• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGENTAS KEMISKINAN PERLU KESUNGGUHAN

Mengentaskan kemiskinan memang bukan dengan sim salabim ada kadabra. Akan tetapi memerlukan kesungguhan yang luar biasa. Bukan hanya dari mana uang untuk mengentas kemiskinan tersebut, akan tetapi juga data tentang siapa yang miskin juga selalu menjadi masalah yang sangat besar.

Selama ini kita selalu menggunakan patokan atau definisi miskin itu dari pendekatan kekuasaan. Artinya bahwa definisi miskin itu bisa dikonstruksi oleh lembaga-lembaga atau konsepsi-konsepsi para ahli tentang kemiskinan. Misalnya lalu ada kemiskinan menurut BKKBN, BPS, ahli ilmu social dan sebagainya.

Akibatnya, data tentang kemiskinan juga tidak pernah seragam antara satu dengan lainnya. Misalnya BKKBN membuat definisi kemiskinan dari keadaan riil rumah dan pendapatan. Kemudian BPS mengukur dari pendapatan dan pengeluaran serta variable lain yang dianggap relevan. Lalu Prof. Sayogya membuat rumusan jika seseorang penghasilannya pertahun kurang dari ekivalen 180 kg beras, maka yang bersangkutan dianggap miskin di pedesaan.

Mengingat variasi data seperti itu, maka kita tidak bisa tegas memberikan criteria miskin itu seperti apa. Oleh karena itu, ketika akan dikucurkan anggaran untuk orang miskin,  maka selalu terjadi ketidakcocokan antara data lapangan dengan bantuan yang diberikan. Pemberian bantuan selalu tidak tepat sasaran dan kebutuhan.

Pada masa awal reformasi, maka kita melakukan tindakan jorjoran pemberian dana kemiskinan ke seluruh wilayah Indonesia. Ada sejumlah paket program yang dianggap sebagai bagan pengembangan masyarakat berbasis kemiskinan. Misalnya di peringkat wilayah dikenal program Inpres Desa Tertinggal (IDT), kemudian pada satuan keluarga didapatkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT), kemudian untuk pengembangan infrastruktur pedesaan, maka dikembangkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan sebagainya.

Program ini ternyata mengalami kegagalan. Program IDT yang sesungguhnya bermaksud baik ternyata gagal di lapangan yang disebabkan ketidakakuratan data lapangan. Karena program ini seperti durian runtuh –mengobati kekecewaan di era Orde Baru—maka secara instan program ini diberikan tanpa dilakukan pendataan yang sangat memadai. Sehingga uang trilyunan rupiah hasil pinjaman luar negeri tersebut kemudian tidak sampai kepada sasaran pemberdayaan masyarakat. Selain banyak yang dikorupsi juga tidak sesuai dengan skema pemberdayaan masyarakat yang seharusnya berbasis kebutuhan.

Program ini bahkan kemudian diplesetkan menjadi Iki Duwite Teko (IDT) endang entekno  atau Ini Uangnya Datang segera habiskan. Maka uang IDT itupun sepertinya tidak berbekas untuk pengembangan masyarakat miskin.  program IDT secara keseluruhan dapat dinyatakan mengalami kegagalan.

Program BLT juga mengalami nasib yang sama. Program yang seseungguhnya semula dijadikan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM tersebut juga mengalami nasib yang tidak jelas. Program yang semula diancangkan untuk kaum miskin tersebut kemudian juga tidak jelas, sebab ketiadaan data yang riil tentang siapa yang disebut miskin tersebut.

Bahkan yang lebih menyedihkan adalah BLT tersebut menimbulkan polarisasi social di peringkat masyarakat desa. Karena uang negara tersebut, maka semua warga negara merasa memiliki hak. Sebagai sesama warga negara, maka siapapun berhak untuk memperoleh uang BLT tersebut. Makanya uang BLT lalu dibagi sama rata untuk seluruh masyarakat desa. Kasus ini terjadi di banyak tempat.

Akibat lebih jauh adalah munculnya Orang Miskin Baru (OMB). Jumlah orang yang merasa miskin menjadi bertambah disebabkan oleh uang kompensasi BBM tersebut. Dan kemudian juga memunculkan anggapan bahwa uang negara harus dibagi habis untuk rakyat. Tidak perduli siapa mereka ini. Pokoknya orang Indonesia juga harus mendapatkan uang tersebut.

Dengan demikian ada dua hal yang patut dicatat dari pemberian insentif untuk masyarakat tersebut. Pertama, bahwa pengucuran uang dalam program tidak didasarkan atas data yang kongkrit atau valid. Kedua, rendahnya sosialisasi program yang disebabkan ketiadaan agen pengembangan masyarakat di level daerah.

Oleh karena itu, ke depan kiranya haruslah dibuat data yang valid, by name by address, sehingga program akan bisa menjadi tepat sasaran dan kebutuhan.

Wallahu a’lam bi al shawab.    

Categories: Opini