KYAI, SANTRI DAN POLITIK
Pendahuluan
Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan dapat menjadi vote getter dalam pemilu.
Kecenderungan ini di satu sisi memperluas akses politik kalangan Islam. Sedikit banyak hal ini tentu juga memberikan perluasan pengaruh Islam pada berbagai kelompok politik, sebagaimana ditandai dengan munculnya sayap Islam dalam PDIP. Di sisi lain, situasi ini juga melahirkan fragmentasi politik yang unik di kalangan umat Islam sendiri, berupa terulangnya oportunisme politik di kalangan tokoh-tokoh politik Islam sebagaimana pengalaman era 1950-an. Pergulatan politik antar tokoh Islam sendiri memperlihatkan kuatnya oportunisme di kalangan politisi muslim. Perbedaan afiliasi politik menjadikan mereka nyaris tidak pernah satu suara dalam menyikapi berbagai persoalan politik.
Lebih Banyak Dimanfaatkan
Indonesia merupakan sebuah negara dengan penduduknya yang multikultural dan plural, yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, ras dan antar golongan. Berdasar atas pluralitas keislaman di Indonesia, maka dapat menjadikan setiap kelompok keagamaan dalam Islam dapat dimanfaatkan sebagai basis pendukung setiap kepentingan politik. Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan partai-partai politik Islam secara kuantitatif untuk memperebutkan pengaruh pada lahan politik yang sama. Keterwakilan umat Islam bukan lagi dalam kapasitas perbedaan platform ideologis atau bermakna pembelaan kepentingan umat Islam. Dalam konteks ini, pragmatisme politik praktis bahkan cenderung menjadi lebih menonjol dibanding usaha pembelaan kepentingan komunitas dan agama.
Di kalangan NU, di mana kyai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kyai dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak ataupun sekedar legitimasi. Pada masa Orde Baru, posisi kyai dalam kancah politik nasional semakin terpinggirkan, bahkan tidak jarang dicurigai pemerintah, meski demikian, para kiyai tetap eksis dengan perjuangan dan pilihan politiknya. Sebagai contoh, dapat dilihat, pada saat kampanye pemilu 1977, Kyai Bisyri Syamsuri dengan kapasitasnya sebagai kyai NU dan ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP, mengeluarkan “fatwa politik”, bahwa setiap muslim diharuskan memilih PPP.[1] Sikap “radikal” Kyai Bisyri kembali ditunjukkan pada Sidang Umum MPR tahun 1978 dengan melakukan walk out yang kemudian diikuti oleh semua anggota DPR/MPR dari PPP, sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang memberi tempat terhormat pada aliran kepercayaan. Dalam perspektif teori politik, tindakan para kiyai tersebut merupakan counters-hegemoni[2]. Yaitu upaya untuk melalukan perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung melakukan penguasaan terhadap seluruh dimensi kehidupan politik dan pemerintahan. Akibatnya, sejak periode Pemilu pasca Orde Baru afiliasi politik para kyai dan tokoh pesantren terpecah ke dalam beberapa partai NU. Perpecahan internal yang muncul kemudian juga senantiasa dilegitimasi dengan dukungan dan restu sekelompok kyai tertentu.
Orientasi politik Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi para kiyai dari kalangan Islam tradisionalis, termasuk dalam kelompok akomodisionis[3]. Meski demikian, dalam berpolitik, sebagian kiyai NU terkadang juga menempuh strategi politik militan, tergantung dari kondisi yang dihadapi. Namun secara umum, pandangan politik kiyai dan NU lebih bersifat akomodisionis[4]. Sementara itu, dalam memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam, kyai NU menggunakan pendekatan substantif daripada cara-cara radikal dan konfrontatif. Pendekatan ini lebih menekankan terjadinya keselarasan dan keharmonisan dalam mencapai kehidupan yang dicita-citakan. Sikap yang demikian ini yang menyebabkan kiyai dan NU, oleh sementara orang dituduh sebagai sikap oportunis[5]; yaitu sebuah motivasi utama politik kyai dan NU dalam merebut materi dan status (kekuasaan). Hal ini dapat dilihat ketika di satu pihak NU bergabung dengan golongan nasionalis untuk melawan Masyumi dan dukungannya terhadap kabinet parlementer, namun pada saat yang sama juga mendukung untuk kembali ke UUD 1945[6].
Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi pada arena politik lokal, daerah. Dalam kasus-kasus pemilihan kepala daerah, kyai dan tokoh pesantren banyak terlibat dalam upaya membangun dukungan politik bagi calon-calon tertentu. Para calon kepala daerah sendiri, bupati ataupun gubernur, juga tak henti berupaya melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan para politisi partai. Terbelahnya dukungan politik kyai tak terhindarkan lagi dalam meloloskan calon tertentu dalam proses pilkada. Dalam hal ini kedekatan atau keberhasilan masing-masing calon meraih dukungan kyai atau tokoh-tokoh pesantren tertentu menjadi penentu afiliasi dukungan, yang mengakibatkan dukungan politik kyai terbelah kepada beberapa calon berbeda. Dalam beberapa kasus hal ini bahkan diwarnai ketegangan politik antara tokoh-tokoh partai berbasis NU dengan mereka yang berada pada jajaran pengurus Ormas.
Kecenderungan menarik dukungan kyai dan tokoh-tokoh pesantren tersebut memperlihatkan bahkan nilai politik kyai di hadapan para politisi dalam upaya mereka membangun basis dukungan ataupun sekedar legitimasi bagi kepentingan politiknya masih cukup tinggi. Komunitas elit keagamaan ini, meminjam istilah Masdar, masih dipercaya mampu memberikan sumbangan signifikan bagi sukses tidaknya sebuah misi politik kelompok politik maupun perorangan. Padahal terbelahnya afiliasi politik kyai pada politik partisan tentunya menimbulkan persoalan berkenaan dengan sikap kaum santri yang sebelumnya dikenal memiliki respektasi dan ketaatan tinggi pada kyai.
Kembali pada pokok persoalan, dalam wacana politik di Indonesia, peran kiyai sangat strategis tetapi juga dilematis.[7] Sebagai elit politik, sesuai dengan paham Sunni, kiyai wajib mentaati pemerintah. Sebagai elit agama, kiyai mempunyai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai agama dengan cara amar makruf nahi munkar. Pada saat yang sama, kiyai sebagai interpreteter ajaran agama yang pandangan dan pemikirannya menjadi referensi. Sebagai elit sosial, kiyai menjadi panutan dan sekaligus pelindung masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Multi peran seperti inilah yang seringkali menjadikan kiyai bersikap serba salah dan dilematis. Peran dan tanggung jawab kiyai terhadap agama, negara dan masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan yang menjadikan pada posisi sulit. Pada saat hubungan pemerintah dengan rakyat tidak harmonis, di mana dominasi negara sangat kuat, kiyai yang tidak membela dan memperjuangkan kepentingan masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan santrinya. Hal ini berarti kiyai akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan dan legitimasi sebagai kiyai, yang apabila tidak dimanaj dengan baik, kiyai akan kehilangan posisi daya tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi di hadapan masyarakat [8]. Meski tidak sekeras fragmentasi politik era 1950-an, sikap partisan kyai dan tokoh-tokoh pesantren dalam politik praktis telah memetakan masyarakat Islam ke dalam beberapa kelompok politik yang tidak sepaham. Pada era 1950-an peran kyai masih sangat berpengaruh dalam menentukan sikap politik pengikutnya dari kalangan santri. Masih menyatunya misi politik mereka vis a vis kelompok politik komunis ataupun nasionalis menjadikan sentimen politik dan ideologis sekaligus dapat dengan mudah dieksploitasi tokoh-tokoh keagamaan dengan dalih memperjuangkan misi politik Islam. Kuatnya imperasi situasi politik yang diliputi kentalnya kepentingan ideologis menempatkan kyai dan tokoh-tokoh pesantren sebagai acuan sikap politik ataupun sumber opini bagi kalangan Islam.
Situasi tersebut tentunya banyak mengalami perubahan dengan yang terjadi pasca bubarnya Orde Baru. Perubahan sosial yang sedemikian pesat akhir-akhir ini sedikit banyak tentu mempengaruhi kultur keagamaan di kalangan umat Islam. Perubahan menonjol tampak pada polarisasi sekat ideologis yang tampak potensial tergantikan kepentingan politik praktis. Sekat tersebut tidak hanya terjadi antara kyai satu dengan yang lain, melainkan juga dengan beberapa kelompok masyarakat Islam yang tidak separtai. Perkembangan sosial dan politik negeri ini juga memperlihatkan bahwa masyarakat Islam semakin independen dalam menentukan pilihan afiliasi politiknya. Selain mereka potensial untuk tetap taat pada kyai dan tokoh-tokoh pesantren, mereka juga potensial mengikuti jejak oportunisme politik yang tengah berkembang. Mereka dapat saja mengikuti arah politik kyai ataupun membangun bergaining sendiri demi masa depan politik bagi pribadi ataupun komunitas baru yang berhasil dibangun.
