ROMANTISME RELASI INDONESIA-MALAYSIA
Saya akhirnya juga merasa perlu untuk menulis tentang hubungan Indonesia-Malaysia sebagai komentar terhadap relasi Indonesia-Malaysia akhir-akhir ini. Seperti diketahui bahwa hubungan Indonesia-Malaysia akhir-akhir agak “memanas.” Hal ini disebabkan oleh adanya sikap tidak saling memahami di antara keduanya.
Pemicunya tentu sesuatu yang bukan spektakuler dalam ukuran relasi dua negara bertetangga. Artinya bahwa penahanan terhadap warga Indonesia oleh petugas Malaysia juga pernah terjadi dengan negara lain. Bahkan juga pernah terjadi penangkapan terhadap kapal-kapal pedagang negara tetangga yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia.
Penyelesaian yang dilakukan terhadap kasus ini seharusnya juga tidak sampai melibatkan sentimen kebangsaan di antara dua negara. Misalnya kapal-kapal dagang Vietnam atau Thailand yang tertangkap karena illegal fishing juga sebatas melibatkan antar kepolisian dua negara dan konsulat atau duta besar masing-masing negara. Dan penyelesaian juga dllakukan secara hukum antar negara.
Namun demikian, untuk kasus penahanan terhadap pegawai pemerintah Indonesia ini juga kemudian dibalas dengan penangkapan terhadap nelayan Malaysia yang melakukan pencarian ikan di sekitar wilayah perbatasan. Masalah kemudian tidak berhenti di situ, sebab kemudian muncul berbagai komentar dari elit negara, baik DPR atau pejabat tentang tindakan pelanggaran kedaulatan negara dan sebagainya.
Masalah kemudian menjadi semakin rumit karena masing-masing lalu mengemukakan wewenang sebagai penguat tindakan masing-masing. Di dalam konsepsi sosiologis kemudian melahirkan konflik otoritas atau konflik yang disebabkan oleh perasaan kewenangan masing-masing.
Di dalam konsepsi Ralf Dahrendorf, masalah tersebut bukan hanya sekedar sengketa wilayah perbatasan belaka akan tetapi menyangkut otoritas masing-masing. Karena merasa berwenang, yaitu pemerintah Malaysia merasa bahwa penangkapan dan penahanan tersebut sebagai sesuatu yang sah karena wewenang yang dimilikinya, sementara pemerintah Indonesia juga menyatakan hal yang sama.
Kerumitan semakin menjadi bertambah ketika kemudian dilakukan demonstrasi yang dilakukan untuk “merasa” membela negara. Di Indonesia terjadi demonstrasi dengan pembakaran bendera Malaysia dan juga tindakan-tindakan demonstrasi terhadap kedutaan Malaysia di Indonesia. Dan sebagai balasannya, maka Pemerintah Malaysia juga mengancam terhadap kewenangannya yang dilecehkan oleh masyarakat Indonesia.
Kesalahpahaman juga semakin menjadi luas, sebab pemberitaan di media juga memblow up secara besar-besaran tentang kasus tersebut. Di berbagai media diberitakan secara besar-besaran kasus tersebut seakan-akan sebuah pelanggaran internasional yang sangat berat. Ada sebuah hiperrealitas tentang relasi Indonesia-Malaysia tersebut. Makanya, di internet juga terjadi “perang” informasi tentang kasus itu.
Hubungan Indonesia-Malaysia memang fluktuatif. Di era Orde Lama, pernah terjadi kasus yang sangat jelas merupakan permusuhan Indonesia-Malaysia melalui ungkapan “Ganyang Malaysia”. Hal ini disebabkan oleh perbedaan orientasi politik yang tegas. Indonesia mengikuti garis relasi Jakarta-Peking, yaitu berhaluan Komunis, sedangkan Malaysia mengikuti garis relasi Kuala Lumpur-Washington atau pro kapitalisme-Amerika. Jadi ada pertentangan ideologis yang tajam antara Komunisme versus Kapitalisme. Malaysia yang mengikuti garis Washington dianggap sebagai Neo Kolonialisme (Nekolim). Makanya Indonesia harus menjadi anti nekolim. Meskipun kemudian tidak terjadi perang sungguhan, akan tetapi di dalam lembaran sejarah relasi Indonesia-Malaysia tercatat pernah terjadi sengketa politik seperti itu.
Di era Orde Reformasi, perseteruan itu semakin variatif. Tetapi yang paling mendasar adalah perebutan pulau Sipadan dan Ligitan. Dan Indonesia memang kalah dalam persidangan di Mahkamah Internasional mengenai sengketa wilayah. Sipadan dan Ligitan kemudian ternyata menjadi wilayah Malaysia. Kekalahan ini memantik beberapa reaksi warga Indonesia, bahwa diplomasi Indonesia di dunia internasional dikalahkan oleh Malaysia.
Yang kemudian juga menarik adalah ketika terjadi lagi sengketa kepulauan Ambalat dan bahkan sempat kapal-kapal perang dikerahkan untuk kepentingan itu. Akan tetapi kemudian bisa diselesaikan lewat media diplomasi Indonesia-Malaysia. Sengketa Ambalat ini masih menyisakan masalah jika tidak dimanej dengan benar.
Yang juga menarik ketika beberapa kesenian diakui sebagai tradisi Malaysia, misalnya reog Ponorogo dan kemudian juga batik. Hal ini juga memantik reaksi yang cukup serius di masyarakat Indonesia. Dan yang mendasar adalah membangkitkan kembali ingatan historis tentang sengketa Indonesia-Malaysia tentang batas wilayah dan sebagainya.
Tetapi yang terakhir ini adalah sengketa harga diri. Sebagai bangsa yang berdaulat, maka tindakan yang mencederai terhadap kedaulatan bangsa akan menjadi sangat serius. Penahanan warga negara dan kemudian berbagai tindakan demonstrasi membakar bendera juga dimaknai sebagai “penghinaan” atau “penodaan” terhadap kedaulatan bangsa. Harga diri bangsa merasa terkoyak.
Di tengah nuansa seperti ini, maka yang mendasar adalah diplomasi yang setara. Saya tetap berkeyakinan bahwa melalui diplomasi yang setara, maka akan didapatkan penyelesaian yang memadai. syaratnya adalah menghilangkan “keakuan” atau “egoisme” di antara keduanya. Indonesia tidak merasa lebih super. Demikian pula Malaysia juga tidak merasa lebih hebat.
Sebagai bangsa yang berbeda tetapi satu rumpun, maka tentunya memiliki “kesadaran” yang hampir sama tentang harga diri itu. Siapapun tidak ada yang meragukan bahwa bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia adalah serumpun.
Jadi penyelesaian itu bisa menggunakan konsep serumpun itu. Dan untuk penyelesaian itu sangat tergantung pada elit kedua bangsa ini. Untuk itu marilah kita hindari komentar yang tidak produktif agar persoalan yang menghimpit dua bangsa ini segera bisa diselesaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.