masing-masing unjuk gigi merasa lebih benar atau lebih kuat. Makanya, menurut saya bahwa yang penting dilakukan sekarang adalah kembali menata urusan diplomasi bilateral antara keduanya.
Memang harus diakui bahwa relasi Indonesia-Malaysia masih menyisakan masalah. Persoalan perbatasan juga masih menyisakan trauma bagi masyarakat Indonesia. Apalagi Malaysia juga masih sering membuat manuver di sekitar kepulauan Ambalat. Oleh karena itu, klaim-klaim seperti ini tentu harus diselesaikan melalui duduk semeja dalam instrumen dialog diplomatic bilateral.
Jika masih ada klaim-kliam yang kontra produktif, maka berarti relasi itu masih mengandung bara api yang kapan saja siap membakar. Agar prediksi kejadian tersebut tidak berlangsung, maka ada beberapa hal yang semestinya dilakukan oleh dua negara, yaitu: pertama, masing-masing elit agar berkomentar yang mengarah kepada rekonsiliasi kedua belah pihak. Selama ini banyak komentar yang cenderung kontra produktif.
Kedua, tindakan demonstrasi yang mengarah kepada anarkhis, tentu juga tidak menyelesaikan masalah. Maka hendaknya masing-masing menahan diri agar bertindak yang lebih arif. Tindakan yang anarkhis selamanya tidak menyelesaikan masalah akan tetapi justru menambah masalah.
Ketiga, para diplomat dari dua negara, hendaknya memformat ulang terhadap relasi kedua negara. Jangan sampai diplomasi antara dua negara ini kemudian berhenti di dalam menghadapi masalah yang krusial. Kita tetap berkeyakinan bahwa melalui kekuatan diplomasi masalah-masalah yang menyesakkan akan dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, akan menjadi sangat baik jika persoalan relasi Indonesia-Malaysia ini diselesaikan melalui meja perundingan sehingga akan diperoleh relasi yang lebih produktif.
Wallahu a’lam bi al shawab.