Perbedaan afiliasi politik kyai juga bukan mustahil menimbulkan respon beragam dari komunitas masyarakat yang sebelumnya menempatkan kyai sebagai opinion leader ataupun referensi utama pengambilan keputusan yang harus ditaati. Situasi ini potensial menjadikan kyai dalam konotasi dan lingkup pengaruh kulturalnya yang khas, sebagaimana identifikasi Mastuhu, Zamakhsyari Dhofir ataupun Bruinessen, berubah dari sebelumnya. Bahkan bukan mustahil sebagian masyarakat yang semula senatiasa menggantungkan sikap politiknya pada kehendak kyai telah kehilangan respektasinya karena perbedaan sikap politik. Apalagi sudah jamak diketahui bahwa dalam beberapa kasus afiliasi politik kyai sering kali disertai dengan fasilitas tertentu yang lebih banyak dinikmati kyai dan keluarganya, sementara manfaat yang sama kurang dinikmati para pengikutnya.
Berebut Pengaruh
Penjelasan mengenai posisi dan pengaruh kyai terhadap kaum santri sudah cukup banyak dikaji para pemerhati Islam kultural di Indonesia, mulai dari deskripsi umum mengenai kultur keagamaan (Islam) khas masyarakat Jawa Geertz hingga detai relasi yang dipetakan para peneliti belakangan seperti Féillard dan Barton. Hingga penelitian paling mutakhir, deskripsi relasi kyai-santri tampak masih belum berubah dibanding paparan Mastuhu dan Dhofier.
Meminjam identifikasi Geertz, kyai dan santri merupakan bagian dari kelompok masyarakat Islam khususnya di pulau Jawa yang memiliki kesadaran keislaman yang lebih utuh dan lurus dibanding dua kelompok lainnya, abangan dan priyayi. Komunitas santri sendiri diidentifikasi Geertz merupakan bentukan komunitas kyai, khususnya melalui lembaga pesantrennya.[9] Meski lekat dengan tradisi-tradisi mistis-asketik khas Hindu Jawa mereka termasuk kelompok penganut Islam yang taat dalam menjalankan syari’ah Islam.
Antara santri dan kyai terdapat sebuah pola relasi emosional layaknya tradisi feodal, tetapi tanpa struktur dan tingkatan politis yang sofistikatif seperti galibnya tradisi serupa dalam pemerintahan kerajaan. Kyai dan keluarganya memiliki posisi sosial dan kultural yang tinggi dibanding kebanyakan kaum santri. Menurut Irsan sebagaimana diulas Marijan, tradisi tersebut bertumpu pada tiga pilar utama.[10] Pila-pilar tersebut terdiri dari basis massa yang merupakan pola struktur sosialnya, basis ulama yang merepresentasikan struktur kepemimpinan serta basis tradisi yang secara kultural menjadi semacam sistem budaya yang mengikat visi keilmuan maupun belbagai etiket keislaman yang mereka anut.
Sistem budaya tersebut pada dasarnya merupakan pelembagaan tradisi yang membentuk struktur khas. Basis massa komunitas kyai dan santri bertumpu pada pesantren dan pedesaan di mana kyai menempati posisi sentral dalam perikehidupan sosialnya. Hal ini menjadikan kepemimpinan kyai di kalangan masyarakat santri sejak awalnya mengakar secara kultural. Kyai merupakan kelompok elite secara kultural, sosial, politik maupun ekonomi. Mereka merupakan pengajar agama (preacher) yang rata-rata sekaligus pemilik tanah yang luas.[11]
Kyai merupakan pemimpin kultural yang lebih fleksibel dalam menghadapi tradisi lokal. Menurut Geertz, fleksibilitas tersebut diakibatkan oleh pandangan mereka yang realistik mengenai apa yang yang sebenarnya bersifat Islam dan bukan. Kalaupun bukan termasuk ajaran Islam, mereka mampu menempatkannya sebagai sesuatu yang tidak membahayakan untuk dilakukan ataupun merusak keagamaan masyarakat muslim. Di antara fenomena budaya menonjol dalam hal ini tampak pada “islamisasi” tradisi selamatan yang lebih menonjolkan unsur Islamnya dibanding non-Islam.[12] Bagi sebagian masyarakat, tradisi tersebut bahkan sudah diterima sebagai bagian dari tradisi Islam, di mana kyai sering kali justeru memiliki peran sentral dalam pelaksanaannya.
