ILMU AGAMA DAN ILMU UMUM
Ada sebuah pertanyaan menarik dalam acara obrolan sore menjelang berbuka di TV9 milik PWNU Jawa Timur, 21/08/2010. Acara ini sebenarnya bertajuk perbincangan tentang masalah-masalah sosial dan solusinya. Akan tetapi tenyata pertanyaannya juga merambah ke hal-hal lain. Mungkin pemirsa tahu bahwa saya rektor IAIN Sunan Ampel, sehingga ada juga yang bertanya tentang “mengapa ada pembedaan ilmu agama dan ilmu umum, bukankah semua ilmu itu bersumber dari agama, khususnya agama Islam.”
Pertanyaan ini menarik, sebab ternyata ada audience TV9 yang memiliki concern terhadap pembidangan ilmu yang memang selalu menjadi persoalan semenjak dahulu hingga sekarang. Saya bahkan menduga bahwa yang bertanya ini adalah orang yang selama ini mengikuti perkembangan ilmu-ilmu keislaman.
Pembagian ilmu dalam dua wadah besar adalah akibat pengaruh Barat dalam membagi ilmu pengetahuan. Dunia Barat melalui filsafat positivistiknya selalu beranggapan bahwa ilmu pengetahuan haruslah bisa diamati secara empiris sensual. Ilmu pengetahuan hanya dianggap benar jika bisa dibuktikan dengan pengamatan secara langsung. Dan perangkat metodologisnya adalah melalui metode observasi. Metode ini hanya mungkin digunakan terhadap obyek yang fisikal.
Kebanyakan ilmuwan Barat memang tidak mempercayai terhadap keilmiahan ilmu agama dalam pengertian sebagaimana ilmu umum. Baginya ilmu agama yang bersumber dari wahyu Tuhan bukanlah ilmu yang bisa diukur sebagaimana ilmu umum. Makanya sejauh-jauh yang bisa dibenarkan adalah terdapat ilmu agama yang bersumber dari keyakinan dan terdapat ilmu umum yang bersumber dari fenomena alam dan kemasyarakatan.
Melalui coraknya yang transendental, maka kebenaran ilmu agama tidak bisa dikaji melalui verfikasi atau falsifikasi. Padahal syarat ilmu pengetahuan adalah bisa dilakukan uji falsifikasi dan verifikasi tersebut. Dunia keyakinan tentu tidak bisa diverifikasi atau difalsifikasi.
Sayangnya bahwa cara berpikir Barat ini lalu menjadi arus utama pemikiran keilmuan di Indonesia. Hingga sekarang para ilmuwan di Indonesia masih berpikir tentang ilmu agama dikaji di lembaga-lembaga agama dan ilmu umum dikaji di lembaga-lembaga pendidikan umum. Akibatnya, hingga sekarang kita masih mewarisi tentang ilmu agama yang pusatnya di lembaga pendidikan agama dan ilmu umum yang wadah pengembangannya di lembaga pendidikan umum.
Padahal sesungguhnya kajian tentang ilmu umum dan agama merupakan kajian yang bisa disapakan atau dipertemukan. Kajian ini bisa saling melengkapi dan menunjang. Bukankah untuk menjelaskan konsep-konsep kealaman tentu dibutuhkan jasa dua ahli sekaligus, yaitu ahli agama yang memahami tentang konsep-konsep kealaman atau ayat-ayat kauniyah dan di sisi lain juga diperlukan ahli ilmu kealaman untuk menjelaskannya dari sisi keilmuannya.
Proyek-proyek inilah yang sesungguhnya harus dicarikan jalan keluarnya dan bukan tetap pada pendirian bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum adalah dua bidang yang tidak saling bertegursapa.
Jadi sebenarnya yang diperlukan sekarang adalah bagaimana merumuskan proyek-proyek besar untuk membangun sinergi antara ilmu agama dan umum dalam kerangka untuk membangun keberadaan ilmu-ilmu keislaman integrative atau yang saya sebut sebagai integrated twin tower.
Di dalam konsepsi integrated twin tower tersebut maka dua rumpun keilmuan tersebut akan bisa menyatu dalam satu bangunan yang saling mendukung dan menjembatani.
Ilmu agama dan ilmu umum menjadi focus kajian secara integrated. Dengan cara seperti ini, maka secara lambat tetapi pasti akan didapati kesepahaman bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum bukannya saling berseberangan secara diametral, akan tetapi saling memerlukan dalam coraknya yang simbiotik.
Proyek tersebut akan dapat diwujudkan melalui perubahan bangunan keilmuan selama ini, yaitu mendirikan universitas yang di dalamnya dikaji secara mendalam tentang ilmu keislaman interdisipliner melalui konsep integrated twin tower dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.