Pada banyak kasus, peran kyai dalam masyarakat pedesaan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang menyangkut keagamaan.[13] Di tengah kebudayaan yang didominasi ketokohan kyai, berbagai masalah sehari-hari menyangkut urusan rumah tangga, perjodohan, perekonomian, bahkan pengobatan sering menempatkan kyai sebagai tumpuan. Hal ini tentu saja melahirkan hubungan emosional yang diliputi ketergantungan dengan tingkat kepercayaan yang tidak perlu dipertanyakan. Masyarakat Islam di sekitar kyai dengan sendirinya akan senantiasa berusaha menyesuaikan pandangan hidup dan perilakunya dengan ketokohan kyai. Kyai menjadi pemimpin informal yang lebih didengar petuah dan keputusannya dibanding tokoh manapun.
Status kyai yang tinggi menjadikannya tidak perlu direpotkan oleh pekerjaan sebagai petani karena pengabdian yang tinggi dari para abdi dan masyarakat yang mengerjakan tanahnya. Meski secara formal mereka bukan pejabat pemerintah, namun status sosial mereka cenderung dominan secara kultural. Mereka lebih dihormati dan didengar pendapatnya dibanding aparat pemerintahan, seperti lurah atau kepala desa.[14]
Persoalannya pada generasi kyai era belakangan, status yang demikian tampak mulai memudar. Kyai yang demikian memang banyak dijumpai era 1950-an sampai dengan 1980-an. Namun demikian, pada generasi sesudahnya semakin banyak kyai yang tidak mewarisi penuh pola pikir, posisi sosial, kultural maupun keahlian leluhurnya. Beberapa kyai dan tokoh pesantren memang masih mewarisi wibawa pendahulunya, tetapi tampaknya tidak demikian pada sebagian besar.
Perluasan sektor perekonomian di kalangan masyarakat muslim menjadikan ketergantungan ekonomi mereka pada kyai melemah. Rasionalitas berfikir mereka juga menjadikan peran kyai dalam penyelesaian masalah-masalah rumah tangga, perjodohan serta pengobatan berkurang drastis, meski bukan berarti hilang sama sekali. Situasi ini sedikit banyak menjadikan relasi kyai-santri semakin berjarak dibanding masa-masa sebelumnya. Kyai masih diperlukan dalam acara-acara seremonial, seperti hajatan dan forum-forum pengajian, tetapi bukan dalam kapasitas pengendali dan pengarah seremoni sebegaimana di masa lalu. Peningkatan perekonomian masyarakat yang sebagian sangat mungkin telah melampaui status sosial ekonomi kyai kurun belakangan menjadikan relasi tersebut menjadi semakin formalistik. Kyai memang masih diperlukan dalam masalah-masalah tertentu, tetapi bukan lagi segala-galanya.
Perkembangan pelembagaan sebagian pesantren besar pada kurun mutakhir juga memperlihatkan kecenderungan pemisahan institusiini dari lingkungan sekitarnya. Bila sebelumnya kyai secara independen menjadi pihak yang menghidupi pesantren, dalam perkembangannya mereka melibatkan masyarakat luas dalam penggalangan dananya. Tuntutan pengembangan lembaga menjadikan kemampuan kyai secara sendirian tidak lagi memadai untuk menopang tegaknya lembaga yang dikelola. Belajar di pesantren yang sebelumnya sekaligus merupakan satu bentuk pengabdian, bekerja pada kyai dengan imbalan kesempatan belajar agama di pesantren berubah ke arah kontrak kerja yang semakin rasional karena persyaratan administratif dan pembiayaan yang harus ditanggung oleh santri sendiri. Perkembangan ini tentunya tidak dapat diabaikan pengaruhnya terhadap perubahan pola relasi antara kyai dan santri yang mestinya tidak dapat lagi dipahami dalam konteks hubungan sebagaimana idealitas penggambaran para pengkaji kyai dan pesantren pada masa sebelumnya.
Keterlibatan sebagian kyai, tokoh pesantren dan para mantan santri dalam partai politik juga tidak menutup kemungkinan terjadinya persaingan politik antara kyai dan santri yang secara kebetulan berada pada kelompok politik berbeda. Paling tidak, perbedaan afiliasi dan sepak-terjang politik kyai dan tokoh pesantren tampak telah menimbulkan beragam apresiasi, baik dalam rupa respon yang apresiatif, sinis atau sekedar pasif. Keterlibatan kyai dalam satu kepentingan politik, termasuk dukungannya terhadap calon tertentu dalam pemilihan umum, kepala negara ataupun kepala daerah bukan referensi umum kalangan santri. Kalaupun masih ada sebagian yang masih menempatkan kyai sebagai acuan dalam mengambil keputusan atau sikap politik, dapat dipastikan hal itu menuntut kondisi-kondisi tertentu.
Bagaimana ke Depan
Relasi kyai, santri dan politik memang telah mengalami perubahan. Dewasa ini sekurang-kurangnya sudah terdapat kesadaran di dalam kerangka referensi yang menempatkan kyai dalam tataran fungsi khusus. Memang semakin rasional sebuah masyarakat akan semakin menempatkan dirinya di dalam mindset diferensiasi struktur spesialisasi fungsi. Penempatan kyai pun telah menggunakan logika seperti itu. Kyai dengan fungsi utamanya adalah sebagai guru spiritual dan pembimbing umat di dalam kehidupan keagamaan maka posisi kyai juga ditempatkan di situ. Jika kyai kemudian memasuki kawasan dunia politik, maka posisi utama kyai pun berubah ke arah tersebut.
Jika menggunakan konsepsi pusat-pinggiran, maka perubahan posisi tersebut akan menempatkan perubahan posisi kyai dari posisi pusat –sebagai guru spiritual—ke arah pinggiran yang disebabkan posisi pusat telah ditenpati oleh posisioningnya sebagai politisi. Makanya tidak mengherankan jika kemudian terdapat perubahan kepatuhan ketika seorang kyai berubah posisinya tersebut. Dalam hal ini, maka posisi kyai akan tetap ditaati ketika kyai dimaksud berada di dalam posisi pusat sebagai guru spiritual dan kurang atau bahkan tidak ditaati ketika posisi tersebut berubah menjadi pinggiran. Kyai yang memasuki dunia politik berarti telah meminggirkan posisinya dalam kawasan keagamaan dan kemudian posisi sentralnya digantikan oleh dunia politik.
Jika seorang kyai kembali menempatkan dunia guru spiritual sebagai pusat setalah sekian lama meminggirkannya, maka ada dua kemungkinan, yaitu bisa diterima kembali oleh masyarakat dalam posisinya tersebut dan bisa juga ditolak. Semuanya tergantung pada bagaimana kyai posisioning kyai pada saat yang bersangkutan menapaki dunia politik yang oleh masyarakat sangat profan.
[1] Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1999. hal. 234.
[2] Bruinessen, Van Martin. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa ; Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta : LkiS, 1994. hal. 105-106.
[3] Effendi, Bakhtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta : Paramadina, 1998. hal. 42.
[4] Fealy, John Gregory, Ulama and Politic in Indonesia A History of Nahdlatul Ulama. A Desertation Submitted for the Degree of Doctor Philosophy Departemen of History. Monash University, 1998. hal. 225.
[5] Bruinessen, Van Martin. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa ; Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta : LkiS, 1994.
[6] Fealy, John Gregory, Ulama and Politic in Indonesia A History of Nahdlatul Ulama. A Desertation Submitted for the Degree of Doctor Philosophy Departemen of History. Monash University, 1998. hal. 189.
[7] Fealy, John Gregory, Ulama and Politic in Indonesia A History of Nahdlatul Ulama. A Desertation Submitted for the Degree of Doctor Philosophy Departemen of History. Monash University. 1998. Hal. 277.
[8] Suprayago. Imam, Kyai dan Politik di Pedesaan (suatu kajian tentang Variasi dan bentuk Keterlibatan Politik Kyai). Desertasi Doktor di Universitas Airlangga. 1997.
[9] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik santri, (Yogyakarta: Rinneka SIPRESS, 1992), hlm. 1.
[10] Kacung Marijan, Quo Vadis NU, (Surabaya: Erlangga, 1992), hlm. 28.
[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 56.
[12] Cliffort Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 209.
[13] Kuntowidjojo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 53.
[14] Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 193.